Meniadakan Libur Panjang Bukan Jawaban, Keterisian Tempat Tidur RS Rujukan Merangkak Naik
›
Meniadakan Libur Panjang Bukan...
Iklan
Meniadakan Libur Panjang Bukan Jawaban, Keterisian Tempat Tidur RS Rujukan Merangkak Naik
Meniadakan libur panjang Natal dan Tahun Baru dinilai bukan jawaban meski tujuannya untuk mengurangi penularan karena ada kerumunan. Disiplin protokol kesehatan harus ditegakkan dan kesadaran masyarakat dibangun.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Libur Natal 25 Desember 2020 dan Tahun Baru 1 Januari 2021 sudah menjelang. Namun, meniadakan libur panjang untuk mengurangi penularan Covid-19 bukan jawaban. Justru yang harus terus ditegakkan adalah penerapan protokol kesehatan, baik 3 M maupun 3 T, dan pengadaan vaksin.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio dalam webinar Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta bertema ”Penanganan Kesehatan dan Pemulihan Sosial dan Ekonomi” yang digelar Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DKI Jakarta, Selasa (24/11/2020), menegaskan, upaya meniadakan libur akhir tahun yang panjang itu tujuannya adalah untuk menurunkan angka penularan Covid-19. Utamanya karena dikhawatirkan akan terjadi kerumunan masyarakat.
Namun, ia menegaskan, meniadakan libur panjang bukan jawaban. Yang harus ditingkatkan adalah kesadaran masyarakatnya.
”Sebetulnya yang menjadi obatnya bukan meniadakan libur akhir tahun. Karena libur bisa terjadi kapan saja. Justru yang harus ditegakkan adalah meningkatkan kesadaran masyarakat disiplin menjalankan protokol kesehatan,” ujarnya.
Artinya, kalau bicara masyarakat, jangan hanya yang menengah ke bawah, tetapi menengah ke atas juga harus dilibatkan dalam penegakan kesadaran.
Ia menyebutkan, dari survei yang dilakukan, masih ada 20-30 persen masyarakat yang tidak percaya Covid-19 itu nyata. Masyarakat yang tidak percaya inilah yang harus dijangkau agar sadar Covid-19 itu ada dan berbahaya.
Menurut Amin, tanpa penyadaran, masyarakat akan terus-menerus abai terhadap protokol sehingga dapat menyebarkan virus kepada orang lain. Ia berpendapat, yang bisa dilakukan adalah memutus mata rantai penyebaran virus dengan memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3 M), bukan memusnahkan virus.
”Karena virus itu ada di alam dan pasti masih akan ada,” ucapnya.
Untuk itulah, hal yang harus ditekankan adalah memutus mata rantai dengan 3 M. Menurut dia, gerakan 3 M ini juga harus diterapkan meski nantinya vaksin sudah ada dan didistribusikan kepada masyarakat. Lalu, dari sisi pemerintah tetap menegakan testing, tracing, treatment (3 T). Serta nantinya dengan intervensi berupa vaksin.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, yang menjadi salah satu pembicara dalam webinar, menjelaskan, kebijakan pengendalian pandemi Covid-19 sudah dimulai sejak April 2020 dengan penerapan PSBB. Saat penerapan PSBB, angka kasus bisa dikendalikan.
Namun, belajar dari libur panjang akhir Agustus 2020, kasus kembali melonjak tinggi sehingga rem darurat diambil dan PSBB ketat kembali diterapkan mulai pertengahan September 2020.
”Pada 1-12 September dalam waktu yang amat singkat terjadi lonjakan active case, yang naik 49 persen dalam 12 hari. Lalu, kontribusi kematian dalam 6 bulan itu mengontribusi 17 persen kematian, dan dalam 12 hari itu kontribusi 25 persen kasus. Bayangkan hanya 12 hari, dibandingkan 6 bulan, kontribusi kasusnya itu 25 persen. Jadi, kenapa kita harus melakukan emergency brake. Itu situasinya memang berbahaya,” tutur Anies.
Setelah PSBB ketat jilid 2 diberlakukan lagi, menurut Anies, kasus aktif korona berhasil turun kembali. Namun, ketika ada libur panjang di akhir Oktober 2020, kasus baru kembali naik secara signifikan.
Tempat tidur pasien
Saat ini, dengan angka kasus yang kembali melonjak pada pekan ini, persentase keterisian tempat tidur rawat dan ICU pasien Covid-19 di RS-RS rujukan mulai merangkak naik. Anies menyebut keterisian tempat tidur pasien Covid-19 per hari ini mencapai 75 persen.
Jumlah ini naik dari angka pada Minggu (22/11/2020), yaitu saat ia mengumumkan perpanjangan PSBB transisi jilid 2. Pada waktu itu, jumlah keterisian tempat tidur rawat pasien Covid-19 adalah 73 persen dari total 6.012 unit.
Namun, untuk tempat tidur ICU per hari ini juga sudah terisi 69 persen. Artinya, jumlah ini menurun dari data per Minggu (22/11/2020) yang sebanyak 70 persen dari total 841 tempat tidur ICU.
Sementara keterisian tempat isolasi Covid-19 naik menjadi 53 persen. Angka ini naik dari sebelumnya yang hanya 21 persen.
”Ini mulai naik dan kita mulai harus agak ekstra hati-hati,” katanya menegaskan.
Anies menyebut, kenaikan keterisian tempat tidur rawat Covid-19 serta kenaikan tempat isolasi murni dari kurang disiplinnya masyarakat terhadap penerapan protokol Covid-19.
Sementara dari data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, per hari ini ada tambahan 1.015 kasus positif di DKI Jakarta. Angka itu, menurut Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia, berdasarkan data terkini Dinas Kesehatan DKI Jakarta yang pada Selasa ini melakukan tes PCR sebanyak 11.885 spesimen.
Dari jumlah tes tersebut, sebanyak 9.627 orang dites PCR hari ini untuk mendiagnosis kasus baru dengan hasil 1.015 positif dan 8.612 negatif. ”Untuk rate tes PCR total per 1 juta penduduk sebanyak 145.837. Jumlah orang yang dites PCR sepekan terakhir sebanyak 79.822,” Dwi Oktavia.
Adapun jumlah kasus aktif di Jakarta turun sebanyak 63 kasus sehingga jumlah kasus aktif sampai hari ini sebanyak 8.559 orang yang masih dirawat atau diisolasi. Adapun jumlah kasus konfirmasi secara total di Jakarta sampai hari ini sebanyak 129.188 kasus.
Dari jumlah total kasus tersebut, total orang dinyatakan telah sembuh sebanyak 118.062 dengan tingkat kesembuhan 91,4 persen dan total 2.567 orang meninggal dengan tingkat kematian 2 persen, sedangkan tingkat kematian Indonesia sebesar 3,4 persen.
Untuk positivity rate atau persentase kasus positif sepekan terakhir di Jakarta sebesar 9,4 persen, sedangkan persentase kasus positif secara total sebesar 8,3 persen. WHO juga menetapkan standar persentase kasus positif tidak lebih dari 5 persen.