Kota Banyumas memiliki kota tua, tidak hanya Kota Semarang yang telah dikenal wisatawan.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·5 menit baca
Terik mentari yang menyengat siang itu menyambut langkah 34 pengunjung dari rombongan biro wisata Milangkori. Air sisa hujan kemarin menggenang di sejumlah titik. Jejak basahnya juga menempel pada lumut di tembok-tembok sejumlah rumah berasitektur kolonial. Semilir angin dingin menerbangkan memori ke masa berpuluh tahun silam.
Perjalanan wisata bertajuk ”Banjoemas Heritage Walk” dimulai dari titik kumpul di sebuah kafe bernama Kedai Yammie 1001 Banyumas. Hendra Christianto (44), pemilik kafe, menyampaikan, rumah ini dibangun sekitar tahun 1860. Leluhurnya, yaitu Tjhie Bing Tjiaw, adalah saudagar batik dan juga seorang kapiten Tionghoa di Banyumas, Jawa Tengah. Di teras depan rumah, peserta melakukan daftar ulang, dicek suhu tubuhnya, sekaligus santap siang sebelum mengawali tur berdurasi sekitar lima jam hingga petang tiba.
Sigit Asmodiwongso, pemandu tur dari Milangkori, menyampaikan, rumah ini bergaya indische, tetapi tetap memperhitungkan fengshui Tionghoa. Rumah gaya indische memiliki lorong langsung dari depan ke belakang dan jendela saling berpasangan sehingga terjadi ventilasi silang. Karena lorong langsung tidak baik secara fengshui, di ruang tamu diberi tembok dua pintu di sisi kiri-kanan penghubung ke ruang tengah. ”Ini perpaduan. Style indische kena, tapi hitungan fengshui tidak dilanggar. Inilah salah satu kekhasan rumah ini,” tuturnya, Sabtu (17/10/2020).
Dari kedai tersebut, pengunjung berjalan kaki menyusuri Jalan Pungkuran ke arah selatan. Pungkuran artinya berada di belakang. Jalan ini tepat berada di belakang Kecamatan Banyumas. Setelah berjalan sekitar 300 meter, pengunjung tiba di lokasi kedua, yaitu Rumah Kapiten Tjoeng A Hwee.
Sigit menyampaikan, semasa hidupnya, Tjoen A Hwee adalah kapiten sekaligus pengusaha batik dan salah satu merek batiknya Cap Merak. Sebagai kapiten tidak dibayar, ia mempunyai hak konsesi atas perdagangan tertentu, entah itu gula, garam, dan sarang burung walet, serta opium. ”Tugas kapiten, satu, melakukan sosialisasi kebijakan perundang-undangan Hindia-Belanda. Kemudian, belakangan juga melakukan tanda tangan kartu pas. Dulu ada aturan orang Tionghoa yang mau keluar dari Pecinan harus pakai kartu pas,” ujar Sigit.
Dari rumah kapiten, pengunjung berjalan sekitar 200 meter ke arah timur menuju sentra Batik Hadi Priyanto Banyumas di Jalan Mruyung. Di tempat ini, pengunjung diajak melihat dan mengenal proses pembuatan batik, mulai dari yang batik tulis hingga batik cap.
Selain itu, ada pula proses pembuatan tenun dengan alat tradisional yang biasa dikenal dengan alat tenun bukan mesin (ATBM). ”Batik Banyumas motifnya tegas. Warnanya, batik Banyumas dominan krem, warnanya kecoklatan, lebih tua atau gelap. Ini menunjukkan karakter orang Banyumas yang cablaka. Artinya tegas, terus terang, apa adanya,” ujar Slamet Hadi Priyanto (50), pemilik sentra batik itu.
Seusai berfoto dan mengelilingi sentra batik, pengunjung melanjutkan perjalanannya ke kantor Kecamatan Banyumas dan istirahat di naungan duplikat Pendopo Sipanji. Di sini, pengunjung disambut Camat Banyumas Abdul Kudus dan dimeriahkan dengan atraksi kesenian tari lengger. Sejumlah kudapan khas Banyumas, mulai dari mendoan, aneka olahan singkong, dan wedang jahe, tersaji di pendopo. Pengunjung juga dapat menikmati sejumlah lukisan karya pelukis Banyumas.
Di Rumah Lengger Banyumas, yang berada di sisi belakang kompleks Kecamatan Banyumas, pengunjung dapat melihat koleksi kiprah maestro Lengger Lanang Mbok Dariah. Kostum, perlengkapan pentasnya, serta arsip pemberitaan di harian Kompas disimpan di sana. Rumah Lengger Banyumas yang diinisiasi oleh penari Lengger Lanang Rianto ini ke depannya akan menjadi tempat berkesenian seluruh kesenian Banyumas, mulai dari tari lengger, karawitan, kuda lumping, dan lain-lain.
