Pilkada Bisa Jadi Penentu Masa Depan Hutan Indonesia
Pilkada 2020 dinilai akan menjadi penentu bagi nasib hutan dan gambut Indonesia. Sejumlah provinsi dan kabupaten/kota peserta pilkada memiliki tutupan hutan yang masih luas dan bisa menjadi sasaran eksploitasi.
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2020 dinilai bakal menjadi ajang keberpihakan antara menyelamatkan atau menggunduli hutan. Sebab, daerah-daerah penyelenggara pemilihan daerah ini masih memiliki hutan dan lahan gambut yang cukup luas.
Komitmen penyelamatan dan perlindungan hutan dari kepala daerah terpilih sangat penting untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya mengemukakan, kepala daerah yang terpilih dalam Pilkada 2020 menjadi generasi pertama yang akan mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Seperti diketahui, UU Cipta Kerja banyak mendapat sorotan dan kontroversi karena dinilai akan menjadi tantangan baru bagi masa depan lingkungan hidup.
”Pilkada 2020 juga cukup spesial karena daerah yang menyelenggarakan Pilkada ini memiliki kekhasan ekologis dan berkaitan dengan masa depan hutan Indonesia,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Nasib Hutan di Tengah Pilkada”, Kamis (26/11/2020).
Baca juga: Anak Muda Inginkan Solusi Lingkungan dalam Pemilihan Kepala Daerah
Kajian Yayasan Madani Berkelanjutan pada September 2020 mencatat, daerah yang menyelenggarakan pilkada di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota memiliki hutan alam seluas 60 juta hektar serta 13,9 juta hektar lahan gambut. Kondisi ini dinilai Teguh dapat menjadi momentum positif untuk penguatan hutan dan iklim. Akan tetapi, di sisi lain, terdapat juga ancaman penggundulan hutan.
Dari sembilan provinsi yang menyelenggarakan pilkada tercatat tiga provinsi yang memiliki kawasan hutan terluas, yakni Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Tengah. Ketiga provinsi tersebut juga tercatat memiliki rekam jejak deforestasi yang tinggi pada periode 2003-2018.
Kalteng menjadi daerah dengan deforestasi tertinggi yang mencapai 1,4 juta hektar. Deforestasi yang terus terjadi bahkan telah menyebabkan bencana banjir, longsor, hingga kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Selain itu, kajian Madani Berkelanjutan memetakan ketiga provinsi tersebut juga rawan terjadi deforestasi pasca-Pilkada 2020. Sementara daerah di tingkat kabupaten/kota yang juga rawan deforestasi pasca-Pilkada 2020, yakni Malinau (Kalimantan Utara), Boven Digoel (Papua), Merauke (Papua), Pegunungan Bintang (Papua), Berau (Kalimantan Timur), Kapuas Hulu (Kalimantan Barat), dan Mahakam Ulu (Kalimantan Timur).
Baca juga: Komitmen Nol Deforestasi Dipertanyakan
Meningkatnya potensi deforestasi seusai pilkada juga ditegaskan melalui Riset Center for International Forestry Research (Cifor) yang dipublikasikan pada jurnal Forestry Review. Riset Cifor ini menunjukkan, hingga 2017 atau sebelum pilkada, izin untuk kepemilikan lahan cenderung meningkat. Izin tersebut dikeluarkan oleh kepala daerah petahana ataupun kandidat bupati atau wali kota, di kawasan konservasi, hutan lindung, dan konsesi korporasi.
”Berdasarkan rekam jejak ini tentu sangat mengkhawatirkan jika proses pilkada tidak mengusung konten dan komitmen terkait perlindungan hutan dan masa depan lingkungan. Kami juga sangat khawatir karena hasil jajak pendapat yang menyebutkan bahwa 60 persen anak muda tidak mengetahui rekam jejak pasangan calon kepala daerah,” tutur Teguh.
Ia menyatakan, data ancaman deforestasi pada daerah penyelenggara pilkada ini penting dipahami oleh publik sehingga pemilih dapat peka terhadap situasi dan kondisi hutan. Sebab, kelestarian hutan dan lingkungan ke depan sangat bergantung pada komitmen dari kepala daerah terpilih.
”Dalam kajian yang kami lakukan ini menemukan satu kesimpulan bahwa rusak dan hilangnya hutan berdampak pada meningkatnya kejadian bencana khususnya di sembilan provinsi dan kabupaten penyelenggara pilkada. Kejadian banjir dan karhutla meningkat seiring dengan berkurangnya luas hutan. Ini fakta yang tidak bisa dibantah,” ungkapnya.
Kewenangan pemprov
Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah Sri Suwanto menyampaikan, sampai saat ini pemprov Kalteng tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan izin konsesi secara final. Sebab, keputusan akhir pemberian perizinan konsesi pengusahaan hutan berada di pemerintah pusat. Adapun pemprov hanya memberikan pertimbangan apabila terdapat permohonan yang masuk dalam izin perkebunan atau usaha dalam kawasan hutan.
”Saat ini provinsi memang memiliki kewenangan untuk mengusulkan perubahan fungsi dan kawasan hutan. Contohnya Kalimantan Tengah yang sekarang ditunjuk menjadi food estate nasional dan sebagian besar berada di kawasan gambut. Namun, ini juga melalui penelitian oleh para ahli. Pemprov diinstruksikan secara nasional dan tentu kami bisa mengusulkan perubahan fungsi ini,” katanya.
Meski demikian, menurut Sri, sebagian besar izin-izin perkebunan saat ini merupakan izin lama dan hampir tidak ada lagi izin baru karena adanya kebijakan moratorium sawit. Izin usaha perkebunan di Kalteng pada umumnya juga berada di wilayah kabupaten/kota.
”Semua regulasi yang berada dalam wilayah kabupaten/kota merupakan kewenangan bupati/wali kota. Jadi pemprov sifatnya hanya pengawasan atau pembinaan. Ketika kami melihat ada ketidasesuaian, kami hanya memberikan surat kepada bupati untuk meninjau kembali misalnya perizinan yang ada di kabupaten. Akan tetapi secara lurus, wilayah kabupaten/kota bukan menjadi kewenangan gubernur langsung,” ujarnya.
Direktur Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana mengatakan, dari analisis laporan pendanaan Pilkada 2017 lalu, ditemukan 82,3 persen calon kepala daerah yang menyatakan adanya donatur dalam pendanaan. Pembiayaan dari sponsor dalam Pilkada 2017 juga tercatat meningkat dibandingkan dengan Pilkada 2015 yang saat itu memiliki angka 70,3 persen.
Hasil kajian KPK juga menyatakan bahwa sponsor atau donatur mengharapkan balasan di kemudian hari saat calon kepala daerah menjabat. Sejumlah harapan dari donatur tersebut antara lain kemudahan perizinan bisnis, kemudahan mengikuti tender proyek pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnis.
Wawan mengatakan, KPK terus fokus untuk mencegah adanya korupsi dan kerugian negara di sektor kehutanan karena banyaknya penebangan hutan ilegal. Salah satu yang dilakukan, yakni mengintegrasikan sejumlah penatausahaan di sektor sumber daya alam, seperti Sistem Informasi Perizinan Usaha Hasil Hutan (SIPUHH), Sistem Monitoring Kehutanan Nasional (Simontana), Sistem Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Online (Simponi), dan sistem lainnya dari Kementerian Keuangan.
Baca juga: Tindakan Uni Eropa dalam Perlindungan Hutan Perlu Diikuti Indonesia