Intuisi dan Hoki pada Merapi yang Tak Pernah Ingkar Janji
Saya sedang bersiap mendaratkan ”drone” ketika tiba-tiba tanah tempat saya berpijak terasa bergetar. Terdengar suara gemuruh keras dari arah belakang. Saat menengok, saya terbelalak. Merapi meletus!
Informasi lengkap dan beragam tentang aktivitas vulkanik Gunung Merapi selalu tersedia dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG). Meski begitu, kapan gunung itu akan meletus tetap sulit diprediksi. Dalam konteks merekam momen puncak erupsi Merapi dan menuangkannya ke dalam bentuk berita dan foto yang berguna bagi pembaca, intuisi dan hokilah yang memegang peranan penting.
Gunung Merapi seakan menyandang peringkat bintang lima dan menempati posisi tertinggi dibandingkan gunung lainnya di Nusantara. Peningkatan aktivitas vulkanik sekecil apapun dari Merapi langsung membuat heboh berbagai kalangan, termasuk wartawan.
Ungkapan ”Merapi tak pernah ingkar janji” kerap mengemuka ketika gunung yang berada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu mulai bergejolak. Potensi erupsi salah satu gunung teraktif di dunia itu seolah memberi janji kepada para pewarta akan liputan yang seru dan menantang.
Walaupun berisiko tinggi, meliput Gunung Merapi yang akan erupsi seperti menjadi sesuatu yang dinanti oleh para pewarta foto, tidak hanya yang berasal dari media nasional tetapi juga dari berbagai kantor berita asing. Semua seolah berlomba mendapatkan imaji terbaik dari gunung yang tersohor itu.
Bagi saya pribadi, pengalaman pertama meliput Merapi adalah tahun 2010. Pada paruh kedua tahun itu, status Merapi mulai naik menjadi ”siaga”. Bayangan akan hadirnya wedhus gembel alias awan panas dari puncak Merapi kerap menghantui benak saya yang waktu itu baru dua tahun bertugas sebagai pewarta foto Kompas untuk wilayah DIY.
Saat itu, saya banyak belajar dari para fotografer senior di harian Kompas, seperti Wawan H Prabowo dan Eddy Hasby yang bahkan menjadi mentor saya sejak awal mula berkarier di dunia foto jurnalistik. Belajar secara langsung dengan cara mengikuti keduanya ke sudut dusun-dusun di kaki Merapi menjadi kemewahan tersendiri bagi saya.
Ilmu praktis
Sering kali kami harus bermalam di sejumlah lokasi di lereng Merapi untuk mengabadikan titik api diam serta lelehan lava dari puncak gunung itu. Semakin tinggi status aktivitas Merapi membuat kami semakin meningkatkan kewaspadaan ketika harus memotret malam hari dari sejumlah lokasi, seperti Bukit Klangon dan Dusun Balerante yang jaraknya kurang dari 5 kilometer dari puncak Merapi.
Dari perbincangan dengan keduanya serta dengan pewarta foto lainnya yang telah meliput erupsi Merapi tahun 2006 dan 1994, saya mendapat banyak ilmu praktis. Mengarahkan moncong kendaraan ke arah jalur evakuasi dan membiarkan kunci kontak tetap tergantung di lubang kunci kendaraan adalah salah satu prosedur standar yang harus kami patuhi selama meliput di kawasan zona merah Merapi.
Ilmu yang saya peroleh itu tidak hanya berguna untuk meliput secara aman di kawasan berbahaya, tetapi sekaligus juga melatih intuisi untuk memosisikan diri di lokasi yang paling tepat dan aman saat erupsi terjadi.
Baca juga: Membalas Utang Budi pada Merapi
Selain kamera dengan baterai yang terisi penuh serta tripod plus kabel untuk memencet tombol rana kamera, kami juga selalu membawa handy talkie (HT) untuk mendengarkan sinyal seismograf aktivitas vulkanik Merapi yang dipancarkan lewat gelombang radio.
Ketika bunyi dari HT mulai terdengar meliuk-liuk, kami tidak saja harus siap membuka rana kamera untuk merekam gambar, yang lebih penting lagi harus siap meninggalkan lokasi secepat mungkin ketika luncuran awan panas menunjukkan tanda-tanda mengarah ke lokasi kami.
