MK Tolak Permohonan Pemberian Tambahan Insentif Tenaga Kesehatan
›
MK Tolak Permohonan Pemberian ...
Iklan
MK Tolak Permohonan Pemberian Tambahan Insentif Tenaga Kesehatan
Diwarnai ”dissenting opinion” dari tiga hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi mengenai perlunya pemerintah diwajibkan memenuhi hak-hak dasar, seperti APD dan insentif, bagi tenaga medis.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) yang meminta pemerintah memenuhi hak-hak dasar tenaga medis, seperti alat pelindung diri dan tambahan insentif, di masa pandemi Covid-19. Menurut MK, permohonan tersebut tidak beralasan hukum. Namun, dalam putusan nomor 36/PUU-XVIII/2020 itu, tiga hakim konstitusi menyatakan berbeda pendapat (dissenting opinion).
Putusan uji materi Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 6 UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan itu dibacakan dalam sidang di MK, Rabu (25/11/2020). MK menolak permohonan provisi para pemohon dalam pokok permohonannya. Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
MK menyatakan, persoalan ketidaktersediaan alat pelindung diri secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di masa pandemi Covid-19 adalah bentuk kepedulian dan keprihatinan para pemohon yang harus menjadi catatan khusus bagi pemerintah.
Sebelumnya, MHKI meminta permohonan provisi kepada MK agar memerintahkan kepada pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar tenaga medis, tenaga kesehatan, dan pegawai kesehatan yang sedang berjuang melawan pandemi Covid-19 di lapangan. Menurut pemohon, permohonan didasarkan pada alasan yang kuat sebab masih banyak hak tenaga kesehatan yang belum dipenuhi di masa pandemi Covid-19.
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan bahwa persoalan ketidaktersediaan APD secara merata untuk memenuhi seluruh kebutuhan tenaga medis, kesehatan, dan pegawai fasilitas kesehatan di masa pandemi Covid-19 adalah bentuk kepedulian dan keprihatinan para pemohon yang harus menjadi catatan khusus bagi pemerintah. Namun, menurut MK, hal itu tidak berkorelasi secara langsung dengan anggapan inkonstitusionalitas norma Pasal 6 UU No 6/2018. MK berpendapat, dalil pemohon mengenai konstitusionalitas Pasal 6 UU No 6/2018 tidak beralasan menurut hukum.
MK juga berpendapat bahwa permohonan agar MK memaknai frasa ”ketersediaan sumber daya yang diperlukan” dalam Pasal 6 UU No 6/2018 menjadi ”ketersediaan alat pelindung diri bagi tenaga medis” telah diakomodasi dalam ketentuan Pasal 72 Ayat (3) UU No 6/2018. APD yang dimaksud adalah bagian dari alat kesehatan yang merupakan bagian dari perbekalan kekarantinaan kesehatan, bukan bagian dari fasilitas kesehatan sebagaimana didalilkan oleh pemohon.
”Apabila petitum pemohon dikabulkan berkenaan dengan pemaknaan frasa ’ketersediaan sumber daya yang diperlukan’ dalam Pasal 6 UU No 6/2018 dimaknai menjadi ketersediaan APD, instentif bagi tenaga medis, dan santunan bagi keluarga tenaga medis, hal itu justru mempersempit serta menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 karena ada pengulangan dengan pengaturan Pasal 71-78 UU a quo,” kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.
MK juga berpandangan, apabila petitum para pemohon dikabulkan justru akan menimbulkan kerugian masyarakat secara luas. Sebab, lingkup pengertian ketersediaan sumber daya yang diperlukan menjadi terbatas. Akibatnya, hal itu akan berdampak pada tidak maksimalnya upaya pencegahan wabah, seperti penyediaan fasilitas karantina kesehatan di rumah sakit, obat-obatan, dan perbekalan kesehatan lainnya.
Apabila petitum para pemohon dikabulkan justru akan menimbulkan kerugian masyarakat secara luas. Sebab, lingkup pengertian ketersediaan sumber daya yang diperlukan menjadi terbatas.
Padahal, tujuan dari UU No 6/2018 adalah mencegah, menangkal, dan melindungi masyarakat dari penyakit, dan atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat, serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan.
Selain itu, MK juga berpendapat bahwa dalil para pemohon berkenaan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 9 Ayat (1) UU No 4/1984 tidak berasalan menurut hukum. Dalil para pemohon yang menyatakan tidak adanya kejelasan perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan yang menanggulangi pandemi Covid-19 merupakan dalil yang tidak berdasar karena telah direalisasikan melalui berbagai regulasi. Regulasi itu memberikan penghargaan berupa jaminan insentif dan santunan kematian, bahkan penghargaan bintang jasa.
”Persoalan yang dihadapi pemohon, di mana tidak ada kepastian terhadap ada atau tidaknya penghargaan yang berhak didapatkan oleh para pemohon selaku petugas kesehatan yang mengalami risiko dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19 sesungguhnya merupakan implementasi norma. Terlepas dari itu, pembentuk UU telah memasukkan revisi UU No 4/1984 dalam program legislasi nasional 2020-2024 agar ada UU penanggulangan wabah penyakit menular yang lebih komprehensif,” ujar Enny.
Persoalan yang dihadapi pemohon, di mana tidak ada kepastian terhadap ada atau tidaknya penghargaan yang berhak didapatkan oleh para pemohon selaku petugas kesehatan yang mengalami risiko dalam upaya penanggulangan pandemi Covid-19 sesungguhnya merupakan implementasi norma.
Terhadap putusan tersebut, tiga hakim konstitusi, yaitu Aswanto, Suhartoyo, dan Saldi Isra, mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Ketiga hakim konstitusi itu berpendapat bahwa profesi tenaga kesehatan adalah ujung tombak dalam penanganan Covid-19. Karena berada di garda terdepan, risiko tinggi penularan Covid-19 pun membayangi para tenaga kesehatan.
Meskipun para tenaga kesehatan telah mendapatkan gaji, tetapi saat menghadapi pandemi Covid-19, mereka juga mempertaruhkan nyawa. Oleh sebab itu, dirasa perlu adanya insentif tambahan. Negara bertanggung jawab memberikan fasilitas kesehatan dan jaminan kesehatan bagi tenaga medis tersebut. Apalagi, UU No 4/1984 dinilai sudah tidak lagi adaptif dengan perkembangan situasi kesehatan masyarakat saat ini.
Oleh karena itu, ketiga hakim konstitusi berpandangan berkenaan dengan kata ”dapat” dalam Pasal 9 Ayat (1) UU No 4/1984 apabila tidak dimaknai sebagai wajib, seharusnya dapat dinyatakan bertentangan dengan konstitusi terutama Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 34 Ayat (3) UUD 1945.