Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Koreksi Presiden atas kebijakan cuti bersama haruslah dimaknai sebagai penyesuaian atas pernyataan Presiden soal keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Presiden Joko Widodo meminta cuti bersama akhir tahun 2020 dikurangi untuk menekan potensi penularan Covid-19. Langkah itu patut disambut baik.
Sudah menjadi bukti, liburan panjang memicu pergerakan manusia dan menciptakan kluster baru Covid-19. Pergerakan manusia yang abai terhadap protokol kesehatan inilah sebenarnya yang menjadi masalah penyebaran Covid-19. Penyebaran virus berbanding lurus dengan pergerakan manusia. Karena itulah dilakukan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau kebijakan karantina atau isolasi.
Libur dan cuti bersama telah ditetapkan mulai 24 Desember 2020 hingga 1 Januari 2021. Tanggal 24 Desember merupakan cuti Natal, sedangkan 28-31 Desember 2020 merupakan cuti bersama Idul Fitri yang digeser. Liburan akan mendorong orang keluar dari ”penjara” rumah atau ”penjara” kota.
Sebagaimana pernah dikatakan Presiden Jokowi, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Koreksi Presiden atas kebijakan cuti bersama haruslah dimaknai sebagai penyesuaian atas pernyataan Presiden soal keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi. Harus diakui kebijakan pemerintah kadang ambigu. Pada kebijakan cuti bersama sebelumnya, pemerintah mengimbau masyarakat tidak pulang kampung atau berlibur, sementara pemerintah terlebih dahulu memformalkan kebijakan cuti bersama.
Sebelumnya, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengimbau agar kebijakan cuti bersama pada akhir tahun ditinjau ulang, bahkan jika memungkinkan ditiadakan. Meniadakan cuti bersama akan lebih baik agar pemerintah tidak menanggung beban moral jika pergerakan masyarakat saat cuti bersama menciptakan kluster liburan panjang. Dengan peniadaan cuti bersama, kebijakan pemerintah sejalan dengan ucapan, ”Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi”.
Konsistensi kebijakan itu penting! Tanpa konsistensi, kewibawaan pemerintah bisa tergerus. Disiplin menggunakan masker, menjaga jarak sosial, dan mencuci tangan membutuhkan tokoh panutan. Yang kerap terjadi, kebijakan menjaga jarak kerap diabaikan karena lemahnya civic engagement antara pemerintah dan masyarakat. Jika hal ini terus terjadi, yang bakal muncul adalah potensi ketidakpercayaan publik.
Pemerintah menerapkan kebijakan menjaga jarak, tetapi pada sisi lain mengizinkan pelaksanaan pilkada yang berpotensi menjadi kluster pilkada. Kerumunan dibiarkan terjadi tanpa pencegahan. Bangsa ini membutuhkan tokoh panutan dalam menegakkan protokol kesehatan. Dihiraukannya protokol kesehatan terkait dengan hubungan antara negara dan masyarakat. Faktor rivalitas politik kadang ikut mewarnai penanganan Covid-19.
Penanganan Covid-19 membutuhkan solidaritas sosial dan soliditas antar-aktor negara dan masyarakat. Namun, yang memprihatinkan, publik menangkap, bukanlah kerja sama, melainkan persaingan saling menegasikan dan mendelegitimasi kebijakan. Jika itu terus terjadi, badai Covid-19 bisa bertahan lama di negara ini.