Hikayat Pemburu Rente Benih Lobster, dari Penyelundup hingga Koruptor
Tingginya nilai ekonomi benur lobster dan sokongan dana besar dari para bandar tak heran membuat penyelundupan benur lobster tak pernah surut. Penyelundupan sedikit terhenti setelah ekspor benur diizinkan lagi.
JAKARTA, KOMPAS — Seakan menemukan cara yang lebih efisien, terutama sejak Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo melegalkan ekspor benur lobster lewat Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 pada 4 Mei 2020, jalur penyelundupan di Jambi langsung ditinggalkan oleh jaringan penyelundup benur lobster sejak Mei lalu.
Padahal, selama Januari-Mei 2020, hampir 10.000 benur lobster senilai hampir Rp 1,5 miliar diselundupkan dari Jambi ke Vietnam melalui Singapura. Sejak Edhy menerbitkan peraturan yang melegalkan ekspor benur lobster pada Mei lalu, tak ditemukan lagi penyelundupan benur lobster (Panulirus sp) di Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Padahal, salah satu titik panas penyelundupan benur lewat Tanjung Jabung Timur itu adalah Nipah Panjang karena langsung berhadapan dengan perairan timur Sumatera yang terhubung ke Selat Malaka. Penyelundup menggunakan perairan Nipah Panjang sebagai salah satu jalur favorit untuk menyelundupkan berbagai macam komoditas ke negara tetangga.
Terkait benur lobster ini pula, Edhy dan anggota keluarganya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Edhy ditangkap di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, sepulang dari Amerika Serikat.
Baca juga: Kementerian Kelautan dan Perikanan Dianggap Langgar Konstitusi
Selama 2018 hingga Mei 2020, Tanjung Jabung Timur menjadi jalur panas penyelundupan benur lobster. Selama 2019, contohnya, ada lebih lebih dari 1 juta benur lobster dari 13 penyelundupan yang dapat diamankan oleh Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (SKIPM) Jambi bekerja sama dengan Direktorat Polisi Air dan Udara Polda Jambi, dan TNI Angkatan Laut Komando Armada Barat.
Benur lobster yang disita itu bernilai tak kurang dari Rp 150 miliar karena setiap ekor benur lobster yang diselundupkan ke luar negeri dijual paling minim seharga Rp 150.000.
Namun dengan dilegalkannya ekspor benur lobster, bukan berarti penyelundupan berhenti. Buktinya pada Juli dan September 2020, aparat menyita benur lobster yang akan diangkut ke luar negeri melalui Bandara Juanda, Surabaya, dan Bandara Soekarno-Hatta. Dikutip dari Kompas.com, penyelundupan 31.065 benur lobster digagalkan oleh pihak Avsec Bandara Juanda pada Juli lalu dan penyelundupan 300 boks berisi benur lobster juga digagalkan oleh Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta.
Kepala Seksi Pengawasan Pengendalian Data dan Informasi SKIPM Kelas 1 Jambi, Paiman, saat dihubungi, Rabu (25/11/2020), mengungkapkan, pengangkutan benur lobster ke luar negeri saat ini tentu lebih efektif menggunakan pesawat. Jalur penyelundupan di Tanjung Jabung Timur pun, lanjutnya, sudah ditinggalkan. Terutama sejak ekspor benur lobster dilegalkan, sudah tidak ada lagi penyelundupan benur di Nipah Panjang.
”Sekarang sudah tidak ada (penyelundupan benur lewat Nipah Panjang). Bersih sama sekali. Sampai sekarang, kan, kami masih bekerja sama dengan aparat kepolisian, polres, dan ditpolair,” jelas Paiman yang saat dihubungi tengah berada di Nipah Panjang.
Dengan pesawat, pengangkutan benur lobster dari Indonesia ke luar negeri tentu lebih singkat, membutuhkan waktu tempuh dalam hitungan jam. Tujuan Singapura, contohnya, hanya membutuhkan waktu tempuh satu jam dari Jakarta.
Sebaliknya, sebelum benur lobster dilegalkan untuk dieskpor, pengangkutan benur lobster ke Singapura harus dilakukan dengan cara diselundupkan melalui jalur darat dan laut, memakan waktu berhari-hari. Jika diangkut dari Pulau Jawa, maka harus melalui penyeberangan di Merak, Banten, kemudian diangkut melalui jalur darat Lampung-Jambi.
