Setelah ditetapkan sebagai tersangka penerimaan suap terkait izin usaha budidaya lobster, Edhy Prabowo mundur dari jabatannya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan serta Wakil Ketua Umum Gerindra.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan membeberkan peristiwa terkait dugaan korupsi berupa penerimaan hadiah terkait dengan perizinan tambak, usaha, dan atau pengelolaan perikanan ataupun komoditas perairan sejenis lainnya. Edhy menyatakan mundur dari posisinya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan serta dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Hal itu dikatakan Edhy Prabowo seusai konferensi pers Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus tersebut, Kamis (26/11/2020) dini hari. Konferensi pers diselenggarakan menjelang habis masa penahanan 1 x 24 jam oleh KPK sejak Edhy ditangkap di Bandara Internaskonal Soekarno-Hatta pada Rabu (25/11/2020) sekitar pukul 00.30.
”Ini adalah kecelakaan yang terjadi dan saya akan bertanggung jawab terhadap ini semua. Saya tidak lari dan saya akan beberkan apa yang saya lakukan,” kata Edhy.
Edhy Prabowo menyatakan mundur dari posisinya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan serta dari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Edhy juga menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra dan dari Menteri Kelautan dan Perikanan.
Dalam pernyataannya, Edhy meminta maaf kepada Presiden Joko Widodo, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, keluarga besar Partai Gerindra, serta masyarakat, khususnya masyarakat kelautan dan perikanan. Dia juga minta maaf kepada ibunya dan memintanya untuk kuat.
”Saya mohon maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kelautan dan perikanan yang mungkin banyak yang terkhianati seolah-olah saya pencitraan di depan umum, padahal tidak, itu semangat,” ujar Edhy.
Pada operasi tangkap tangan tersebut, KPK mengamankan 17 orang di beberapa tempat, yakni di Bandara Soekarno-Hatta (Tangerang Selatan), Depok, dan Bekasi. KPK menerima informasi mengenai adanya dugaan penerimaan uang oleh penyelenggara negara. Pada 21 November sampai 23 November, KPK kembali menerima informasi adanya transaksi pada rekening bank yang diduga sebagai penampung dana dari beberapa pihak.
Dana tersebut sedang dipergunakan bagi kepentingan penyelenggara negara untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar wilayah Indonesia.
Dana tersebut sedang dipergunakan bagi kepentingan penyelenggara negara untuk pembelian sejumlah barang mewah di luar wilayah Indonesia. Pada hari Selasa, 24 November 2020, Tim KPK bergerak dan membagi menjadi beberapa tim di area Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang Selatan, Depok (Jawa Barat) dan Bekasi (Jawa Barat) untuk menindaklanjuti adanya informasi dimaksud.
”Dari hasil tangkap tangan tersebut ditemukan ATM BNI atas nama AF, tas LV, tas Hermes, baju Old Navy, jam Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi, dan tas koper LV,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango.
Dalam jumpa pers Rabu malam, Nawawi mengumumkan penetapan tujuh tersangka dalam kasus dugaan suap itu. Sebagai tersangka penerima suap ialah Edhy; Safri, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan; Siswandi, pengurus PT ACK; dan Ainul Faqih, selaku staf Iis, istri Edhy. Selain itu, juga Andreu Pribadi Misata, staf khusus menteri, dan Amiril Mukminin. Andreu dan Amiril masih dicari KPK. Sementara sebagai tersangka pemberi suap ialah Suharjito, Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP).
Edhy menjadi menteri ketiga di pemerintahan Presiden Joko Widodo yang berurusan dengan KPK. Pada September 2019, Imam Nahrawi yang saat itu menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Akhir Agustus 2018, Idrus Marham juga diproses hukum terkait suap proyek PLTU Riau-1.