Menjelang erupsi puncak Merapi 2010, saya berbagi tugas dengan Wawan H Prabowo. Ia bertugas di lokasi yang dekat dengan puncak Merapi, sedangkan saya berkeliling di lokasi yang lebih rendah untuk mencari foto bertema lain untuk mengisi lembar daerah harian Kompas yang khusus beredar di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Saat itu, Kompas masih mempunyai edisi lembar daerah yang terbit di provinsi-provinsi besar tertentu.
Untuk mengisi halaman daerah tersebut, setiap hari kami harus mencari foto bertema ekonomi, perkotaan, dan pendidikan, selain tentu saja foto dari peristiwa besar dan penting yang tengah terjadi, seperti kondisi Merapi ini.
Kebutuhan ini mendorong saya tetap berjaga di Rumah Sakit Panti Nugroho di Kecamatan Pakem, Sleman, untuk memotret kedatangan para korban yang terkena awan panas ketika erupsi pertama terjadi pada 26 Oktober 2010.
Tidak lama setelah erupsi besar terjadi, Wawan berhasil memotret korban yang terkena awan panas saat tiba di pengungsian warga di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Foto itu kemudian tampil di halaman muka Kompas keesokan harinya dan membawa efek kejut yang luar biasa akan skala peristiwa yang saat itu terjadi.
Baca juga: Dari Merapi, Terempas ke Ombak Ganas Mentawai
Selama beberapa hari, saya menahan diri untuk tidak mengikuti Wawan ke Dusun Kinahrejo yang porak-poranda diterjang awan panas. Menurut saya akan menjadi kurang efektif ketika dua jurnalis foto dari media yang sama berada di tempat yang sama dan menghasilkan gambar yang relatif mirip dari sebuah peristiwa besar yang tengah berlangsung.
Dengan pembagian lokasi tugas, kami dapat meyakinkan pembaca bahwa sebagian besar peristiwa penting hari itu tidak luput dari pantauan dan liputan kami.
Ketika tiba giliran saya menyusuri kawasan atas Merapi, saya dipandu oleh sukarelawan Bambang Sugeng. Beliau adalah salah satu sosok penentu keberhasilan liputan wartawan Kompas di Merapi. Berkat pria yang kerap kami panggil om Bambang itu, informasi perkembangan Merapi dengan cepat kami peroleh.
Menyelamatkan hewan
Bersama Om Bambang, saya mencapai tempat-tempat yang belum terjamah sebelumnya karena situasi yang masih sangat berbahaya. Suatu ketika, kami bertemu seorang warga yang nekat memasuki rumahnya yang telah porak-poranda di Dusun Pangukrejo demi mencari sertifikat rumah miliknya.
Kali lain, kami berboncengan naik sepeda motor trail miliknya melintasi areal padang golf yang sunyi ditinggalkan seluruh pegawainya yang mengungsi.
Tujuan kami saat itu untuk menyelamatkan hewan-hewan yang masih terjebak di dalam kandangnya di tempat olahraga mewah tersebut. Hanya bunyi gemuruh perut Merapi dan suara sinyal seismograf dari HT yang terdengar selama kami melakukan upaya penyelamatan tersebut.
Baca juga: Semangkok Mi dan Segelas Kopi di Saat Akhir Bersama Mbah Maridjan
Letusan yang terjadi 26 Oktober 2010 rupanya masih diikuti sejumlah letusan susulan lainnya. Puncak letusan Merapi kemudian terjadi beberapa hari setelahnya, yakni pada 5 November dini hari.
Telepon dari Eddy Hasby membangunkan saya yang tertidur kelelahan. ”Ndrak, ini besar nih letusannya. Segera cari evakuasi warga dan tetap hati-hati ya,” seru Eddy kepada saya yang masih dalam kondisi setengah sadar.
Saya pun bergegas mengenakan jaket, membawa tas berisi kamera, dan menyalakan sepeda motor sambil tetap merasa bingung harus ke mana karena langit masih gelap.
Setelah berkoordinasi melalui pesan pendek dengan Wawan, saya pun meluncur ke Stadion Maguwoharjo untuk menunggu kedatangan pengungsi. Aroma kepanikan sudah mulai terasa ketika saya tiba. Pengungsi mulai berdatangan sejak pukul 02.30. Kebanyakan dalam kondisi berlumur lumpur vulkanik.
Gelombang kedatangan pengungsi terus berlangsung sementara hujan abu vulkanik yang turun semakin pekat. Raut muka sedih bercampur bingung terpancar dari wajah pengungsi yang berubah abu-abu karena terkena guyuran abu vulkanik Merapi.