Hingga akhirnya benur diberangkatkan dari Nipah Panjang ke Singapura menggunakan kapal cepat berkekuatan 50 knot atau hampir 95 kilometer per jam, melampaui kemampuan kapal cepat yang dimiliki TNI AL di Komando Armada Barat selama 2019.
Selama Kompas menelusuri penyelundupan benur lobster pada Juni 2019, penangkapan benur lobster ditemukan hampir di sepanjang pesisir selatan Jawa Barat-Banten dengan karakter pantai berkarang, tempat lobster memijahkan benihnya. Area penangkapan itu ditemukan mulai dari pesisir selatan Cianjur, Pelabuhan Ratu (Sukabumi), hingga Pantai Binuangeun (Banten).
Baca juga: Jutaan Benur Lobster Diselundupkan
Salah satu desa yang dihuni penangkap dan pengepul benur di kawasan Pelabuhan Ratu adalah Desa Cikahuripan, Kecamatan Cisolok, Sukabumi. Penelusuran di Cikahuripan mengungkapkan, meski penyelundupan berkali-kali digagalkan, praktik ilegal ini tetap marak.
Saat itu, meski terlarang, penangkapan benur di Pantai Binuangeun, Banten, dibiarkan aparat. Padahal, setiap hari ada sekitar 1.000 bagan dioperasikan untuk menangkap benur di sekitar pantai di Banten itu.
Pengepul benur pun bebas beroperasi, padahal mereka adalah kaki tangan jaringan penyelundup.
BE (53), kerabat salah satu pengepul benur lobster di Cikahuripan, yang ditemui kala itu, mengungkapkan, pengepul selalu berkomunikasi dengan bandar setiap kali akan mengirim benur. Bandar yang dimaksud BE merupakan warga negara asing.
Menurut BE, sebelum benur diselundupkan ke luar negeri melalui Sumatera, benur disegarkan kembali di Jakarta. ”Sebelum dikirim, baby lobster itu digas (diberi oksigen) dulu biar enggak mati,” ujar BE.
Di Cikahuripan, menurut BE, ada empat pengepul besar di desanya yang tak pernah tersentuh penegak hukum. Mereka adalah JD, BB, AI atau AF, dan IB. Dari keempatnya, JD merupakan pengepul yang kerap memberikan pinjaman modal kepada penangkap benur. Sementara BB merupakan pengepul yang tengah diintai Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (BKIPM-KKP).
Pengepul berperan mendorong warga dan nelayan menangkap benur dalam jumlah besar. Pengepul membeli benur dengan harga tinggi. Satu benur lobster pasir (Panulirus homarus) dibeli Rp 7.000 dan benur lobster mutiara (Panulirus ornatus) Rp 40.000.
Harga itu tentu jauh menggiurkan bagi nelayan dibandingkan tangkapan ikan yang dihitung per kilogram dengan harga mulai dari Rp 10.000 per kilogram. Sementara satu nelayan yang ditemui Kompas di kawasan Pelabuhan Ratu kala itu bisa menangkap 100-1.000 benih lobster dalam sekali melaut.
Aktivitas awal penyelundupan ini jarang tersentuh penegak hukum. Demikian juga ketika benur sudah diselundupkan melalui perairan laut.
Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono, yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Armada I TNI AL, pun mengungkapkan, penyelundupan benur lobster turut melibatkan aparat yang menyebabkan penindakannya mengalami hambatan. Menurut dia, Armada I TNI AL pernah gagal menangkap pengepul benur di perairan Bengkulu. Setelah diselidiki, menurut Yudo, ada anggota TNI AL yang membocorkan operasi penertiban kepada pengepul.
”Dia sudah dibayar para preman dan pengepul sehingga setiap ada aparat masuk, dia yang memberi tahu. Kalau murni preman, tak mungkin sekuat itu. Pasti ada aparat,” ujar Yudo saat ditemui pertengahan 2019.
