Mereka Butuh Perlindungan, Bukan Cacian
Masa depan anak korban kekerasan seksual di ujung tanduk. Tanpa aturan hukum yang tajam, mereka hanya akan terus disalahkan dan menjadi korban. Para predator anak pun berpotensi kian buas mencari mangsa.
Kepala A (14) lebih sering tertunduk. Rambut sebahunya, ia gunakan untuk menutupi dua matanya yang sembab. Seperti banyak korban kekerasan seksual lainnya, keceriaan siswi sekolah menengah pertama itu dirampas orang terdekat. Tahun ini, pandemi ikut merusak masa depan mereka.
Sulit bagi warga Kecamatan Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, itu bersuara. Mulutnya terkunci. Dia lebih sering memegangi perut dengan kedua tangannya.
”Perut sakit. Paling sakit jam 11 sampai 12 malam, enggak bisa tidur,” ucap A, Rabu (11/11/2020).
Awalnya, ibunya, D (37), menganggap A hanya mengeluh datang bulan. Namun, belakangan, ia curiga. Anaknya kerap sampai kepayahan berjalan. D bahkan menemukan lebam biru di paha anaknya. A yang sebelumnya murah senyum dan banyak teman kini banyak muram serta berkawan sepi.
Setelah didesak, A mengaku. Dia menjadi korban kekerasan seksual pada Agustus lalu. Pelakunya diduga tetangganya sendiri yang berusia 18 tahun. Setelah dipaksa berhubungan badan, A selalu dipaksa pelaku minum sejumlah pil.
”Anak saya diancam disantet, dibunuh, dan videonya disebar kalau tidak melayani nafsu orang itu,” ujarnya. Hati D kian hancur ketika salah satu ancaman itu menjadi kenyataan.
Anak saya diancam disantet, dibunuh, dan videonya disebar kalau tidak melayani nafsu orang itu.
Video berdurasi 3 menit 26 detik disebar ke guru dan teman-teman korban melalui pesan Facebook (FB). Pelaku menggunakan akun FB milik A sehingga terkesan korban yang mengirimkan video itu. Pelaku juga menulis di dinding FB korban, ”Aku tukang gonta-ganti laki-laki. Nanti kena HIV/AIDS”.
Akan tetapi bukan dukungan yang didapatkan A. Ia justru dihujani stigma, salah satunya dari sekolah tempat A belajar. D mengatakan pernah didatangi salah seorang guru anaknya.
”Ngomong-nya, anak saya jangan sekolah di situ. Saat tahu kasus ini dalam proses polisi, katanya, lanjutin saja sekolahnya tapi kelas dua (SMP) pindah (sekolah),” ucapnya sambil menutup mata. Nelangsa.
Akan tetapi, belum sampai A benar-benar angkat kaki, dia sudah telanjur patah asa. Padahal, ia menjadi harapan keluarga. Kakaknya gagal menyentuh bangku kuliah dan kini bekerja sebagai anak buah kapal penangkap cumi. Kekerasan seksual menghancurkan semuanya.
Baca juga: Diintai Pandemi, Disakiti Tetangga Sendiri
Melawan
D menduga kuat, perbuatan pelaku sudah berlangsung sejak dua tahun lalu. Saat itu, A dan pelaku sudah kenal dekat. Oleh karena itu, ia tak curiga karena pelaku kerap pergi ke rumah ibadah dan mengajak anak-anak lainnya, termasuk A.
Lagi pula, ibu empat anak ini tidak bisa mengawasi A selama 24 jam. Sejak berpisah dengan suaminya tahun 2016, ia harus banting tulang berdagang sayuran demi menghidupi keluarganya. Setiap pukul 02.00, ia ke pasar untuk belanja. Lalu, pukul 13.00, D beristirahat.
Ternyata, saat itu, pelaku kerap mengajak A ke rumahnya yang kosong. Kedua orangtua pelaku bekerja di pabrik keramik setempat. Kadang, A diajak jalan dari sore hingga pukul 24.00.
”Awalnya, pelaku bilang mau tanggung jawab,” ucap D. Upaya mediasi antarkeluarga yang difasilitasi RT dan RW pun sempat dilakukan. Namun, D menolak dan memilih melaporkan kasus tersebut ke polisi.
