Persaingan Rusia-Jepang di Manchuria pada Akhir Abad Ke-19
›
Persaingan Rusia-Jepang di...
Iklan
Persaingan Rusia-Jepang di Manchuria pada Akhir Abad Ke-19
Setelah 120 tahun, negara-negara Barat kembali mendekati China dengan agresif seperti pada masa lalu. Sementara Rusia berusaha mengembangkan Vladivostok dan wilayah Pasifik Rusia yang kaya potensi sumber daya alam.
Oleh
Iwan Santosa
·6 menit baca
Pada akhir 1890-an hingga awal 1900-an, terjadi persaingan antara Kekaisaran Rusia dan Kerajaan Jepang yang terpusat di sekitar Manchuria wilayah China dan Semenanjung Korea.
Kekaisaran Rusia memiliki armada di Laut Hitam, yakni di Sewastopol, yang berhadapan dengan kekuatan Kesultanan Turki Usmani, dan armada di Eropa Barat, yakni di Laut Baltik di Kota Kronstadt yang berhadapan dengan kepentingan Kerajaan Inggris, Kekaisaran Prusia-Jerman, Republik Perancis, Kerajaan Swedia, Kerajaan Polandia, dan lain-lain.
Setelah Perang Dunia II hingga kini, Rusia membangun pangkalan laut strategis bagi armada Baltik di sebuah enklave terpisah dari teritori utama Rusia, yakni di Kaliningrad yang merupakan bekas wilayah Prusia Timur, Jerman. Kaliningrad atau Konigsberg dalam bahasa Jerman adalah salah satu zona ekonomi khusus di Republik Federasi Rusia yang berbatasan dengan Polandia dan Lituania.
Adapun di wilayah timur, yakni mulai dari Siberia hingga Asia Timur, Kekaisaran Rusia mengembangkan pangkalan laut dan jalur kereta api di wilayah China dan Korea yang berhadapan dengan kepentingan Kekaisaran Jepang.
Pada kurun 1900-1905, terjadi Pemberontakan Boxer di Kekaisaran China melawan pengaruh Barat dan misi gereja. Pemberontakan ini mengakibatkan keterlibatan delapan negara Barat plus Jepang yang melakukan intervensi di China.
Aliansi delapan negara tersebut melibatkan Rusia dan Jepang berikut Jerman, Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Italia, dan Austro-Hongaria. Inggris sendiri pada 1900 baru saja mengalahkan pemukim keturunan Belanda atau Kaum Boer di Afrika Selatan dengan susah payah.
Adapun di Asia Tenggara, Amerika Serikat baru saja mengalahkan Kerajaan Spanyol dan mengambil alih Filipina dari kekuasaan Spanyol tahun 1898. Sebelumnya, terjadi Revolusi Filipina 1896 terhadap penjajah Spanyol yang dipimpin Jose Rizal dan kawan-kawan. Konflik di Filipina hingga Perang Boer di Afrika serta dinamika di Tiongkok menjadi pemberitaan dan memengaruhi pemikiran kaum muda di Hindia-Belanda.
Perang Boer melawan pasukan Inggris ternyata melibatkan pemuda yang kelak menjadi pahlawan nasional Indonesia, Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Dia kemudian ditangkap Inggris dan diinternir di Sri Lanka sebelum dipulangkan ke Hindia Belanda tahun 1902.
Mengantisipasi dinamika perubahan dunia dan geopolitik tersebut, pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda menerapkan Politik Etis yang memajukan pendidikan, pengaturan irigasi bagi pertanian di Jawa, dan transmigrasi ke Lampung dari Jawa. Dikenal sebagai Tiga E, yakni educatie, transmigratie, dan irigatie, untuk memperbaiki nasib rakyat jajahan di Nusantara.
Politik Etis menggantikan Politik Liberal yang diterapkan pada 1870-1900 yang mengakibatkan investor asing non-Belanda membanjir di sektor perkebunan di Hindia Belanda.
Benturan Rusia-Jepang
Kekaisaran Rusia yang sejak tahun 1600-an memperluas kekuasaan dan pengaruh, hingga tahun 1800-an terus mengembangkan bayang-bayang di Asia Tengah hingga Afghanistan. Rusia juga meluaskan sayap ke wilayah Pasifik dengan pusat kekuasaannya di Kota Vladivostok. Namun, setiap musim dingin, kota ini terputus dari transportasi laut.
Walhasil, Rusia kemudian mengembangkan pengaruh ke wilayah Manchuria dan Korea. Ekspansi Rusia tersebut berbenturan dengan kepentingan ekspansi Kekaisaran Jepang, seperti disebutkan pengajar kajian wilayah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Susy Ong, dalam buku Seikatsu Kaizen Reformasi Pola Hidup Jepang: Panduan Menjadi Masyarakat Unggul dan Modern.
Pada 1895, Jepang mengalahkan Kekaisaran China di bawah Dinasti Qing yang semakin merosot, dengan menguasai Korea dan Taiwan setelah pecahnya konflik terbuka di Semenanjung Korea. Pada saat yang sama, Kekaisaran Rusia mengembangkan pengaruh di Manchuria. Rusia kemudian meminta adanya wilayah status quo di bawah garis 39 derajat lintang utara di Semenanjung Korea sebagai daerah penyangga antara wilayah pengaruh Rusia dan Jepang.