Baca juga: Mengintai Penyelundupan Benih Lobster
Sama halnya dengan penyelundupan narkoba, penyelundupan benur lobster yang berlangsung hingga Mei 2020 pun berlangsung secara terputus. Setiap orang yang terlibat dalam penyelundupan itu masing-masing tak mengetahui asal-usul benur dan negara tujuan pengiriman benur tersebut.
Paiman pun mengungkapkan, kerap kali SKIPM Kelas 1 Jambi hanya dapat menangkap sopir mobil yang mengangkut benur lobster saat melintas dan menyegarkan kembali benur lobster di Jambi.
Sopir itu menyerahkan mobilnya. Kemudian mobil dikembalikan ke dia lagi setelah benur yang ada di mobil itu dikeluarkan. Baru kemudian benur itu diselundupkan (ke luar negeri) melalui Tanjung Jabung Timur. Jadi sopir itu tidak tahu, barang yang dibawanya akan dibawa ke mana.
Pada salah satu penangkapan awal tahun 2020, Paiman memberikan contohnya. Timnya menangkap mobil yang tengah mengangkut ribuan benur lobster. Setelah diperiksa, diketahui sopir yang mengendarai mobil tersebut hanya memperoleh pesanan untuk mengantarkan benur lobster itu dari Lampung ke Jambi. Setelah tiba di Jambi, sopir tersebut dihubungi oleh seseorang dan memerintahkannya menyerahkan mobil kepada orang yang diutus menemuinya.
”Sopir itu menyerahkan mobilnya. Kemudian mobil dikembalikan ke dia (sopir) lagi setelah benur yang ada di mobil itu dikeluarkan (untuk disegarkan di Jambi). Baru kemudian benur itu diselundupkan (ke luar negeri) melalui Tanjung Jabung Timur. Jadi sopir itu tidak tahu, barang yang dibawanya akan dibawa ke mana,” jelasnya.
Didanai bandar
Tak heran selama 2014 hingga 2019, Kementerian Kelautan dan Perikanan menggagalkan penyelundupan benur lobster sebanyak 7,5 juta benur senilai Rp 1 triliun. Itu pun baru terbatas yang dapat digagalkan.
Larangan ekspor pun ditegaskan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang larang penangkapan atau pengeluaran lobster, kepiting, dan rajungan dari wilayah RI. Tujuan peraturan itu diterbitkan adalah untuk menjaga keberadaan dan ketersediaan populasi sumber daya lobster, kepiting, dan rajungan, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 1/2015 tentang penangkapan lobster, kepiting, dan rajungan.
Penegakan hukum pun semakin ketat karena dana yang digelontorkan oleh bandar kepada pengepul dan jaringan penyelundup benur lobster di dalam negeri itu tak sedikit.
Dalam setahun, menurut perhitungan BKIPM-KKP pada 2019, aliran dana dari luar negeri yang diduga digunakan untuk mendanai pengepul membeli benur tangkapan nelayan lokal mencapai Rp 300 miliar hingga Rp 900 miliar.
Pihak BKIPM-KKP kala itu melihat pengepul di desa memiliki kemampuan modal yang besar untuk menyerap benur lobster nelayan dengan harga tinggi karena mereka memperoleh suplai dana dari bandarnya di luar negeri. Sokongan dana dari bandar itu pun diketahui dari data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dikantongi KKP. Dari data itu diketahui dana terlacak masuk dari rekening bank di Singapura, lalu dikirim ke Batam dan Brunei Darussalam.
Dana itu kemudian dialirkan kepada pengepul melalui rekening salah satu bank swasta di dalam negeri. Dana tersebut tak langsung dialirkan kepada pengepul, tetapi melalui beberapa rekening toko dan perusahaan, di antaranya rekening atas nama toko mainan, garmen, dan perusahaan ekspor ikan.
Kala itu, KKP sudah menelusuri sumber dana itu dan telah memegang identitas pemilik rekening tersebut. Namun, pemilik rekening itu belum ada yang dapat ditangkap karena mereka tak pernah masuk ke Indonesia.
Tingginya nilai ekonomi benur lobster dan sokongan dana yang tak sedikit dari para bandar tak heran membuat penyelundupan benur lobster tak pernah surut hingga saat ini dan bahkan telah terbukti melibatkan aparat. Kini, permasalahan ekspor benur lobster pun diduga menjadi penyebab ditangkapnya Edhy oleh KPK.