Denyut Penindakan Masih Ada
Setelah sebagian masyarakat pesimistis dengan kinerja KPK pascarevisi UU KPK, publik dikejutkan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh penyidik KPK. Denyut penindakan korupsi ternyata masih ada.
Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh KPK seolah menjawab keraguan publik pada kinerja KPK. Apakah hal ini menandakan denyut pemberantasan korupsi kembali menguat?
Setelah sebagian masyarakat merasa pesimistis dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi pascarevisi Undang-Undang KPK, publik dikejutkan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo oleh penyidik KPK, Rabu (25/11/2020) dini hari. Bagi banyak pihak, penangkapan ini menunjukkan denyut pemberantasan korupsi, terutama penindakan, masih ada.
Sebelum penangkapan Edhy, KPK dibanjiri kritikan, seperti belum tertangkapnya penyuap bekas anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan, Harun Masiku, dan minimnya operasi tangkap tangan. Selain itu, ruang publik juga riuh dengan mundurnya cukup banyak pegawai KPK serta munculnya sejumlah aduan dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri ke Dewan Pengawas KPK. KPK juga dikritik terkait pembahasan rencana kenaikan gaji pimpinan KPK di tengah pandemi Covid-19 serta pengadaan mobil dinas bagi pimpinan, anggota Dewan Pengawas, dan pejabat struktural KPK.
Persepsi negatif sebagian masyarakat itu muncul setelah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang KPK disahkan. Berbagai survei, termasuk yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni 2020, menunjukkan rasa pesimisme publik terhadap kinerja dan citra KPK. Saat itu, persepsi masyarakat atas citra KPK tercatat menjadi yang terburuk dalam delapan jajak pendapat secara berkala oleh Litbang Kompas dari Januari 2015 hingga Juni 2020.
Baca juga: KPK Amankan 17 Orang Terkait Penangkapan Edhy Prabowo
Jelang satu tahun komisioner periode 2019-2023 dilantik, KPK memberikan kejutan dengan menangkap dan menetapkan tersangka pada Edhy dalam kasus dugaan suap perizinan budidaya lobster 2020. Dalam kasus ini, diduga terdapat sejumlah pemberian uang, termasuk transfer Rp 3,4 miliar dari swasta untuk keperluan Edhy, istrinya, serta dua staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan.
Peristiwa ini tidak hanya akan berpengaruh pada KPK, tetapi juga dinilai akan berpengaruh terhadap situasi politik di Indonesia. Sebab, Edhy merupakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra.
Jelang satu tahun komisioner periode 2019-2023 dilantik, KPK memberikan kejutan dengan menangkap dan menetapkan tersangka pada Edhy dalam kasus dugaan suap perizinan budidaya lobster 2020. Dalam kasus ini, diduga terdapat sejumlah pemberian uang, termasuk transfer Rp 3,4 miliar dari swasta untuk keperluan Edhy, istrinya, serta dua staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan.
Persoalan tersebut dibahas dalam bincang-bincang Satu Meja The Forum bertema ”KPK Tangkap Menteri KP” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (25/11/2020). Acara dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo.
Hadir pula secara daring sebagai pembicara pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar; peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha; pengamat politik Adi Prayitno; dan politisi PDI-P, Masinton Pasaribu.
Zainal mengatakan, penangkapan terhadap Edhy bermakna ganda. Publik harus bersedih karena lagi-lagi negara memperlihatkan proses koruptif yang belum selesai. Namun, di sisi lain, dia mengatakan, ”Kita harus gembira. Paling tidak saya harus mengatakan bahwa denyut pemberantasan korupsi masih ada.”
Ia menegaskan, setiap gerakan pemberantasan korupsi harus diapresiasi. Namun, Zainal mengingatkan, satu kasus ini tidak bisa menunjukkan bahwa KPK sudah berjalan normal lagi seperti adanya. Menurut Zainal, masalah terbesar KPK ada pada UU-nya yang berpengaruh terhadap kinerja KPK. Ia berharap KPK bisa jauh lebih baik dengan melakukan terobosan dan menerabas segala keterbatasan yang ada akibat revisi UU KPK.
Senada dengan Zainal, Egi Primayogha mengatakan, penangkapan terhadap Edhy perlu diapresiasi, khususnya terhadap kinerja penyidik KPK. Di tengah kesulitan yang terjadi di KPK, mereka masih bisa menindak kasus yang diduga melibatkan seorang menteri.
Meskipun demikian, jangan sampai kasus ini berhenti pada penangkapan Edhy saja. Menurut Egi, kasus ini perlu diperluas terkait dengan keterlibatan beberapa pihak yang ikut diamankan KPK. Adapun KPK sempat menangkap dan memeriksa 17 orang dalam kasus ini di sejumlah daerah. Namun, sejauh ini KPK menetapkan tujuh tersangka, termasuk Edhy.
Jangan sampai kasus ini berhenti pada penangkapan Edhy saja. Menurut Egi, kasus ini perlu diperluas terkait dengan keterlibatan beberapa pihak yang ikut diamankan KPK.
Memberi kejutan
Adi Prayitno mengatakan, penangkapan terhadap pejabat sekaliber menteri yang diduga korupsi oleh KPK seperti ada cahaya di ujung terowongan. KPK dapat menangkap seorang menteri yang merupakan jabatan politik yang cukup prestisius di tengah keterbatasan soal regulasi.
Publik seperti tidak percaya karena KPK mampu melakukannya ketika mereka dianggap tidak seganas sebelumnya. Sebelumnya, publik sudah telanjur kecewa karena KPK dinilai tidak mampu menyelesaikan kasus penyuapan terhadap bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan. Hingga saat ini, salah satu tersangka, Harun Masiku, belum ditangkap.
Ia menuturkan, penangkapan terhadap Edhy menjadi momentum politik bagi KPK untuk menunjukkan bahwa mereka tidak seperti yang dituduhkan orang selama ini. Karena itu, setelah penangkapan ini, KPK seharusnya juga mengeksekusi semua persoalan korupsi, termasuk menangkap Harun Masiku.
Masinton Pasaribu menegaskan, sebagai institusi penegak hukum, KPK menegakkan hukum berdasarkan alat bukti, bukan karena ingin memberikan pesan atau membangun pencitraan. Setiap orang yang bermasalah dengan hukum harus diproses secara hukum, khususnya pejabat.
Apa yang dilakukan seluruh penyelenggara negara berada seperti di ruang kaca. Jangan coba-coba korupsi. Secara undang-undang, kalau ada bukti permulaan bisa dipantau.
Menurut Masinton, apa yang dilakukan KPK menjadi peringatan kepada seluruh penyelenggara negara. ”Apa yang dilakukan seluruh penyelenggara negara berada seperti di ruang kaca. Jangan coba-coba korupsi. Secara undang-undang, kalau ada bukti permulaan bisa dipantau,” kata Masinton.
Baca juga: Jejak Dukungan Publik kepada KPK
Terkait dengan belum tertangkapnya Harun Masiku, Masinton menyerahkan kepada KPK untuk menelusuri di mana keberadaannya.
Sementara itu, Adi juga menuturkan, publik tetap akan membuat spekulasi terkait penangkapan terhadap Edhy. Sebab, Presiden Joko Widodo serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD hanya memberi pernyataan normatif. Bahkan, hingga Rabu malam, Partai Gerindra secara institusi belum memberi pernyataan politik.
Ia mengatakan, bagi Partai Gerindra, penangkapan terhadap Edhy akan berdampak negatif. Sebab, sebelum kasus ini, publik melihat politisi Gerindra minim korupsi. Namun, sekarang masyarakat akan beranggapan sama.