Sekali lagi, pilihan berani itu justru berujung cacian. Lingkungan tempat tinggalnya malah memojokkan A. Dia dituding tidak bisa menjaga diri dan melakukan perbuatan tak senonoh dengan orang lain, selain pelaku. Ayah kandungnya yang bekerja sebagai montir juga tidak banyak membantu.
”Bapaknya enggak pernah ngasih makan. Dia juga dulu gebukin saya terus,” ucap D.
Diterpa banyak cibiran, D berusaha tidak gentar. Dia berjanji mendampingi anaknya menghadapi kasus tersebut. D ingin melawan.
Akan tetapi, semangat D itu hingga kini belum berbalas. Lebih 1,5 bulan, pelaku belum ditangkap. Polisi belum mendapatkan hasil visum korban. Pelakunya juga diduga kabur ke Jakarta. RSD Gunung Jati yang menangani visum sempat ditutup. Puluhan tenaga kesehatan terpapar Covid-19, dua di antaranya bahkan meninggal.
Selain pelayanan rumah sakit yang tersendat, pandemi menyebabkan banyak kasus semacam ini terus terjadi. Pelaku justru kian leluasa memangsa korban.
Akibat kejadian itu, korban yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kini mengandung dua bulan. Trauma pun menghantuinya. Korban berencana pindah sekolah.
KM (16), warga Kecamatan Ciledug, misalnya, lebih sering di rumah saat pandemi bersama ayahnya M (35), yang diduga menyetubuhinya hingga hamil.
M adalah penjual gorengan di sekolah. Ia tak bekerja setelah sekolah-sekolah diliburkan karena pandemi. Ibu korban berangkat sejak subuh hingga sore karena bekerja di pabrik garmen. Adapun neneknya berjualan di pasar.
Saat rumah sepi pada Agustus lalu, M berbuat amoral terhadap darah dagingnya sendiri. Aksi serupa juga dilakukan Juli 2019. ”Korban tidak bisa mengelak dan takut melapor karena diancam akan dibunuh bapaknya,” ujar Kepala Polresta Cirebon Komsiaris Besar M Syahduddi.
Akibat kejadian itu, korban yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas kini mengandung dua bulan. Trauma pun menghantuinya. Korban berencana pindah sekolah. Ketika diperiksa penyidik, korban lebih sering menghadap dinding. Ia juga masih sering ketakutan saat melihat sepeda motor ayahnya. Semuanya jelas tidak bakal sama lagi.
Baca juga: Pendampingan Anak Korban Kekerasan Seksual di Cirebon Belum Optimal
Pandemi
A dan M adalah contoh kecil jeritan anak yang terus berulang di Cirebon. Polresta Cirebon mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam 10 bulan terakhir mencapai 40 kasus. Tahun lalu, tercatat 53 kasus serupa. Sebagian besar pelaku merupakan orang dekat korban.
Dalam skala nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat tingginya angka kekerasan anak selama pandemi. Lebih dari 2.800 kasus kekerasan anak di seluruh Indonesia hingga Juni 2020. Kekerasan seksual mendominasi dengan 1.660 kasus.
Di tengah mimpi buruk itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang diharapkan melindungi mereka malah dikeluarkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. RUU itu diharapkan kembali masuk dalam Prolegnas 2021.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Cirebon Raya Siti Nuryani menilai pandemi Covid-19 turut memengaruhi tingginya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Cirebon. ”Saat ini, anak lebih banyak di rumah. Padahal, pelaku kekerasan seksual kerap berada dekat dengan korbannya,” ujarnya.
Akan tetapi, Yani tidak ingin sekedar berpangku tangan. Saat aturan negara masih dicari, ia memilih bergerak. Rabu (18/11/2020) dia kembali melakukannya panggilan hidup, mengangkat semangat anak perempuan korban kekerasan seksual.
Baca juga: Komitmen DPR untuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Ditunggu
Sore itu, kedatangan Yani di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Dukuhpuntang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, bak durian runtuh bagi I (15) dan D (16). Keduanya memeluk erat tubuh Yani. Rindu. Air mata sontak membasahi pipi kedua anak itu.
”Wedi (takut), Bunda. Pelakunya belum tertangkap,” ucap I kepada Nuryani. ”Itu urusan polisi. Urusan kita, kamu terus jalani hidup, raih cita-cita,” balas Yani, sapaannya.
