Pelibatan Dunia Usaha untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perlu Terus Didorong
›
Pelibatan Dunia Usaha untuk...
Iklan
Pelibatan Dunia Usaha untuk Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perlu Terus Didorong
Dunia usaha memiliki keinginan untuk menerapkan prinsip berkelanjutan dalam praktik bisnisnya. Ini menjadi peluang untuk meningkatkan keterlibatan mereka dalam pencapaian SDGs.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 jadi momentum untuk menata pembangunan ekonomi dan bisnis agar makin inklusif dan berkelanjutan. Meski tidak mudah dan butuh investasi tidak sedikit, penyelarasan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan bisa memberikan dampak lebih besar dalam jangka panjang bagi masyarakat dan bangsa.
Presiden Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) Shinta W Kamdani dalam diskusi virtual ”Kolaborasi dan Aksi untuk Masa Depan Berkelanjutan dari Jakarta”, Senin (23/11/2020), mengatakan, Covid-19 menjadi alarm penting yang mengingatkan pelaku dunia usaha untuk mentransformasikan usaha mereka agar lebih berkelanjutan.
”Keberlanjutan bisnis menjadi bagian penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama sembilan bulan terakhir di Indonesia juga mengubah pola konsumsi masyarakat. Perubahan itu tidak hanya mengancam keberlangsungan dunia usaha, tetapi juga ekonomi Indonesia. Karena itu, Indonesia pun telah menata ulang strategi pembangunan ekonominya.
”Pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan harus inklusif, baik secara ekonomi, sosial, maupun lingkungan, seperti yang dijabarkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs),” ujar Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti.
Upaya tersebut telah dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024 yang telah disesuaikan dengan situasi pandemi. Strategi ini juga bisa digunakan dunia usaha untuk menata ulang usahanya agar terus berkelanjutan.
”Kami percaya bisnis yang bertanggung jawab dan berkelanjutan justru diperlukan dalam masa-masa seperti saat ini hingga perlu akselerasi dari semua pihak untuk mencapai tujuan SDGs,” ujar Direktur PT Unilever Indonesia Tbk Ira Noviarti.
Meski demikian, upaya mendorong dunia usaha untuk makin mengakomodasi prinsip dan tujuan SDGs dalam usaha mereka tidaklah mudah. Mengubah paradigma dunia bisnis yang semula berorientasi profit menjadi usaha yang berkelanjutan untuk kesejahteraan bersama butuh waktu karena belum banyak perusahaan memahami SDGs.
Menurut Shinta, mengutip dari sebuah survei, 91 persen perusahaan yang disurvei setuju keberlanjutan menjadi aspek kunci dari strategi bisnis ke depan. Namun, hanya 27 persennya saja yang menerapkan prinsip tersebut dalam usaha mereka. Itu berarti, keinginan dunia usaha untuk mengakomodasi program SDGs besar, tetapi kesulitan untuk menerapkannya.
Perusahaan Indonesia yang sudah memasukkan target dan indikator SDGs dalam usaha masih sangat sedikit, itu pun didominasi perusahaan multinasional. Banyak kelompok usaha perlu diajak terlibat, termasuk usaha rintisan, karena prinsip SDGs menghendaki tidak boleh ada seorang pun yang tertinggal dalam capaian pembangunan.
Salah satu penyebab kesulitan dunia usaha untuk mengakomodasi SDGs adalah terbatasnya pemahaman kalangan industri tentang SDGs. Pelaku usaha belum memahami manfaat dan proses implementasi SDGs dalam usaha mereka. Padahal, industri hanya perlu mengakomodasi sebagian dari 17 tujuan dan 169 target SDGs, tidak semuanya, yang disesuaikan dengan usaha mereka.
Banyak perusahaan masih menganggap SDGs sama dengan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Padahal, SDGs dan CSR adalah hal yang berbeda. Karena itu, dunia usaha perlu terus difasilitasi dan didorong agar memasukkan program SDGs dalam sistem bisnis mereka.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu mendukung dunia usaha yang menerapkan SDGs melalui kebijakan dan aturan yang lebih berpihak. Pengembangan industri energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan di Indonesia tetap akan sulit selama penggunaan energi fosil masih disubsidi negara.
Impelementasi SDGs dalam sistem bisnis memang membutuhkan investasi. Namun, tidak semua penerapan SDGs berkaitan dengan finansial. Memperbaiki rantai pasok agar berkelanjutan, perbaikan manajemen dan tata kelola perusahaan yang mendorong transparansi dan pemberdayaan seluruh pegawai secara setara juga merupakan bagian dari penerapan prinsip-prinsip SDGs.
”Penerapan SDGs tidak cukup hanya menjadi komitmen manajemen, tetapi juga harus jadi komitmen seluruh karyawan dan semua lini bisnis,” ucap Ira. Selain itu, kerja sama dengan berbagai pihak juga diperlukan hingga dampak dari penerapan prinsip-prinsip SDGs di dunia usaha lebih besar dan dirasakan banyak orang.
Kemitraan itu, lanjut Amalia, juga menjadi kunci pelaksanaan SDGs karena pemerintah sendiri tidak akan mampu mencapainya. Pembiayaan yang dimiliki pemerintah untuk menjalankan program-program yang terkait SDGs terbatas. Karena itu, hanya dukungan dunia usaha dan masyarakat penting untuk mempercepat pencapaian target-target SDGs Indonesia.