Perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja diharapkan menjadi awal pembenahan tata kelola guru. Tata kelola guru yang profesional akan menghasilkan guru-guru yang profesional juga.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Guru adalah pendidik profesional. Mereka berperan sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan. Namun satu dari empat guru di pendidikan dasar hingga menengah merupakan guru honorer yang jauh dari memenuhi syarat sebagai pendidik profesional.
Bukan terkait kompetensinya karena banyak juga guru honorer yang berkompeten dan mempunyai dedikasi tinggi sebagai pendidik. Guru dikatakan sebagai pendidik profesional juga harus sejahtera dan mendapatkan perlindungan (hukum).
Kenyataannya, mereka tidak memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan guru sebagai pendidik profesional harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu, salah satunya guru memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial (Pasal 14).
Upah atau honor guru honorer jauh dari mencukupi kebutuhan hidup minimum, terutama guru honorer sekolah dasar yang mendapat honor dari komite sekolah. Sejumlah guru honorer mendapatkan honor dari pemerintah daerah, tetapi tetap di bawah standar.
Hanya tugas dan tanggung jawab mereka yang jelas, sebagai pendidik. Dedikasi mereka kepada pendidikan serta tanggung jawab mereka kepada anak didiklah yang membuat mereka bertahan dengan kondisi tersebut meski beberapa bertahan karena berharap suatu saat menjadi guru tetap atau pegawai negeri sipil.
Rencana perekrutan 1 juta guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) mulai 2021 memberi kesempatan guru honorer untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Lulus seleksi menjadi guru PPPK memang akan memperbaiki kesejahteraan guru honorer, tetapi belum menjamin profesionalitas mereka.
Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Saat ini, sebagian besar guru honorer belum memiliki sertifikasi pendidik, baru 2,3 persen atau sekitar 16.600 guru yang bersertifikat pendidik. Bahkan 0,3 persen guru honorer belum berpendidikan D4/S1.
Guru itu profesi. Sama seperti dokter. Kalau rumah sakit tidak ada dokter, tidak bisa beroperasi. Harusnya demikian juga dengan pendidikan, ketika guru belum bersertifikasi sebenarnya tidak boleh praktik.(Feriansyah)
“Guru itu profesi. Sama seperti dokter. Kalau rumah sakit tidak ada dokter, tidak bisa beroperasi. Harusnya demikian juga dengan pendidikan, ketika guru belum bersertifikasi sebenarnya tidak boleh praktik (mendidik),” kata Feriansyah, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara, Minggu (22/11/2020).
Guru honorer memang menjadi ujung tombak sistem pendidikan. Tanpa guru honorer, sistem pendidikan akan terganggu karena merekalah yang mengisi kekosongan guru selama ini. Itu pun masih ada kekurangan sekitar 1 juta guru saat ini.
Namun, menyerahkan pendidikan kepada guru honorer, menurut Feriansyah, sejatinya merupakan bentuk malapraktik pendidikan. Bukan hanya menyalahi UU Guru dan Dosen, tetapi juga Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012 bahwa jenjang kualifikasi guru berada di level 7 atau setara profesi.
Pelatihan
Jika guru honorer yang belum bersertifikasi lulus seleksi PPPK, mereka baru berada di level 6. Karena itu, kebijakan perekrutan guru PPPK tidak bisa tunggal, harus diikuti kebijakan untuk mendorong mereka mencapai level 7 dengan mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG). Pelatihan-pelatihan juga harus terus diberikan untuk meningkatkan kompetensi guru.
“Pelatihan pada guru akan memberikan keuntungan pada guru dan lingkungannya (sistem pendidikan). Karena itu proses pendidikan guru harus berjalan terus,” kata dia.
Kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi PPPK, menurut Pengurus Persatuan Keluarga Besar Tamansiswa Darmaningtyas, juga harus diikuti dengan penataan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jumlah LPTK yang sangat banyak, lebih dari 400, menyebabkan kelebihan pasokan (over supply) sarjana pendidikan.
“LPTK terus bertambah, ada stok calon guru honorer baru. Pendaftaran jadi guru honorer bukan semata-mata karena sekolah membutuhkan, tetapi juga karena politik. Karena itu harus ada pengendalian (jumlah) LPTK, maksimal lima LPTK per provinsi sudah cukup,” kata dia.
Peluang perekrutan guru honorer baru tetap ada karena perekrutan 1 juta guru mulai 2021 belum dapat langsung mengatasi masalah kekurangan guru. Apalagi akan ada tambahan sekitar 300.000 guru yang pensiun pada 2020 hingga 2024.
Perekrutan PPPK juga tidak menjamin semua guru honorer bisa menjadi PPPK, ada persyaratan lulus tes meski diberi kesempatan hingga tiga kali. Selain itu perekrutan ini juga bukan hanya untuk guru honorer, tetapi juga semua lulusan PPG.
Jika tujuan perekrutan guru PPPK tersebut juga untuk mengatasi masalah guru honorer, menurut Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, harus ada afirmasi bagi guru honorer yang memiliki sertifikat pendidik ketika mendaftar PPPK. “Memiliki sertifikat pendidik berarti sudah dianggap profesional. Mestinya ini jadi ukuran bobot nilai,” kata dia.
Perekrutan guru PPPK ini diharapkan menjadi awal pembenahan tata kelola guru. Pengelolaan guru secara profesional akan menghasilkan guru-guru yang profesional agar tidak terjadi lagi malapraktik pendidikan. Praktik pendidikan yang tidak profesional bukan hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berdampak kualitas hasil belajar siswa.