I mengangguk menerima jawaban itu. Dia bahkan lantas merengek meminta empat buku untuk pembelajaran. Sementara D tampak tak sabar mencicipi pepaya dan salak yang dibawa Yani. Beberapa hari ini, D mengeluh sulit buang air.
Kedua perempuan itu merupakan korban kekerasan seksual. Kehormatan I dirampas pemilik toko tempatnya bekerja, beberapa bulan lalu. Di tengah liburan sekolah, niatnya mulia. Ia ingin membantu ayahnya, yang bekerja sebagai sopir, mencari uang tambahan.
Adapun D menjadi korban perbuatan amoral dua pria yang baru dikenal lewat media sosial, akhir Oktober lalu. Awalnya, ia hanya diajak jalan-jalan naik sepeda motor. Namun, kisahnya berakhir di rumah kosong dengan tangis. Keluarga korban lalu melaporkan kasus ini ke polisi.
Elegi klise yang menimpa korban kekerasan seksual terjadi lagi bak kaset rusak. Para siswi SMA kelas I ini terpaksa berhenti sekolah di daerah Astanajapura karena dianggap aib. Mereka juga dituding sebagai perempuan yang tak bisa jaga diri.
”Kakak saya keguguran gara-gara mikirin kasus ini. Sekabeane nyalakaken kita (semuanya menyalahkan saya),” ucap I.
Untuk menjauhkan korban dari rasa trauma berkepanjangan, Yani meminta mereka tetap melanjutkan sekolah di tempatnya mengajar di Dukupuntang. Jaraknya sekitar 30 kilometer dari tempat tinggal korban. Sekolah itu menyatu dengan pondok pesantren.
Dua minggu di sana, I dan D mulai menikmati udara sejuk dan pemandangan hijau sawah. Meski kadang memikirkan rumah, keduanya ini kian akrab dengan aktivitas pondok. Mulai dari latihan pencak silat pagi hari, sekolah, mengaji sore hari, hingga shalat tahajud di ujung malam.
”Saya mau jadi chef (koki) biar ketemu chef Juna (koki terkenal). Sekarang saya bisa masak, masak banyu (air),” ungkapnya diiringi tawa. Ia pun tidak sabar naik ke kelas III agar bisa masak untuk para santri.
Adapun D bercita-cita menjadi guru, seperti Yani. ”Nanti, kalau lulus dari sini, kamu bisa mengajar di yayasan PAUD (pendidikan anak usia dini) saya. Jadi, sambil mengajar nanti bisa cari beasiswa untuk kuliah,” kata Yani. D membalasnya dengan senyum, tanpa kata.
Korban harus didampingi. Kalau tidak, bisa fatal. Ada yang pernah mau bunuh diri. Tangannya sudah disilet.
Upaya Yani dan rekan-rekannya di Komnas Perlindungan Anak Cirebon Raya mendampingi anak korban kekerasan seksual ini jelas tidak sederhana. Semua dilakukan agar korban tak terus larut dalam traumanya. Selain terapi, pihaknya bekerja sama dengan sekolah di Dukuhpuntang untuk memfasilitasi pendidikan gratis bagi korban.
”Ada sekolah yang mengeluarkan siswanya karena jadi korban kekerasan seksual. Mungkin hanya sekolah di sini yang mau menerima mereka,” lanjut Yani yang mendampingi anak korban kekerasan sejak 2012.
Padahal, pendidikan merupakan jalan bagi anak meraih impiannya. Selain I dan D, masih ada tiga anak korban kekerasan seksual yang bersekolah di sana. Minimal seminggu sekali Yani menjenguk mereka.
”Korban harus didampingi. Kalau tidak, bisa fatal. Ada yang pernah mau bunuh diri. Tangannya sudah disilet,” katanya.
Tanpa terapi, anak laki-laki bisa mengulangi kejahatan yang mereka alami. Adapun perempuan korban bisa terjebak sebagai pekerja seks komersial. Apalagi, Pemkab Cirebon, katanya, belum punya pusat terapi khusus anak korban kekerasan seksual. Padahal, terapi bisa membantu korban mengurangi trauma.
Anak korban kekerasan seksual jelas butuh dukungan. Tidak hanya pemulihan trauma tapi juga hukum yang tajam mencegah semakin banyak orang terampas masa depannya.
Baca juga : Siti Nuryani dan Perlawanan terhadap Predator Anak di Cirebon