Sebagian Besar UMKM Masih Enggan Akses Lembaga Keuangan Formal
›
Sebagian Besar UMKM Masih...
Iklan
Sebagian Besar UMKM Masih Enggan Akses Lembaga Keuangan Formal
Pandemi Covid-19 yang memukul pelaku UMKM membuat modal usaha tergerus untuk kebutuhan harian. Pembiayaan pun dapat diakses melalui lembaga keuangan formal untuk kembali memulihkan dan membangkitkan usaha.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Turunnya penjualan hingga tergerusnya modal usaha akibat pandemi Covid-19 membuat pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah kesulitan melanjutkan usaha. Pembiayaan dari lembaga formal pun perlu lebih disosialisasikan agar pelaku usaha dapat memanfaatkannya.
Hasil survei Bank Indonesia pada Oktober 2020 di DKI Jakarta menunjukkan, selama pandemi Covid-19, sebanyak 94 persen dari 161 pelaku UMKM yang disurvei menyatakan penjualan menurun dengan kisaran 50-75 persen dibandingkan tahun lalu. Dampaknya, sebagian pelaku usaha kesulitan meneruskan usaha karena modal usaha tergerus untuk kebutuhan operasional dan rumah tangga.
Namun, berdasarkan survei tersebut, hanya 14 persen yang berencana memanfaatkan sumber pembiayaan dari lembaga keuangan formal.
Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta Luctor E Tapiheru menilai, alasan terbesar UMKM tidak mengajukan pinjaman ke lembaga keuangan formal karena pemikiran terkait prosedur yang berbelit. Selain itu, informasi produk pembiayaan yang diperoleh UMKM tidak komprehensif.
”Stigma prosedur yang sulit dan kurangnya informasi ini membuat mereka (UMKM) untuk datang ke bank saja sudah takut duluan, apalagi kalau melakukan pinjaman. Artinya ada gap komunikasi, hubungan UMKM dengan lembaga keuangan belum berfungsi dengan baik,” kata Luctor.
Paparan mengemuka dalam diskusi virtual yang diadakan Bank Indonesia pada Kamis (26/11/2020). Webinar literasi UMKM ini bertemakan ”Jangan Takut Nambah Modal, Kenali Lebih Dekat Pembiayaan Untuk Usaha Anda”.
Pemimpin Wilayah Jakarta 2 PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Hendro Padmono menyampaikan, pembiayaan memang menjadi salah satu tantangan yang dihadapi UMKM. Untuk itu, BRI menyediakan berbagai skema kredit yang disesuaikan dengan klasifikasi usaha, mulai dari bantuan langsung hingga kredit dengan bunga ringan.
Bagi yang baru memulai usaha, dapat mendaftar program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sehingga tidak ada kewajiban mengembalikan modal, tetapi jumlahnya terbatas. Sementara bagi yang sudah terkoneksi dengan bank tetapi belum mapan, pinjaman dapat dilakukan dengan program kemitraan atau dana bergulir.
”Kalau yang usahanya sudah mampu mencukupi kebutuhan, bahkan memberi manfaat bagi sekitar, dapat mengikuti program kredit usaha rakyat (KUR) dengan kredit bersubsidi,” kata Hendro.
Hingga September 2020, kata Hendro, total kredit BRI sebesar Rp 877,5 triliun, naik dari Rp 850,2 triliun pada 2019. Sebanyak 80 persen (Rp 695,3 triliun) dari total kredit berasal dari UMKM, sementara 20 persen (Rp 182,2 persen) berasal dari korporasi.
”Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, dana yang ditempatkan pemerintah kepada BRI Rp 15 triliun sudah kami salurkan lebih dari Rp 70 triliun, melampaui target pemerintah (Rp 45 triliun). Ada juga subsidi bunga dari pemerintah dan kami sudah menyalurkan juga sebesar Rp 3,8 triliun dan untuk penjaminan kredit Rp 5,8 triliun,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko mengatakan, pelaku usaha juga bisa mengajukan pinjaman modal kepada perusahaan teknologi finansial (tekfin). Langkah ini dapat menjadi batu loncatan untuk membangun kredibilitas.
”Kalau di fintech, pinjaman kecil, misalnya Rp 1 juta, bisa dilakukan dan tercatat. Adanya catatan yang menjadi rekam jejak ini dapat membantu usaha untuk lebih berkembang dan mendapatkan kepercayaan dari bank,” kata Sunu.
Selain itu, pinjaman kepada tekfin dapat dilakukan tanpa adanya agunan aset sehingga lebih fleksibel. Sebab, kata Sunu, mimpi yang ingin dibangun adalah menjadikan seluruh pelaku usaha mendapatkan akses yang mudah dan cepat.
Catat arus keuangan
Konsultan keuangan, Prita Hapsari Ghozie, menyampaikan, persoalan utama yang sering kali dihadapi UMKM adalah tidak mencatat perputaran keuangan dari hasil usaha. Akibatnya, pelaku usaha tidak mengetahui bagaimana cara mengembangkan dan meningkatkan usaha.
”Sering kali UMKM itu, ada masalah jual barang, ada untung menambah barang, jarang ada yang menghitung sebenarnya apa yang dialami. Kita jadinya enggak tahu modal usaha kita harus diputar di mana,” kata Prita.
Dengan mencatat arus keuangan, pelaku usaha akan mengetahui bagaimana memutar modal untuk mengembangkan usaha sehingga menjadi tepat guna. Misalnya di bagian pemasaran, kemasan, atau penambahan karyawan.
Setelah mengenal kebutuhan usaha, memanfaatkan akses pembiayaan untuk UMKM juga tidak kalah penting. Pembiayaan bagi UMKM, selain menambah modal usaha, likuiditas dapat terjaga dan memberi kemudahan untuk mengembangkan usaha.
”Penting juga disiplin untuk memisahkan modal usaha dengan uang untuk membiayai kebutuhan lain. Misalnya, jangan pakai agunan rumah tinggal untuk usaha agar bisnis bisa bertahan tanpa membuat jantungan sekeluarga,” kata Prita.