Usulan tersebut ditolak Jepang. Rusia kemudian menguasai Kota Port Arthur atau Jepang Dairen, yang kini kota pelabuhan Da Lian di China. Pelabuhan Port Arthur memberikan akses bagi kapal Rusia untuk berlabuh dan beraktivitas sepanjang tahun, tidak terganggu musim dingin, seperti Pelabuhan Vladivostok. Rusia juga membangun Kota Harbin dan Mukden (kini Kota Shen Yang) yang pada masa itu disebut sebagai Kota Moskwa di Timur Jauh.
Kota Harbin menjadi pusat jalur kereta api Vladivostok-Moskwa yang kini menjadi salah satu rute kereta api legendaris untuk pariwisata berupa perjalanan tujuh hari dari Eropa ke Asia atau sebaliknya.
Dalam perebutan pengaruh Rusia-Jepang di Timur Jauh tersebut, Jepang berhasil meraih simpati Amerika Serikat dan Kerajaan Inggris. Media massa di Inggris dan Amerika Serikat memberikan liputan yang pro-Jepang dalam konflik Russo-Japan tahun 1904-1905.
Presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt berinisiatif memimpin mediasi Jepang-Rusia pasca-Pertempuran Laut Tsushima pada 1905 yang kemudian memberikan banyak keuntungan wilayah serta berbagai konsesi bagi Jepang di Korea dan Formosa (kini Taiwan).
Sebagai bukti kedekatan Amerika dan Jepang, secara khusus ribuan pohon sakura ditanam di ibu kota Washington DC yang merupakan sumbangan dari Wali Kota Tokyo Ozaki Yukio pada 1912. Hingga kini, bunga sakura yang mekar setiap Maret-April menjadi agenda tahunan di ibu kota Amerika Serikat itu.
Tokoh yang ikut mendorong diplomasi ”bunga sakura” tersebut adalah Eliza Ruhamah Scidmore yang bertualang di Jawa pada 1895 sebagai wartawati National Geographic. Kakak dari Eliza Scidmore adalah diplomat Amerika Serikat yang lama bertugas di Jepang.
Ketika itu, sebagai bagian dari Aliansi Delapan Negara, Kerajaan Inggris juga memperoleh konsesi baru di China, yakni wilayah Shanghai. Ini menambah wilayah kekuasaan Inggris, yakni Wei Hai Wei yang diperoleh tahun 1898 dan kota Hong Kong yang diperoleh sejak Perang Opium setengah abad sebelumnya, yakni pada kurun 1839-1842 dan 1856-1860, ditambah wilayah New Territories yang berbatasan dengan Shen Zhen yang diperoleh pada 1898.
Adapun Kekaisaran Prusia atau Jerman memperoleh wilayah Tsing Tao (kini Kota Qing Dao), Perancis semakin mengukuhkan diri di konsesi Pelabuhan Kwang Chou-Wan dekat Hainan, sedangkan Kekaisaran Rusia, Kerajaan Austro Hongaria, Kerajaan Belgia, dan Kerajaan Italia membangun daerah konsesi di Tian Jin, sebelah timur Beijing. Negara-negara Barat plus Jepang tersebut juga membangun wilayah ekstrateritorial mereka di Kota Beijing dan Kota Shanghai.
Setelah 120 tahun, kini negara-negara Barat kembali mendekati China dengan agresif seperti pada masa lalu. Kali ini dalam bidang ekonomi dan politik. Sementara Federasi Rusia berusaha mengembangkan Kota Vladivostok dan wilayah Pasifik Rusia yang kaya potensi sumber daya alam berupa pertambangan, sumber panas bumi, dan kelautan.
Susy Ong dalam bukunya menuliskan, Jepang dengan cerdik melakukan modernisasi dengan memadukan nilai budaya Jepang dan semangat protestanisme yang dominan di Amerika Serikat dan Inggris. Secara tradisional, terdapat kesenjangan kultural antara Gereja Protestan dan Gereja Katolik Roma yang dominan di Amerika Serikat dengan Gereja Ortodoks yang mendominasi kebudayaan Kekaisaran Rusia.
Sebagai bukti kedekatan Amerika dan Jepang, secara khusus ribuan pohon sakura ditanam di ibu kota Washington DC yang merupakan sumbangan dari Wali Kota Tokyo Ozaki Yukio pada 1912.
Secara geopolitik, pada 1800-an kekuasaan Kekaisaran Rusia tidak hanya melebar ke arah Eropa Barat dan Asia Timur, Rusia bahkan sempat memiliki wilayah di Amerika Utara yang kemudian dibeli oleh Pemerintah Amerika Serikat dan menjadi negara bagian Alaska. Sampai kini, masih ada warga keturunan Rusia yang bermukim di kepulauan pesisir Alaska.
Sebagai kekuatan belahan Eropa Timur, berkembangnya Rusia berhadapan dengan kekuatan Anglo Saxon, yakni Inggris dan Amerika Serikat. Di Asia Timur, kedua negara beraliansi dengan Kekaisaran Jepang.
Keberadaan blok kekuatan Anglo Saxon hari ini di Asia Timur dengan gelaran kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang, Korea Selatan, Taiwan di dekat Rusia dan China adalah repertoar sejarah yang pernah terjadi seabad silam. Kalau dulu untuk menangkis perlawanan masyarakat China terhadap dominasi misionaris Barat, kini demi dalih menghadapi Korea Utara.