AstraZeneca Gelar Uji Klinis Tambahan dengan Dosis Vaksin Lebih Rendah
›
AstraZeneca Gelar Uji Klinis...
Iklan
AstraZeneca Gelar Uji Klinis Tambahan dengan Dosis Vaksin Lebih Rendah
Perusahaan asal Inggris, AstraZeneca, dan Universitas Oxford merencanakan uji klinis tambahan atas calon vaksin Covid-19 yang mereka kembangkan dengan dosis yang lebih rendah. Uji klinis itu akan digelar secara global.
Oleh
KRIS MADA
·4 menit baca
LONDON, JUMAT — Calon vaksin Covid-19 yang dikembangkan AstraZeneca-Oxford University kembali memicu pertanyaan. Untuk menjawab pertanyaan dan keraguan itu, AstraZeneca akan menggelar uji klinis tambahan.
AstraZeneca mengumumkan akan menggelar uji klinis tambahan dengan dosis lebih rendah. Kini, perusahaan itu sedang berkoordinasi dengan pihak berwenang di sejumlah negara. ”Ada alasan untuk melanjutkan penelitian pada pemberian separuh dosis dan dosis penuh,” demikian pernyataan perusahaan itu, Kamis (26/11/2020) malam waktu London atau Jumat dini hari WIB.
Uji klinis tambahan dinyatakan untuk melengkapi hasil uji klinis sebelum ini. Pada Senin (23/11/2020), AstraZeneca mengumumkan tingkat kemangkusan calon vaksinnya selama proses uji klinis (efikasi) mencapai 62 persen pada sukarelawan yang disuntik dua kali dengan dosis penuh.
Ada perbedaan antara efikasi dan efektivitas. Tingkat kemangkusan pada sukarelawan atau pengguna lebih luas di luar uji klinis disebut efektivitas. Adapun tingkat kemangkusan selama uji klinis, ketika sukarelawan dipantau dengan ketat, disebut efikasi.
Untuk sukarelawan di Brasil dan Inggris, tingkat kemangkusan calon vaksin AstraZeneca selama uji klinis mencapai 70 persen. AstraZeneca, perusahaan yang sudah mengikat kontrak pasokan dengan Indonesia, juga mengumumkan tingkat kemangkusan selama uji klinis mencapai 90 persen untuk subkelompok sukarelawan tertentu.
Sejumlah pakar di Eropa mempertanyakan tingkat kemangkusan itu. ”Kami harus menunggu data lengkap dan melihat bagaimana regulator memeriksa hasil itu,” ujar Peter Openshaw, pakar uji coba kesehatan pada Imperial College London, seraya menyebut pihak berwenang di Amerika Serikat dan Eropa mungkin mempunyai pandangan berbeda atas hasil uji klinis oleh AstraZeneca.
Regulator AS mewajibkan tingkat kemangkusan calon vaksin selama uji klinis sekurangnya 50 persen. Sementara regulator di Eropa belum menetapkan ambang terendah.
Pertanyaan
Pertanyaan para ahli, terutama ditujukan pada kemangkusan 90 persen untuk subkelompok sukarelawan tertentu. ”Analisis subkelompok dalam uji coba acak yang terkendali selalu dipenuhi kesulitan,” kata Paul Hunter, pakar Kesehatan di University of East Anglia.
Analisis modal itu meningkatkan risiko tipe 1. Dalam skenario itu, ada pertanyaan soal intervensi yang dilakukan selama uji coba. Hal itu menyulitkan penilai untuk membuat kesimpulan, apakah tingkat kemangkusan akan sama jika calon obat atau calon vaksin diujikan kepada sukarelawan berbeda.
”Untuk bisa memercayai hasil, semua analisis subkelompok harus melibatkan jumlah sukarelawan yang memadai,” ujar Hunter.
Dari puluhan ribu sukarelawan calon vaksin AstraZeneca, kemangkusan mencapai 90 persen hanya terlihat pada 2.741 orang. Sebaliknya, calon vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech dan Moderna mempunyai kemangkusan di atas 90 persen berdasarkan pengujian pada puluhan ribu sukarelawan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Eropa menyatakan akan memeriksa tingkat kemangkusan di uji klinis (efikasi) dan keamanan vaksin dalam waktu dekat. Pemeriksaan akan dilakukan jika sudah menerima hasil dari produsen. “Kami sedang mencoba memeriksa penelitian rumit berdasarkan siaran pers yang amat sedikit,” kata Danny Altmann, pakar imunologi pada Imperial College London.
Sampai sekarang, para peneliti memang belum menerima hasil lengkap dari uji klinis calon vaksin buatan Oxford University-AstraZeneca. Perusahaan itu tidak menginformasikan berapa banyak infeksi di subkelompok. ”Banyak pertanyaan belum terjawab. Kami mendapat kesan mereka memilah data,” kata Morgane Bomsel dari Pusat Penelitian Sains Perancis.
Sementara AstraZeneca menyatakan, hasil uji klinis juga sudah ditulis dan kini sedang diperiksa oleh peneliti lain sebelum diterbitkan di jurnal. Dalam proses penerbitan makalah ilmiah, ada pemeriksaan silang oleh pakar lain yang tidak terlibat penelitian sebelum akhirnya makalah diterbitkan. Pemeriksaan itu, antara lain, untuk mencari tahu apakah penelitian telah menggunakan metode yang benar.
Penasihat Pemerintah Amerika Serikat untuk pengadaan vaksin Covid-19, Moncef Slaoui, juga menyoroti hal itu. Ia menyebutkan, tidak ada sukarelawan berusia lebih dari 55 tahun mendapat separuh dosis. Padahal, kelompok usia di atas 55 tahun termasuk yang rentan bila terinfeksi Covid-19. Sementara di kelompok yang mendapat dosis penuh, ada relawan yang berusia lebih dari 55 tahun.
Sebelum ini, ada pertanyaan pada proses uji klinis AstraZeneca setelah ditemukan sukarelawan menunjukkan gejala misterius. Selain dari AstraZeneca, pertanyaan pun ditujukan pada vaksin buatan Sinovac yang juga dipesan Indonesia. Dalam uji klinis di Brasil, ada sukarelawan yang meninggal. Belakangan diketahui, kematian sukarelawan itu tidak terkait dengan calon vaksin SinoVac.
Indonesia memilih NovaVac, Sinovac, dan AstraZeneca, antara lain, karena alasan kemudahan distribusi. Calon vaksin Pfizer harus disimpan dalam kulkas khusus dengan suhu sekurangnya minus 70 derajat celsius. Sementara calon vaksin Moderna butuh penyimpanan pada suhu sekurangnya 20 derajat celsius. (AP/REUTERS)