Data Akurat Menentukan Kesejahteraan Guru Honorer
Untuk kesekian kali, sistem pendataan di Indonesia dipertanyakan. Kali ini menyangkut akurasi data guru honorer yang berdampak pada kesejahteraan mereka ke depan.
”Tidak ada yang valid. Tanya dinas pendidikan tidak ada yang valid, tanya Kemendikbud lebih tidak valid lagi, tanya sekolah juga tidak valid,” ujar Muhammad Ramli Rahim, tegas.
Begitulah jawaban keprihatinan yang diberikan Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) tersebut saat Litbang Kompas menanyakan kualitas data guru honorer melalui sambungan telepon, Sabtu (21/11/2020).
Litbang Kompas kemudian melakukan penelusuran sumber-sumber data guru honorer untuk mengetahui kebenaran pernyataan Ketua Umum IGI yang biasa dipanggil Ramli tersebut.
Merujuk data dashboard Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), yang bersumber dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik), jumlah keseluruhan guru sebanyak 2.906.239 orang. Jika ditambah dengan tenaga kependidikan, menjadi sekitar 3,35 juta orang.
Selain data yang dihimpun dalam dashboard GTK, Kemendikbud juga mencatat data guru dalam laman Statistik Pendidikan. Jika mengacu laman tersebut, terdapat 2,69 juta guru, baik yang berstatus tetap maupun tidak tetap.
Baca juga : Asa untuk Guru Honorer Kategori Dua
Meragukan data
Berbagai sumber rujukan data guru honorer dan guru secara keseluruhan tidak menunjukkan keseragaman sejauh ini. Sementara pemerintah meluncurkan bantuan subsidi upah (BSU) untuk GTK terdampak pandemi Covid-19.
Dalam siaran pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, setidaknya ada 2,4 juta GTK akan menerima BSU. Jumlah GTK di bawah koordinasi Kementerian Agama (Kemenag) lebih kurang 0,8 juta orang. Adapun GTK penerima BSU di bawah naungan Kemendikbud sebanyak 1.634.832 orang.
Angka tersebut terdiri dari GTK pada satuan pendidikan negeri dan swasta. Pemerintah mensyaratkan calon penerima terdaftar di Dapodik agar tepat sasaran.
Akurasi data calon penerima BSU guru honorer juga menjadi sorotan Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian. Dalam siaran pers peluncuran program BSU pada 17 November lalu, Hetifah menyatakan perlu adanya keakuratan data dan sumber data penerima BSU.
Keraguan terkait data guru honorer juga terungkap di kalangan sebagian masyarakat saat Litbang Kompas mengadakan jajak pendapat pada 10-12 November lalu. Separuh lebih responden (56,9 persen) mengaku tidak yakin bahwa semua guru honorer sudah terdata oleh Kemendikbud.
Hanya satu dari lima responden yang meyakini bahwa Kemendikbud telah melakukan pendataan terhadap semua guru honorer di Tanah Air. Sementara 20 persen responden lainnya mengaku tidak mengetahui tentang pendataan guru honorer.
Jika mengikuti kriteria penerima BSU Kemendikbud adalah non-pegawai negeri sipil (PNS), data dashboard GTK hanya mencatat 1.291.992 GTK, dan bukan guru tetap. Sementara guru PNS dan guru tetap yayasan sebanyak 1,9 juta orang.
Angka tersebut terdiri dari guru-guru dari jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK. Sementara guru berstatus non-PNS dan bukan guru tetap, sebanyak 989.629 orang, selisih sekitar 300 ribu orang dengan data dalam dashboard GTK.
Jika dibandingkan dengan jumlah guru dalam dashboard GTK, logis jika data guru dalam Statistik Pendidikan lebih sedikit jumlahnya. Hal ini karena data guru dalam dashboard dihimpun dari jejang pendidikan SD, SMP, SMA, SMK, SDLB, SMPLB, dan SMLB.
Meskipun demikian, secara detail terdapat perbedaan. Data guru honorer, misalnya. Dalam dashboard GTK tercatat 704.503 guru honorer sekolah. Sementara dalam Statistik Pendidikan tercatat 201.242 orang, yang disebut dengan guru honor daerah.
Begitu juga dengan status guru tidak tetap (GTT). Dashboard GTK mencatat, sebanyak 155.052 guru masuk dalam kelompok GTT, baik di provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara jumlah GTT dalam catatan laman Statistik Pendidikan sebanyak 787.823.
Baca juga : Guru Honorer, Pahlawan Nyata Tanpa Tanda Jasa
Pentingnya data
Akurasi data guru ini tidak hanya diperlukan untuk menyambut pencairan BSU oleh Kemendikbud ataupun Kemenag. Seharusnya, akurasi data sudah dipastikan sejak Dapodik diluncurkan.
Data akurat guru honorer menjadi hal mendesak karena berdampak pada realisasi di lapangan. Contoh nyata terjadi ketika pemerintah memberikan bantuan kuota internet untuk pendidik dan peserta didik, yang mensyaratkan mereka harus terdata di Dapodik.
Bagi Tonisius Imung (38), guru honorer di Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat, bantuan kuota internet hanyalah sebatas janji. ”Saya tidak pernah menerima bantuan dari pemerintah, sepeser pun. Saya terdaftar di Dapodik, sayangnya tercatat sebagai petugas tata usaha. Padahal saya ini guru Agama Katolik,” kata Imung kepada Litbang Kompas melalui sambungan telepon, akhir pekan lalu.