Saya kembali bertemu Om Bambang yang saat itu sibuk memboncengkan para pengungsi dengan sepeda motornya. Mobil bak terbuka miliknya juga tampak hilir mudik mengangkut para pengungsi.
Baca juga: Ironi dan yang Bikin Geli di Gang Dolly
Menjelang pagi, saya meninggalkan tempat pengungsian untuk beristirahat sejenak karena saat matahari menyingsing saya sudah harus liputan kembali untuk melihat dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh erupsi Merapi. Hujan abu yang lebat mengiringi perjalanan saya menyusuri Jalan Lingkar Utara yang aspalnya tidak lagi berwarna hitam, tetapi abu-abu karena berselimut debu vulkanik.
Sialnya, sehari sebelumnya saya lupa mengisi bahan bakar yang menyebabkan sepeda motor yang saya kendarai mati di tengah perjalanan. Padahal, dini hari itu belum ada satu pun SPBU yang buka sehingga saya sempat mendorong sepeda motor sejauh beberapa ratus meter di bawah guyuran hujan abu.
Untunglah, tidak lama terlihat penjual bensin eceran yang tengah bersiap membuka tempat usahanya. Saya pun dapat kembali melanjutkan perjalanan ke rumah kontrakan di kawasan Jombor, Sleman.
Liputan erupsi Merapi 2010 bagi saya terasa seperti lomba lari maraton yang seakan tak berujung. Beberapa minggu setelah erupsi, kawasan kaki Gunung Merapi dilanda bencana banjir lahar hujan yang menghanyutkan sisa erupsi gunung itu.
Dampaknya, kawasan Pasar Desa Jumoyo di tepi Sungai Putih, Kabupaten Magelang, lenyap disapu banjir lahar hujan. Ditambah lagi Jembatan Sungai Pabelan di Jalan Raya Semarang-Yogyakarta yang terputus dihantam material sisa erupsi Merapi.
Berbagai bencana ini membuat rangkaian liputan erupsi Merapi serasa tak pernah berhenti. Ketegangan liputan erupsi Merapi baru mengendur menjelang setahun pasca-letusan pertama gunung itu pada akhir 2010.
Perubahan karakter Merapi
Sekitar sewindu kemudian, gunung yang sempat kembali adem ayem itu kembali memuntahkan energinya. Namun, karakter letusannya kali ini berbeda dari sebelumnya.
Letusan yang terjadi lebih sering bersifat freatik dan semakin susah diprediksi karena tidak memperlihatkan urutan kejadian seperti erupsi tahun-tahun sebelumnya. Beberapa kali letusan bersifat tiba-tiba dan seakan tidak memberi kesempatan kepada wartawan yang hendak meliputnya untuk mempersiapkan diri terlebih dahulu.
Salah satunya terjadi tanggal 11 Mei 2018. Saat itu saya sedang mendapat libur dan pulang menengok keluarga di Salatiga, Jawa Tengah. Sekitar pukul 09.00, tiba-tiba terlihat kepulan asap berwarna abu-abu kecoklatan. Pemandangan yang tidak asing itu terlihat dari depan rumah. Firasat saya langsung mengatakan bahwa Merapi mendadak meletus.
Setelah mengonfirmasi kondisi Merapi melalui gawai dan kepada rekan-rekan di Yogyakarta, saya pun berusaha secepat mungkin menerbangkan drone dari depan rumah. Untung saja masih ada sisa-sisa tenaga baterai karena sehari sebelumnya drone itu sempat saya terbangkan.
Meski begitu, foto yang dihasilkan saya rasakan masih kurang maksimal karena posisi Gunung Merapi sebagian besar terhalang oleh badan Gunung Merbabu. Imaji yang terekam terasa belum cukup baik meski saya telah berusaha menerbangkan drone hingga 1 kilometer dari lokasi saya berdiri. Bahkan, pesawat drone itu sempat beberapa kali hilang koneksi karena interferensi sinyal dari menara pemancar sinyal telepon seluler.
Setelah sekitar 10 kali memotret, saya segera menurunkan drone dan berpindah lokasi ke pusat Kota Salatiga untuk mendapatkan sudut pandang yang lebih baik. Meski hanya tinggal sisa asap letusan yang mulai memudar, saya berhasil mendapatkan foto Merapi yang baru saja meletus dengan latar depan pemandangan Kota Salatiga.
