Pemerintah tengah mendorong peningkatan nilai tambah batubara di dalam negeri dengan mengolahnya menjadi dimetil eter atau metanol. Berbagai insentif diberikan untuk merangsang hilirisasi.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Komisi VII DPR mempertanyakan keputusan pemerintah memberikan insentif berupa royalti nol persen kepada perusahaan tambang batubara yang berinvestasi untuk proyek hilirisasi di dalam negeri. Ketentuan royalti nol persen tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemerintah menyebut ketentuan itu bersifat terbatas.
Dalam Pasal 39 pada UU No 11/2020 yang membahas perubahan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan bahwa pasal baru disisipkan antara Pasal 128 dan Pasal 129 UU No 4/2009. Pasal baru tersebut adalah Pasal 128A yang pada Ayat 2 menyatakan bahwa pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar nol persen.
Dalam rapat kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Komisi VII DPR, Senin (23/11/2020), Kardaya Warnika dari Partai Gerindra mempertanyakan dampak kebijakan tersebut terhadap penerimaan negara. Sebab, royalti adalah salah satu sumber penerimaan negara yang cukup penting selain pajak.
Ia mendesak pemerintah agar jangan sampai kebijakan pemberian royalti nol persen bertentangan dengan konstitusi. ”Boleh saja royalti dikecilkan, tetapi sebaiknya jangan nol. Saya khawatir ini akan bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.
Pemerintah harus menghitung secara cermat untung rugi pemberian insentif royalti nol persen kepada perusahaan tambang batubara yang melaksanakan hilirisasi di dalam negeri.
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Rofik Hananto, meminta pemerintah menghitung cermat untung rugi pemberian insentif royalti nol persen pada perusahaan tambang batubara yang melaksanakan hilirisasi di dalam negeri. Begitu pula dalam hal penentuan kriteria perusahaan yang berhak mendapat insentif.
Menjawab pertanyaan itu, Menteri ESDM Arifin Tasrif menyatakan, royalti nol persen dikenakan terhadap volume batubara yang dipakai perusahaan untuk proyek hilirisasi di dalam negeri. Hilirisasi itu berupa gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME) atau pengolahan batubara menjadi metanol. Produk DME bisa digunakan menggantikan fungsi elpiji.
”Royalti hanya diberikan untuk volume batubara yang digunakan dalam proyek hilirisasi. Di luar itu, tetap dikenai royalti sesuai ketentuan,” ujar Arifin.
Arifin menambahkan, kebijakan royalti nol persen diberikan lantaran ongkos investasi hilirisasi batubara di Indonesia terbilang mahal. Untuk menghasilkan DME 1,5 juta ton per tahun, perusahaan membutuhkan investasi hampir 2 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 28,2 triliun. Selain itu, hanya hilirisasi batubara yang merupakan proyek strategis nasional atau menghasilkan produk strategis yang berhak memperoleh royalti nol persen.
Kebijakan royalti nol persen tersebut diberikan lantaran ongkos investasi hilirisasi batubara di Indonesia terbilang mahal.
Pemerintah akhir-akhir ini mendorong perusahaan tambang batubara untuk melirik proyek hilirisasi batubara menjadi DME. DME ditujukan untuk mengurangi impor elpiji di mana dari 7 juta ton elpiji yang dikonsumsi di Indonesia, 70 persen di antaranya diperoleh dari impor. Batubara yang digunakan untuk proyek hilirisasi adalah batubara kadar rendah. Dari 149 miliar ton sumber daya batubara Indonesia, sekitar 30 persen atau 44,7 miliar ton di antaranya adalah batubara kadar rendah.
Pembatasan produksi
Sementara itu, anggota Komisi VII DPR dari Partai Golkar, Dyah Roro Esti, mengingatkan pemerintah tentang pembatasan produksi batubara sesuai dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Mengacu pada RUEN, produksi batubara Indonesia pada 2019 seharusnya hanya 400 juta ton. Namun, kata dia, pemerintah justru memperbesar produksi hingga mencapai lebih dari 600 juta ton.
”Ingat bahwa ada komitmen Pemerintah Indonesia untuk terus mendorong pemanfaatan sumber energi terbarukan dan mengurangi pemanfaatan batubara. Kalau itu dilanggar, lalu komitmen pemerintah di mana,” tanya Dyah.
Sejak 2016, produksi batubara Indonesia justru meningkat, lebih tinggi dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam RUEN. Dari 456 juta ton tahun 2016, produksi batubara Indonesia naik menjadi 461 juta ton pada 2017. Selanjutnya, berturut-turut naik menjadi 557 juta ton pada 2018 dan 610 juta ton pada 2019. Tahun ini, pemerintah menargetkan produksi 550 juta ton.
Terkait lonjakan produksi batubara pada 2019, menurut Arifin, peristiwa itu berdampak pada meningkatnya penerimaan negara lantaran saat itu harga batubara sedang tinggi. Di saat yang sama, permintaan pasar batubara juga tinggi. Penerimaan negara bukan pajak dari sektor mineral dan batubara 2019 sebesar Rp 44,8 triliun atau terbesar kedua setelah sektor minyak dan gas bumi yang sebesar Rp 115,1 triliun.