Genetik Pengaruhi Risiko Keparahan Pasien Covid-19
›
Genetik Pengaruhi Risiko...
Iklan
Genetik Pengaruhi Risiko Keparahan Pasien Covid-19
Studi menunjukkan, risiko penyakit ini juga dipengaruhi faktor genetika. Temuan ini berpotensi membuka pintu ke pengobatan baru untuk penyakit tersebut.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit penyerta, terutama yang terkait kardiovaskular dan metabolik, selama ini menjadi faktor risiko utama keparahan Covid-19. Namun, studi juga menunjukkan, risiko penyakit ini dipengaruhi faktor genetika. Temuan ini berpotensi membuka pintu ke pengobatan baru untuk penyakit tersebut.
Kajian yang diterbitkan di New England Journal of Medicine pada Rabu (25/11/2020) mengungkapkan, faktor risiko genetik yang membuat individu bisa berisiko lebih rentan atau sebaliknya terhadap Covid-19. Kajian ditulis para peneliti dari Harvard Medical School.
”Pasien Covid-19 menunjukkan beragam manifestasi klinis dan tingkat keparahan, mulai dari gejala mirip influenza hingga gangguan pernapasan akut,” kata Robert E Gerszten, guru besar dari Harvard Medical School yang juga Direktur Beth Israel Deaconess Medical Center (BIDMC), dalam keterangan tertulis.
Sejumlah kajian sebelumnya menyebutkan, penyakit penyerta yang ada sebelumnya, terutama penyakit kardiovaskular dan metabolik, merupakan faktor risiko untuk keparahan Covid-19.
”Namun, alasan yang mendasari beberapa orang mengembangkan penyakit yang mengancam jiwa, sementara yang lain tetap asimtomatik tidak dipahami dengan baik,” kata Gerszten.
Sebelumnya, kajian Arthur Kaser dari University of Cambridge di jurnal The New England Journal of Medicine pada 15 Oktober 2020 telah menunjukkan adanya bukti genetik yang berkembang dari pasien di China, Eropa, dan Amerika Serikat terkait dengan variasi dampak Covid-19.
Pasien Covid-19 menunjukkan beragam manifestasi klinis dan tingkat keparahan, mulai dari gejala mirip influenza hingga gangguan pernapasan akut.
Selain itu, Kaser menemukan, pasien dengan golongan darah A memiliki peningkatan risiko Covid-19 yang parah dan mereka yang bergolongan darah O mengalami penurunan risiko.
Akan tetapi, menurut Gerszten, asosiasi statistik tak menjelaskan bagaimana perbedaan memodulasi penyakit. Untuk melakukan itu, para ilmuwan perlu memahami protein mana dari bagian kode genom ini dan peran protein ini dalam tubuh dalam konteks penyakit.
Selama satu dekade terakhir, Gerszten dan rekannya menghasilkan basis data seperti itu tentang protein dan metabolit yang terkait berbagai wilayah genom manusia.
Ketika mereka mencari satu ”titik panas” genom yang ditemukan terkait dengan keparahan penyakit Covid-19, mereka akhirnya menemukan bahwa wilayah yang sama terkait dengan protein yang baru-baru ini terlibat dalam proses yang digunakan SARS-CoV-2 menginfeksi sel manusia.
”Kami memanfaatkan basis data kami yang amat besar—datanya lebih dari 100 terabyte—untuk dengan amat cepat menentukan bahwa protein yang paling banyak diekspresikan wilayah itu ternyata adalah co-reseptor untuk virus yang menyebabkan Covid-19, menunjukkan ini mungkin menjadi target untuk intervensi terapeutik,” katanya.
Wilayah ini, menurut Gerszten, disebut sebagai koktail antibodi yang saat ini tersedia sebagian besar menargetkan protein lonjakan pada virus. ”Sebagai gantinya, pekerjaan kami mengidentifikasi protein mana dalam tubuh manusia yang diikat oleh SARS-CoV-2 dan untuk virus korona lainnya,” katanya.
Wilayah kedua dikaitkan dengan protein yang kurang dipahami yang tampaknya memainkan peran menarik sel kekebalan yang disebut limfosit ke tempat infeksi. Analisis awal dari penelitian mereka juga menunjukkan bahwa varian genetik dan protein ini dapat bervariasi antarras.
Untuk pengobatan
Kajian terpisah oleh tim ilmuwan di New York Genome Center, New York University dan Icahn School of Medicine di Mount Sinai mengatakan mereka mengidentifikasi gen yang bisa melindungi sel manusia terhadap Covid-19.
Penemuan ini terjadi setelah pemeriksaan selama delapan bulan dari semua 20.000 gen dalam genom manusia yang dipimpin Neville Sanjana di New York Genome Center.
Ahli virologi terkemuka di Gunung Sinai, Benjamin TenOever, kemudian mengembangkan serangkaian model sel paru-paru manusia untuk skrining virus korona guna lebih memahami tanggapan kekebalan terhadap penyakit dan ikut menulis penelitian.
Studi mereka, yang dipublikasikan secara daring bulan lalu di jurnal Cell, akan muncul dalam edisi cetak jurnal ilmiah dengan review sejawat pada 7 Januari 2021.
Dalam kajian ini, para ilmuwan mengklaim telah menemukan 30 gen yang menghalangi virus menginfeksi sel manusia termasuk RAB7A, gen yang tampaknya mengatur reseptor ACE-2 yang mengikat dan digunakan virus untuk memasuki sel. Kontak pertama lonjakan protein dengan sel manusia adalah melalui reseptor ACE-2.
”Temuan kami menegaskan apa yang diyakini para ilmuwan tentang peran reseptor ACE-2 dalam infeksi, itu memegang kunci untuk membuka kunci virus,” kata TenOever. Itu juga mengungkapkan virus membutuhkan sekotak peralatan untuk menginfeksi sel manusia. Semuanya harus sejalan agar virus dapat memasuki sel manusia.
Tim menemukan gen peringkat teratas yang kehilangannya mengurangi infeksi virus secara substansial berkelompok menjadi segelintir protein kompleks, termasuk vakuola ATPases, Retromer, Commander, Arp2/3, dan PI3K. Banyak dari kompleks protein ini terlibat dalam pertukaran protein ke dan dari membran sel.