Sekolah tidak dapat memaksakan peserta didik mengikuti pembelajaran tatap muka jika orangtuanya tidak mengizinkan. Sekolah pun harus melakukan persiapan matang sebelum membuka pembelajaran tatap muka.
Oleh
ANITA YOSSIHARA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Izin orangtua menjadi kunci pelaksanaan pembelajaran tatap muka yang diperbolehkan dimulai pada semester genap bulan Januari 2021. Sekolah tidak bisa memaksakan anak yang tidak mendapatkan izin orangtua untuk mengikuti pembelajaran tatap muka.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, dalam jumpa wartawan virtual dari Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (25/11/2020), menegaskan, pembukaan pembelajaran tatap muka bukan berarti pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau dalam jaringan (daring) berakhir. Orangtua bisa memilih tetap menjalankan PJJ meski sekolah memutuskan untuk melakukan pembelajaran tatap muka.
Karena itu, Nadiem meminta para orangtua untuk tidak khawatir karena tidak boleh ada paksaan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka. ”Orangtua tidak perlu khawatir karena kalaupun sekolah anaknya mulai tatap muka, dia tidak bisa memaksa anaknya untuk sekolah. Orangtua bisa bilang, ’Saya belum nyaman kalau anak saya sekolah’, maka anak bisa melanjutkan pembelajaran jarak jauh,” katanya dalam jumpa wartawan yang disiarkan langsung di saluran Youtube Sekretariat Presiden.
Para orangtua untuk tidak khawatir karena tidak boleh ada paksaan untuk mengikuti pembelajaran tatap muka.
Dalam kesempatan itu, Nadiem juga kembali menegaskan, pembukaan sekolah bukan hanya menjadi kewenangan pemerintah daerah. Keputusan pembelajaran tatap muka harus disetujui kepala sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan orangtua siswa. Jika komite sekolah tak mengizinkan pembelajaran tatap muka, sekolah tidak diperkenankan untuk dibuka.
”Jadi kuncinya ada di orangtua,” ujarnya menegaskan.
Pembelajaran tatap muka juga hanya bisa dilakukan dengan sejumlah persyaratan. Selain ketersediaan sarana dan prasarana untuk menjalankan protokol kesehatan ketat, jumlah peserta pembelajaran tatap muka juga dibatasi hanya 50 persen dari kapasitas kelas, yakni maksimal 18 siswa. Karena itulah, secara otomatis, sekolah harus membagi rombongan belajar menjadi dua kelompok dengan jadwal bergantian.
Selain itu, tidak boleh ada aktivitas lain di luar kegiatan belajar-mengajar. ”Enggak ada kantin lagi, enggak ada ekskul (ekstrakulikuler) lagi, enggak ada olahraga, enggak ada aktivitas lain. Jadi masuk kelas, belajar, pulang langsung. Ini bukan sekolah normal,” tuturnya.
Sekolah pun harus melakukan persiapan matang sebelum memutuskan untuk memulai pembelajaran tatap muka. Selain menyiapkan sarana mencuci tangan dan alat pendeteksi suhu badan, sekolah juga harus dipastikan memiliki akses ke berbagai pusat pelayanan kesehatan.
Sekolah pun harus melakukan persiapan matang sebelum memutuskan untuk memulai pembelajaran tatap muka. Selain menyiapkan sarana mencuci tangan dan alat pendeteksi suhu badan, sekolah juga harus dipastikan memiliki akses ke berbagai pusat pelayanan kesehatan. Sesuai dengan protokol yang ditetapkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19, sekolah juga harus siap menghentikan pembelajaran tatap muka jika terjadi kasus infeksi virus korona baru (SARS-CoV-2).
”Jadi sebenarnya untuk mempersiapkan semuanya itu cukup memakan waktu,” kata Nadiem.
Ketatnya persyaratan pembukaan sekolah membuat belum semua sekolah di zona kuning dan hijau yang melakukan pembelajaran tatap muka. Setelah pemerintah membolehkan pembukaan sekolah di zona kuning dan zona hijau, hanya sebagian yang memutuskan pembelajaran tatap muka.
Menurut Nadiem, di daerah yang tergolong zona hijau saja, hanya 75 persen sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka. Bahkan, di zona kuning, hanya 20-25 persen sekolah yang melakukan kegiatan belajar-mengajar langsung di kelas.
Setelah pemerintah membolehkan pembukaan sekolah di zona kuning dan zona hijau, hanya sebagian yang memutuskan pembelajaran tatap muka.
Permintaan dari pemerintah daerah menjadi pertimbangan keputusan pembukaan sekolah. ”Alasan kita melakukan ini adalah karena adanya berbagai macam permintaan dari pemerintah daerah. Wilayah kabupaten itu besar sehingga mereka punya desa-desa atau kecamatan-kecamatan yang menurut mereka aman dan sangat sulit melakukan PJJ. Karena itu, menurut mereka, sudah bisa mulai melakukan tatap muka,” tutur Nadiem.
Menteri Agama Fachrul Razi menambahkan, salah satu pertimbangan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka adalah karena siswa sudah rindu sekolah. Selain itu, mereka juga kesulitan akses internet untuk PJJ di sejumlah wilayah menjadi pertimbangan. Apalagi madrasah yang berada di bawah Kementerian Agama masih banyak yang belum memiliki sarana untuk mendukung PJJ.