”Pengunjung yang datang ke sini bisa melihat tiga hal besar, pertama, wisata sejarah karena ada bangunan-bangunan sejarah dan ceritanya. Kedua, ada budayanya. Ketiga, Sungai Serayu,” kata Abdul.
Menurut Abdul, di Kecamatan Banyumas ada 54 bangunan cagar budaya. Yang berada di bawah tanggung jawab pemerintah daerah ada 20 unit. ”Kondisinya secara umum masih utuh, tetapi sekitar 10 persen perlu perhatian khusus,” katanya. Perhatian khusus serta kolaborasi antara pemerintah dan pemilik bangunan cagar budaya perlu ditingkatkan untuk menjaga kelestariannya.
Menjelang sore, wisatawan kembali menyusuri jalan-jalan di belakang tembok Kecamatan Banyumas. Rumah dokter Gumberg, Ndalem Pangeranan, rumah keluarga Ong, dan Kelenteng Boen Tek Bio menjadi sejumlah titik kunjungan wisatawan. Di Ndalem Pangeranan, pengunjung bisa melihat koleksi buku-buku lawas yang sebagian sudah rusak dimakan waktu.
Founder Banjoemas History Heritage Community (BHHC) Jatmiko Wicaksono menyebutkan, kekhasan Banyumas adalah satu-satunya kota dengan predikat oude stad. ”Oude stad itu adalah tata kota lama yang masih terus dipertahankan. Di kota lain sudah tidak ada lagi seperti yang dipunyai Banyumas. Kondisinya karena lama ditinggalkan, pada 1937 pusat pemerintahan digabung dengan Purwokerto dan dipindah ke sana, seakan-akan Banyumas ditinggalkan. Kami ingin Banyumas bangkit lagi,” kata Jatmiko.
Jatmiko dalam tesisnya berjudul ”Perancangan Komunikasi Visual Program Kampanye Perlindungan Warisan Sejarah di Banyumas” (Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 2016) menyebutkan, sepanjang 2012 hingga 2015, berdasarkan catatan BHHC, terjadi sejumlah pembongkaran dan pengalihfungsian bangunan bersejarah di Kabupaten Banyumas. Bangunan itu di antaranya pembongkaran alun-alun Purwokerto (2012), pembangunan sumur permanen di dalam gedung utama kompleks Pendopo Si Panji (2012), pembongkaran Vila Kradji Purwokerto (2013), pembongkaran stasiun timur Purwokerto (2013), pembongkaran perpustakaan pertama di Banyumas (2013), pembongkaran pasar tradisional Sokaraja (2014), pembongkaran bangunan cerobong bekas pabrik gula Kalibagor (2015), pembongkaran gedung kesenian Soetedja Purwokerto (2015), serta pembongkaran bangunan bekas NV Ko Lie Sokaraja (2015).
Anggi Prasetyo (23), salah satu peserta Banjoemas Heritage Walk asal Kebumen, tertarik mengikuti kegiatan ini karena ingin mengenal sejarah dan berwisata di Banyumas. ”Ini pertama kali blusukan di Banyumas, biasanya hanya lewat jalan besarnya saja,” tutur Anggi.
Unik Nurul Asmi (25), peserta yang juga seorang guru sejarah di SMK 1 Binangun, Cilacap, tertarik ikut wisata sejarah ini karena bisa menjadi bahan cerita untuk peserta didiknya. ”Saya suka sejarah, suka jalan-jalan dan penasaran dengan sejarah yang ada di tempat tinggal kita sendiri. Kita tahunya kota lama Semarang, ternyata di Banyumas yang dekat juga ada,” kata Unik yang tinggal di Sampang, Cilacap.
Baik Anggi maupun Unik berharap peninggalan yang ada di kota lama Banyumas ini dirawat dan dijaga sehingga tidak punah ditelan waktu. ”Mestinya dirawat dan dijaga serta dikenalkan kepada anak-anak mudanya,” kata Anggi.
Matahari mulai tenggelam di peraduan ketika wisatawan lokal kembali ke titik awal yang sekaligus menjadi titik akhir perjalanan menyusuri kota lama Banyumas. Di tengah gelapnya petang, tersimpan memori sekaligus secercah harapan bahwa jejak sejarah di kota lama Banyumas potensial dijaga dan dilestarikan.