Pemerintah mengusulkan revisi UU Narkotika masuk Prolegnas Prioritas 2021. Lapas yang didominasi oleh napi kasus narkoba menjadi salah satu pertimbangannya. Perlu perubahan pendekatan dalam menindak pecandu narkotika.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly terlihat berang sekali dengan kondisi lembaga pemasyarakatan yang saat ini kelebihan penghuni. Tanpa basa-basi, ia menyebut, ”biang kerok” semua itu adalah penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang serampangan.
Dengan UU Narkotika itu, siapa pun bisa terjerat, mulai dari pencandu/pemakai, kurir, hingga bandar. Alhasil, lapas pun menjadi pasar narkoba yang lebih liar daripada di jalanan. Risiko moral pun ada di pundak petugas lapas. Jika mereka goyah, mereka akan ikut terjerumus.
Menurut Yasonna, solusi baru dalam penanganan narkotika harus dicari sehingga tak melulu dengan pendekatan hukum. Ia sangat setuju, bandar narkotika harus dibasmi tuntas. Namun, bagi pencandu, rehabilitasi bisa menjadi pilihan yang tepat, kecuali mereka mengulangi kesalahan yang sama.
Jika tak begitu, jumlah napi akan terus membeludak. Pembangunan lapas baru juga tak bisa dijadikan solusi. Laju napi tak sepadan dengan jumlah lapas yang akan dibangun. Apalagi, anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sangat terbatas. Itu hanya akan menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus.
Bagaimana konsep besar revisi UU Narkotika yang diusulkan pemerintah di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021? Berikut petikan wawancara Kompas bersama Yasonna, Selasa (24/11/2020).
Mengapa pemerintah ”getol” sekali merevisi UU Narkotika?
Sekarang saja, penghuni lapas sudah 260.000 orang. Itu sudah melebihi kapasitas. Kita, kan, heran, kok satu jenis crime (kriminal) mendominasi (yaitu penyalahgunaan obat-obatan terlarang), more than fifty percent (lebih dari 50 persen) dari (total penghuni) lapas. Lebih ngeri lagi, sekarang ini pemakai, kurir, bandar jadi satu di lapas.
Maka, persoalan ini harus kita selesaikan. Antara kurir dan pemakai itu so slim (hampir sama) dalam undang-undang (UU Narkotika) sekarang. Akibatnya, kalau kita memasukkan pemakai, kurir, bandar, di suatu tempat, dia jadi pasar. Moral hazard (risiko moral) ada pada petugas kami. Orang kecanduan di dalam (lapas), ya memang segala cara dimainin.
Revisi UU Narkotika ini sudah tiga tahun diusulkan (masuk prolegnas), tetapi masih tersangkut. Kami harapkan bisa selesai dalam waktu dekat karena ini biang keroknya. Karena itu pula, saya tetap ngotot (revisi UU Narkotika) masuk Prolegnas 2021.
Bagaimana dengan upaya membangun lapas?
Membangun lapas, kan, tak bisa ngejar pertumbuhan napinya. Saya itu menjadi menteri (Menkumham) tahun 2014, napi masih 155.000 orang. Sekarang menyentuh angka 270.000 napi. Naik 120.000 napi sekian. Bangun lapas untuk 1.000 napi, yang medium security, Rp 100 miliar. Kalikan saja. Anggaran saya cuma Rp 13 triliun kok untuk satu kementerian. Lapas cuma Rp 5 triliun. Dari anggaran Rp 5 triliun ini, untuk makanan napinya saja sudah berapa triliun.
Lalu, apa usulan solusi yang ditawarkan pemerintah?
Pendekatannya memang harus kita ubah. Jadi, supaya fair (adil), memang pemakai harus direhabilitasi. Saya ke Belanda, mengapa sel kosong-kosong begitu (di sana)? Itu karena mereka melihat narkotika itu problem kesehatan, bukan problem crime (criminal). Ada orang kecanduan, direhabilitasi. Kalau crime (kriminal), ditangkapi.
Apakah pendekatan rehabilitasi bisa menekan pengguna narkotika di sebuah negara?
Banyak studi mengungkap, bahkan ancaman hukuman mati tak menggetarkan banyak orang. As long as the market in this country so huge (asalkan pasar di negeri ini begitu besar), bandar itu akan mengirimkan dengan segala cara. Hukum ekonomi berlaku, di mana pasar besar, pasti dia jual.
Mereka tak tersentuh oleh kita. Kalau Amerika, bisa mengejar bandar sampai ke Meksiko, sampai ke Nikaragua. Kita? Mengejar ke Malaysia saja tak bisa.
Nah, kita juga harus campaign (kampanye) besar, di sekolah. Ini perang. Narkotika menjadi musuh negara. Berkali-kali kita mengatakan itu, tetapi kita tak pernah menganggapnya sebagai suatu perang. Dulu narkoba itu hanya sampai di kota-kota besar, sekarang di pelosok sudah sampai.
Kalau pemakai, direhablah. Kembalikan ke keluarga untuk direhab kalau dia punya kemampuan. Kalau tidak, (dibayar melalui) BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) atau apa, memang harus kita sediakan anggaran untuk itu.
Jadi, jika mereka yang direhab mengulangi kesalahan, baru ditindak tegas?
Iya, kalau berulang, baru (ditindak tegas). Karena ini penyakit. Berhentikan merokok saja susah, apalagi berhentikan narkotika. Harus ada usaha medis untuk itu. Kalau tidak, dia akan ketergantungan.
Dan saya setuju, bandar itu memang harus dibasmi habis, dimiskinkan. Tidak cukup hanya dihukum, tetapi dikenakan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Dia betul-betul harus dikejar, sampai ke mana bandarnya itu.
Kapan revisi UU Narkotika ini ditargetkan selesai?
Harus tahun ini.
Naskah akademik?
Sudah, tinggal menyamakan persepsi saja. Terlalu lama menyamakan persepsi ini. Kalau inisiatif pemerintah, naskah akademik harus dari presiden. Tetapi sebelum sampai Presiden, kita harus satu persepsi. Kalau dari saya, sudah ingin cepat-cepat saya kirim (naskah akademiknya). Tetapi, kan, enggak boleh seperti itu. Penyusunan perundang-undangan, kan, harus dari pemerintah dan stakeholders terkait, ada jaksa, polisi, dan lain-lain. Kita dengar. Studinya sudah panjang. Ini, kan, untuk bangsa. Sekali lagi, kalau masalah ini tak segera diselesaikan, ini akan menjadi penyakit.