Gerindra Serahkan ke Presiden Soal Pengganti Edhy Prabowo
›
Gerindra Serahkan ke Presiden ...
Iklan
Gerindra Serahkan ke Presiden Soal Pengganti Edhy Prabowo
Partai Gerindra tidak akan ikut campur dalam penentuan pengganti Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang ditangkap KPK. Gerindra menyerahkan sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Gerindra menyerahkan kepada Presiden Joko Widodo terkait pengganti dari Edhy Prabowo sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan setelah Edhy ditetapkan tersangka dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun terkait pengganti posisi Edhy sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra, partai akan segera memprosesnya.
Seperti diketahui, Edhy Prabowo ditangkap KPK pada Rabu (25/11/2020) dini hari. Setelah menjalani pemeriksaan di KPK bersama sejumlah orang lainnya yang diduga terlibat, Edhy ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu malam. Ia diduga menerima suap dalam kasus perizinan ekspor benih lobster atau benur.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Edhy, kepada wartawan, menyatakan mundur dari jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Wakil Ketua Umum Gerindra.
Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Senayan, Jakarta, Kamis (26/11/2020), mengatakan, Gerindra menghormati proses hukum terhadap Edhy. Partai termasuk Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto tetap berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. ”Tentunya pengunduran diri dari Pak Edhy Prabowo, kami terima dengan baik sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku di partai. Karena sudah langsung diumumkan, kami terima. Dan kami akan segera siapkan penggantinya,” ujar Dasco.
Mengenai figur pengganti Edhy sebagai Menteri KP, Dasco menyampaikan, hal tersebut merupakan hak prerogatif Presiden. Partai juga belum berkomunikasi lebih lanjut dengan Presiden terkait hal tersebut.
”Kami dari Partai Gerindra tidak mencampuri. Kita tunggu saja bagaimana kebijakan Presiden,” kata Dasco.
Ia pun meminta agar seluruh kader Gerindra tidak terpengaruh oleh kasus Edhy. Seluruh kader diharapkan tetap fokus menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang pemungutan suaranya akan digelar 9 Desember mendatang.
”Kami berprasangka baik saja bahwa hal seperti ini bisa terjadi kepada semua partai politik,” tambahnya.
Menyerahkan diri
Dari perkembangan penyidikan kasus Edhy, Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri menyampaikan, sekitar pukul 12.00, Kamis, dua dari tujuh tersangka penerima suap sudah menyerahkan diri kepada penyidik KPK.
Kedua tersangka adalah APM (Andreu Pribadi Misata) selaku staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga bertindak selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster, dan AM (Amiril Mukminin) dari pihak swasta.
Saat ini kedua tersangka sedang diperiksa penyidik. Setelah diperiksa, penyidik akan menahan kedua tersangka. ”Setelah menjalani pemeriksaan, penyidik akan melakukan upaya paksa penahanan terhadap kedua tersangka menyusul lima tersangka lainnya pasca-penangkapan pada Rabu dini hari kemarin,” ujar Ali.
Momentum evaluasi
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai, penangkapan Edhy menjadi momentum yang tepat bagi Presiden Jokowi untuk mengevaluasi Kabinet Indonesia Maju. Apalagi, menurut penilaian masyarakat, sejumlah menteri belum berkinerja maksimal di tengah pandemi Covid-19.
”Jadi, sekalian saja. Ada kementerian-kementerian yang kerap bikin kegaduhan dan kinerja kurang oke, sekalian saja. Sekaligus evaluasi kinerja menteri secara keseluruhan yang kurang maksinal,” ujar Adi.
Selain itu, penangkapan Edhy hendaknya jadi pelajaran bagi Presiden dan partai politik (parpol). Dalam memilih seseorang menjadi menteri, misalnya, Presiden diharapkan lebih hati-hati. Figur yang diproyeksikan menjadi menteri harus betul-betul dipastikan komitmennya pada pemberantasan korupsi. Parpol pun hendaknya melakukan perbaikan. Bukan kali ini saja, kader parpol di pemerintahan ataupun legislatif yang terjerat korupsi.
Lebih lanjut, menurut Adi, kasus Edhy menjadi tamparan yang keras bagi pemerintah dan parpol. ”Ini setahun pertama periode kedua pemerintahan Jokowi, langsung dilanda prahara besar. Tak tanggung-tanggung, di tengah pandemi Covid-19. Mestinya semua fokus pada penanganan virus korona. Ini ujian berat bagaimana memulihkan kepercayaan publik kembali kepada parpol dan pemerintah,” kata Adi.
Posisi dilematis
Sementara itu, Guru Besar Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat berpandangan, kasus ekspor benih lobster cukup kompleks karena nuansa kepentingan ekonomi-politiknya sangat dominan. Persoalan ini melibatkan multiaktor, multi-kepentingan ekonomi jangka pendek (rent seeking), maupun kepentingan politik kuasa (power seeking).
Ketika Menteri KP dijabat Susi Pudjiastuti, kebijakan tentang larangan ekspor benih lobster dikeluarkan.
”Susi menyakini bahwa Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam hal perikanan, di mana salah satu komoditas unggulan tersebut adalah lobster. Oleh karena itu, tata kelolanya harus dilakukan secara tepat agar dapat memberikan kontribusi yang besar bagi kemaslahatan bangsa,” ujarnya.
Namun, lanjut Syarif, kebijakan Susi tidak populer. Sebab, kebijakan tersebut cenderung mengancam kepentingan ekonomi dan politik sejumlah aktor, entah itu para elite politik penyelenggara negara, maupun para kapitalis dalam dan luar negeri.