Pengalaman Imung paling tidak menggambarkan, catatan dashboard GTK bisa sangat berbeda dengan fakta di lapangan. Sangat mungkin, guru honorer luput dari bantuan lantaran lemahnya inisiatif sekolah dan jangkauan terhadap mereka secara geografis.
Hasil jajak pendapat Kompas juga mengungkap alasan di balik keraguan mereka terhadap data guru honorer Kemendikbud. Sepertiga responden mengungkapkan alasan bahwa pihak sekolah belum tentu mendata guru honorer dengan akurat.
Sepertiga responden lainnya juga berpendapat bahwa luasnya wilayah Indonesia membuat akurasi data guru honorer dipertanyakan. Menurut mereka, akan sulit mendata guru honorer yang tersebar di daerah terpencil. Kenyataan ini kembali menunjukkan bahwa akurasi data sedemikian berpengaruh terhadap kesejahteraan guru honorer di setiap sekolah.
Baca juga : Sistem Ekonomi Syukur Guru Honorer
Peran sekolah dan daerah
Sistem pendataan guru di Indonesia bersifat bottom up, atau dari bawah ke atas. Kepala Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbud Abdul Kahar mengatakan, yang mendaftarkan GTK ke dalam info GTK ataupun Dapodik adalah kepala sekolah (Kompas.com, 19/11/2020). Oleh karena itu, dibutuhkan peran sekolah agar semua guru yang ada tercatat dalam Dapodik ataupun dashboard GTK.
Sejak masa pandemi Covid-19, kebijakan di setiap sekolah juga menjadi penentu perbaikan penghasilan guru honorer. Pemerintah memutuskan agar guru tidak tetap, khususnya guru honorer, mendapatkan tambahan penghasilan dari dana bantuan operasional sekolah (BOS) semasa pandemi. Salah satu syarat guru honorer dapat menerima upah dari dana BOS adalah guru harus terdata di Dapodik per 31 Desember 2019.
Peraturan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 19 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler. Ketentuan pembayaran guru honorer dari dana BOS maksimal 50 persen dihapuskan. Besaran tersebut kemudian diserahkan kepada setiap kepala sekolah, disesuaikan dengan jumlah dan beban mengajar guru di sekolah terkait.
Pemerintah daerah juga memegang peran besar terhadap perbaikan kesejahteraan guru honorer. Salah satu peran mereka ialah menerbitkan surat keputusan (SK) kepala daerah atau kepala dinas terkait penugasan guru honorer. Dengan memiliki SK tersebut, guru honorer lebih berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Padahal, pemerintah setempat, seperti kepala dinas pendidikan ataupun kepala daerah, memiliki peran signifikan terkait pendataan guru honorer di Indonesia. SK tersebut merupakan salah satu tiket bagi guru honorer untuk bisa mendapat NUPTK.
Awalnya, NUPTK ini menjadi salah satu syarat agar guru honorer bisa mendapat honor dari dana BOS. Walakin, dalam situasi darurat pandemi Covid-19, ketentuan tersebut dihapuskan oleh Mendikbud.
Meskipun demikian, sejatinya NUPTK sangat dibutuhkan oleh guru honorer. Nomor induk yang berfungsi layaknya SIM bagi pengemudi tersebut bisa membawa guru honorer mengikuti seleksi Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Jika rangkaian tersebut dapat terlewati, guru honorer berkesempatan untuk mengajukan tunjangan profesi guru (TPG). Dengan kata lain, guru honorer lebih diakui keberadaannya dan lebih sah disebut sebagai pengajar.
Di sisi lain, NUPTK memiliki tiga tujuan utama yang tercantum dalam Peraturan Sekretaris Jendral Kemendikbud Nomor 1 Tahun 2018 Bab 1 Pasal 1. Pertama, meningkatkan tata kelola data pendidik dan tenaga kependidikan.
Kedua, memberikan identitas resmi kepada pendidik dan tenaga kependidikan. Terakhir adalah untuk memetakan kondisi riil data pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan.
Sayangnya, belum semua kepala daerah mengeluarkan surat sakti tersebut sehingga tidak semua guru honorer memiliki NUPTK. Menurut data yang dihimpun Kemendikbud, masih terdapat 701.840 GTK yang tidak memiliki NUPTK, setara 21 persen dari total GTK di Tanah Air, PNS, ataupun non-PNS.
Hasil jajak pendapat Kompas kembali menunjukkan bahwa sebagian masyarakat yang meragukan data guru honorer Kemendikbud juga mengungkapkan alasan senada. Separuh dari responden tersebut meragukan akurasi pendataan guru honorer dari pemerintah setempat.
Penerbitan SK kepala daerah terkait NUPTK tak lepas dari persoalan anggaran. Dengan dimilikinya SK oleh para guru honorer, mereka juga akan mendapatkan tunjangan pendapatan yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Melihat sistem dan kendala prosesnya, tak mengherankan jika data Dapodik belum tentu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam sambungan telepon, Ramli sebagai Ketua Umum IGI kembali mengatakan, ”Data yang bisa dipakai adalah data Dapodik, atau dashboard GTK. Tapi, juga tidak sesuai dengan kondisi lapangan.”
Menjadi ironi ketika guru honorer sebagai tumpuan pendidikan Tanah Air, karena kurangnya guru PNS, justru tertepikan kesejahteraannya. Dalam konteks ini, data yang tepat menjadi hal penting. Data itu tak hanya sebatas angka, tetapi membicarakan perbaikan kesejahteraan guru honorer ke depan yang mewakili rasa keadilan di antara mereka.
(LITBANG KOMPAS)