Hoki Merapi
Pascaperistiwa tersebut, saya lebih meningkatkan kewaspadaan untuk mengantisipasi letusan dadakan. Setelah itu, saya sempat beberapa kali berjaga malam-malam seorang diri di Bukit Klangon demi menanti letusan yang entah kapan akan terjadi. Jaraknya dari puncak Merapi hanya 4 kilometer. Selama hari-hari menanti tanpa kepastian, ”Dewi Fortuna” benar-benar dirindukan kunjungannya.
Akhirnya nasib mujur itu hadir sebulan kemudian. Saat itu, tanggal 1 Juni 2018, langit cerah menaungi perjalanan saya dari Salatiga menuju Yogyakarta. Gunung Merapi terlihat gagah di bawah birunya langit yang bersih tak berawan.
Saya mengarahkan kemudi mobil ke arah kawasan Ketep di Kecamatan Sawangan, Magelang. Di sana Gunung Merapi bisa terlihat utuh dan gagah saat hari cerah. ”Siapa tahu pas lewat nanti pas erupsi,” batin saya.
Sekitar pukul 08.00, saya mampir di salah satu warung di tepi jalan dan mulai menerbangkan pesawat nirawak alias drone ke atas obyek wisata Ketep Pass. Tujuan awal saya sebenarnya sekadar menghasilkan foto tentang daya tarik obyek wisata itu.
Setelah melancarkan berbagai manuver drone untuk memotret dan sesekali merekam video, indikator baterai menunjukkan angka 40 persen. Ini isyarat agar saya segera mendaratkan drone. Saya kemudian duduk di warung dengan badan membelakangi Gunung Merapi dengan drone masih berada beberapa puluh meter di atas kepala.
Saya sedang bersiap mendaratkan drone ketika tiba-tiba tanah tempat saya berpijak terasa bergetar. Terdengar suara gemuruh keras dari arah belakang. Saat menengok, saya terbelalak. Merapi meletus!
Setelah sempat bengong beberapa detik, saya segera memencet tombol untuk merekam imaji momen langka tersebut. Setelah berhasil memotret dengan drone, saya segera berlari ke mobil untuk mengambil tas berisi kamera yang masih tersimpan di bagasi.
Remote drone saya letakkan di meja warung dan drone saya biarkan melayang dengan tenang di udara tanpa dikendalikan siapapun agar saya dapat memotret menggunakan kamera DSLR. Setelah berlarian ke sana kemari agar dapat memotret letusan Merapi dengan cepat sembari mencari latar depan yang menarik, akhirnya saya kembali memegang remote drone untuk menurunkan pesawat nirawak tersebut.
Baterai hanya tersisa 15 persen ketika drone berhasil saya daratkan. Setelah itu, saya menyempatkan membuat video timelapse dengan telepon genggam untuk merekam sisa-sisa letusan di tubuh Merapi.
”Panjenengan kok bejo men, Mas?” ucap pria pemilik warung. Maksudnya, saya beruntung sekali (karena dapat merekam erupsi Merapi sejak detik-detik awal). Saya hanya bisa tersenyum merespons pertanyaan tersebut. Saat itu, rasanya saya menjadi jurnalis foto paling beruntung di sekitar Merapi.
Namun, sejak peristiwa itu, hoki belum singgah lagi untuk urusan meliput Merapi. Beberapa kali letusan freatik Merapi terjadi ketika saya sedang berada di tempat dan waktu yang tidak tepat.
Menunggu semalaman sambil menggigil kedinginan di Dusun Stabelan, Desa Tlogolele, Boyolali, yang jaraknya hanya 3 kilometer dari puncak Merapi pun tidak membuahkan hasil karena letusan yang ditunggu-tunggu tidak kunjung terjadi.
Tepat sepuluh tahun pasca-letusan besar Merapi 2010, status Merapi kembali naik seperti diumumkan BPPTKG pada 5 November 2020 pukul 12.00. Merapi kembali Siaga. Sekali lagi, dimulailah rangkaian maraton liputan erupsi Merapi bagi awak media.
Tidak hanya Merapi yang Siaga, kami pun setiap hari siaga mengantisipasi kalau-kalau Merapi meletus tiba-tiba. Kali ini kami berusaha lebih siap sembari terus berharap agar tidak timbul korban jiwa dan kerusakan parah akibat erupsi Merapi.