Setelah 53 Tahun, Resolusi DK PBB 242 Makin Dilupakan
›
Setelah 53 Tahun, Resolusi DK ...
Iklan
Setelah 53 Tahun, Resolusi DK PBB 242 Makin Dilupakan
Selama 53 tahun masyarakat internasional menyaksikan ketidakberdayaan Dewan Keamanan PBB melaksanakan resolusi yang dibuatnya untuk memaksa Israel mundur dari tanah pendudukan yang direbut dalam Perang Enam Hari 1967.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Hari Minggu, 22 November lalu, bertepatan dengan peringatan 53 tahun turunnya Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 yang menyerukan agar Israel mundur dari tanah yang diduduki melalui kekuatan militer. Resolusi itu diterbitkan pada 22 November 1967, yakni beberapa bulan setelah berakhirnya perang Arab-Israel bulan Juni 1967.
Bangsa Arab menyebut perang Arab-Israel tahun 1967 sebagai petaka terkait kekalahan telak bangsa Arab dalam perang tersebut. Sebaliknya, Israel dengan bangga menyebutnya dengan Perang Enam Hari karena perang berlangsung singkat, yakni hanya enam hari, dan mampu mengalahkan militer dari sejumlah negara Arab.
Israel dalam perang tersebut menduduki Semenanjung Gurun Sinai, Dataran Tinggi Golan, Tepi Barat, Jalur Gaza, dan kota Jerusalem Timur. Masyarakat internasional ketika itu sepakat menerbitkan Resolusi DK PBB Nomor 242. Diharapkan resolusi tersebut menjadi pijakan proses perundingan untuk mewujudkan perdamaian adil di Timur Tengah.
Resolusi DK PBB itu menegaskan kecemasan Dewan Keamanan PBB tentang situasi bahaya di Timur Tengah. DK PBB menolak pendudukan wilayah melalui perang serta perlu bekerja untuk menciptakan perdamaian adil dan abadi, yang memungkinkan semua negara di kawasan bisa hidup dengan aman.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, DK PBB meminta lima hal. Pertama, mundurnya pasukan (Israel) dari wilayah yang diduduki dalam perang bulan Juni 1967. Kedua, mengakhiri klaim situasi keadaan perang, menghormati dan mengakui kedaulatan serta kesatuan wilayah semua negara di kawasan, kemerdekaan secara politik dan hak hidup secara damai dalam perbatasan negara yang aman dan diakui, serta bebas dari ancaman dan aksi militer.
Ketiga, jaminan kebebasan jalur laut di perairan internasional di kawasan. Keempat, mewujudkan solusi adil atas pengungsi. Kelima, jaminan kebebasan di kawasan dan kemerdekaan politik setiap negara di kawasan dengan cara melakukan sejumlah kebijakan, di antaranya dibangun zona demiliterisasi.
Akan tetapi, Israel tidak pernah mengindahkan Resolusi DK PBB Nomor 242 itu selama 53 tahun sejak diterbitkan. Masyarakat internasional juga tidak berdaya menekan Israel agar melaksanakan resolusi itu. Akhirnya, resolusi DK PBB Nomor 242 tersebut ibarat tertulis di atas kertas saja dan tidak pernah dilaksanakan sampai saat ini.
Bangsa Arab pernah mencoba melancarkan perang Arab-Israel pada bulan Oktober tahun 1973 untuk memaksa Israel melaksanakan resolusi DK PBB Nomor 242. Namun, perang Arab-Israel tahun 1973 gagal pula memaksa Israel melaksanakan resolusi tersebut.
Negara-negara Arab akhirnya mengambil jalan damai melalui perundingan untuk mengembalikan wilayahnya yang diduduki Israel tahun 1967. Mesir berhasil mengembalikan Semenanjung Sinai dari Israel melalui perjanjian damai Israel-Mesir di Camp David, AS, tahun 1979.
Suriah juga menggelar perundingan damai dengan Israel melalui mediasi AS, tetapi gagal mengembalikan Dataran Tinggi Golan.
Palestina memilih berunding pula dengan Israel melalui Kesepakatan Oslo tahun 1993 untuk mengembalikan Tepi Barat, Jalur Gaza, dan kota Jerusalem Timur. Namun, Palestina hanya berhasil meraih otonomi dan sampai saat ini gagal mendapat kedaulatan atas Tepi Barat, Jalur Gaza, dan kota Jerusalem Timur.
Yang menjadi ironi, kini, ketika dunia memperingati 53 tahun Resolusi DK PBB Nomor 242 itu, situasi di Timur Tengah telah berubah total. Posisi Palestina dan dunia Arab semakin lemah. AS sudah mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan pada Maret 2019 dan kota Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017. Resolusi DK PBB Nomor 242 pun semakin dilupakan.