Keterbelahan Publik Berdampak pada Media Arus Utama AS
›
Keterbelahan Publik Berdampak ...
Iklan
Keterbelahan Publik Berdampak pada Media Arus Utama AS
Pemilu AS diproyeksikan memberi tantangan baru bagi bisnis media arus utama di negara itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Keterbelahan publik yang meluas selama dan pasca-pemilihan umum di Amerika Serikat diperkirakan membawa konsekuensi yang tidak ringan bagi media arus utama di negara itu.
Tingkat kepercayaan publik terhadap media arus utama cenderung turun sehingga dapat mempersulit bisnis mereka. Jika sampai Pemerintah AS harus menerbitkan kebijakan dana talangan bagi industri media, hal itu akan menjadi kali pertama dalam sejarah AS.
Topik itu mengemuka dalam kuliah umum bertajuk Media, Jurnalisme, dan Politik di Indonesia dan AS yang digelar secara virtual oleh Departemen Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro, Rabu (25/11/2020).
Acara itu menghadirkan para pembicara Craig Allen (Arizona State University), Philips J Vermonte (Pusat Studi Strategis dan Internasional/CSIS), dan dua pengajar di Universitas Diponegoro: Teguh Yuwono dan Nuruh Hasfi. Tampil sebagai moderator Amida Yusriana. Dekan Fakulas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro Hadi Warsono membuka kegiatan itu.
Craig Allen memulai presentasinya dengan memaparkan kondisi Pemilu AS yang diwarnai aneka tekanan kondisi baik sosial, ekonomi, maupun politik. Hal itu adalah hasil kelindan dari pandemi Covid-19, tensi rasialitas yang menguat hingga berujung pada gerakan Black Lives Matter, dan polarisasi yang cenderung semakin kencang disuarakan oleh para pemilih Trump.
Di tengah kondisi politik yang terbelah, tantangan media arus utama sudah cukup berat, khususnya dari sisi bisnis.
Padahal media arus utama telah berhadapan dengan bisnis media sosial dan aneka efek dari perkembangan teknologi. Pilihan sikap media dalam Pemilu AS pun cenderung ditanggapi secara hitam putih oleh publik sebagai konsumen media. Jika sepakat, mereka akan mendukung media itu. Sebaliknya, jika tidak, mereka akan menghujatnya.
”Legasi media ’terluka’ sebagaimana tergambar dalam bisnis mereka,” kata Allen. ”Kini media (arus utama) berada di titik kritis yang dikhawatirkan dapat menandai matinya media berita arus utama.”
Pilihan yang dihadapi cenderung makin sempit bagi media arus utama. Allen melihat, liputan yang cenderung bias di mata publik dan ”kegagalan” jajak-jajak pendapat membaca prospek hasil pemilu turut menambah tekanan bagi media arus media, khususnya dari sisi kepercayaan publik.
Merujuk pada survei atas media arus utama di AS, jika pada 2019 tingkat kepercayaan publik di negara itu pada media arus utama berkisar di 60-70 persen, tahun 2020 tingkat kepercayaan itu turun menjadi sekitar 40 persen.
”Kondisi itu adalah penurunan terbesar dalam hal kredibilitas media arus utama dalam sepanjang sejarah AS,” kata Allen.
Kondisi itu patut dipikirkan oleh perusahaan-perusahaan media arus utama, publik sendiri, dan juga pemerintah. Patut dilihat juga langkah pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Presiden Joe Biden seusai dilantik awal tahun mendatang.
Telah muncul gagasan dan usulan tentang perlunya kebijakan dana talangan bagi industri dan perusahaan media. Jika kebijakan itu diadakan, ini akan menjadi sebuah sejarah baru bagi AS dalam hal kebijakan dana talangan.
Phillips menilai semua pihak patut mencermati perubahan karakteristik basis pemilih dalam pemilu seiring dengan dinamika yang terjadi secara global. Ia menyebutnya dengan istilah para pemilih yang marah atau mudah marah.
Jumlah pemilih tipe itu bertambah jumlahnya di sejumlah negara, termasuk di AS dan Indonesia. Mereka diduga adalah orang-orang yang tersingkirkan atau tidak terjembatani oleh globalisasi.
Ironisnya, kebijakan-kebijakan pemerintah tidak mampu memberikan solusi atas mereka. Tipikal publik seperti itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh calon-calon pemimpin populis dari tingkat daerah hingga negara. Akibatnya, polarisasi pun meluas.
Dalam kondisi seperti itu, Phillips melihat peran penting media, baik media arus utama maupun media sosial. Terlihat memang media sosial yang awalnya diharapkan menjadi bagian dari sarana untuk kebebasan berekspresi justru berubah menjadi penyalur dan penyulut semakin terpolarisasinya masyarakat.
Ia melihat positif langkah-langkah perusahaan medsos atau solusi yang diberikan perusahaan teknologi untuk mengurangi maupun menghalangi polarisasi masyarakat. Ia pun mendorong agar ada perubahan strategi media-media arus utama, meski itu tidak mudah.
Dalam kasus di Indonesia, tantangannya berhadapan dengan jalinan kepemilikan perusahaan media yang mayoritas dimiliki pebisnis yang berafiliasi dengan partai politik tertentu.
Teguh dan Nurul menyoroti peran dan posisi demokrasi di negara seperti AS dan Indonesia. Di Indonesia, menurut Teguh, tantangan bagi sebuah demokrasi yang terkonsolidasi belum terwujud.
Cita-cita demokrasi yang kuat dalam jangka panjang pun masih menghadapi banyak tantangannya. Antara lain korupsi, penegakan hukum yang lemah, serta modernisasi dan profesionalitas para pemangku kepentingan yang masih buruk.