Maradona yang Dicintai, Dipuja, Sekaligus Disesali
Legenda sepak bola Argentina, Diego Maradona, meninggalkan beragam kisah di hati penggemarnya. Mulai dari kisah indah sepak terjangnya di lapangan hijau, hingga cerita suram ketergantungannya pada narkoba.
Saya mungkin salah satu dari sedikit wartawan Indonesia yang bersyukur bisa menyaksikan langsung penampilan Diego Armando Maradona saat berada di puncak kejayaannya. Tepatnya di Piala Dunia Italia 1990, di Stadion San Siro, Milan, saat pembukaan kejuaraan, 8 Juni. Saya hadir di Piala Dunia 1990 dengan membawa ”bendera” harian Kompas dan harian Surya (Surabaya).
Semua pengagum Maradona kaget bercampur duka ketika Rabu (25/11/2020) lalu mendengar berita kepergian sang legenda untuk selamanya. Maradona mengembuskan napas terakhir karena mengalami serangan jantung di kota Tigre, Argentina.
Kembali ke Milan, stadion berkapasitas lebih dari 80.000 penonton itu menjadi saksi bisu sekaligus saksi sejarah takluknya Argentina sebagai juara bertahan di tangan tim ”anak bawang” Afrika, Kamerun, di partai pembuka.
Gol sundulan Francois Omam Biyik pada menit ke-67 mendatangkan duka yang dalam, tidak saja bagi Argentina yang dipimpin Maradona, tetapi juga puluhan ribu pendukungnya di stadion, serta jutaan lainnya di dunia. Argentina, tepatnya Maradona, menyerah dari Kamerun, 0-1.
Dengan gontai dan lesu, Maradona bersama rekan-rekannya meninggalkan stadion. Sementara mayoritas pendukungnya masih duduk terpaku, tak percaya tim kesayangannya, Argentina, yang perkasa empat tahun sebelumnya di Meksiko saat menjadi juara, dipermalukan Kamerun.
Sang pembunuh raksasa ”The Indomitable Lions”, julukan Kamerun, bukan saja meraih kemenangan bersejarah, tetapi juga memberi sinyal jelas kepada Maradona bahwa Argentina harus lebih mewaspadai lawan-lawannya. Impian Maradona membawa Argentina dua kali beruturut-turut mencapai final dan juara bisa musnah jika tidak hati-hati pada laga berikutnya.
Namun, Maradona tetaplah Maradona. Dia pemain genius, dirigen orkestra yang sulit dicari tandingannya kala memimpin 10 rekannya di lapangan hijau. Sinyal bahaya Kamerun dijawab positif oleh Maradona dan Argentina di penampilan berikutnya dengan luar biasa. Dipimpin Maradona, tim ”Tango” melaju ke final dengan menyingkirkan tuan rumah Italia di semifinal, 3 Juli 1990, lewat drama adu penalti di Napoli.
Saat itu, di lubuk hati terdalam Maradona muncul perasaan suka bercampur duka. Di Stadion San Paolo itulah dan di kota Napoli Maradona mengharu-birukan emosi publik Italia khususnya dan dunia. Bersama klub kebanggaan kota dari selatan Italia itu, Maradona menghadirkan dua gelar Serie A bagi Napoli, satu gelar Piala Italia dan satu gelar Piala UEFA.
Air mata di Napoli
Namun, hari itu kenangan indah terhadap Maradona bersama Napoli sementara terkubur di sanubari warga Napoli. Untuk sesaat, Napoli dan Italia dirundung kesedihan karena ”ulah” Maradona. Seakan menyadari duka pemujanya di Napoli, Maradona tidak merayakan kemenangan timnya ke partai puncak. Berjalan perlahan, tanpa emosi berlebih, Maradona meninggalkan lapangan.
Semua itu diawali, ketika tendangan penalti gagal dilesakkan Aldo Serena ke gawang Argentina. Sontak seisi stadion yang dipenuhi mayoritas pendukung Italia meratapi kekalahan Salvatore Schillaci dan kawan-kawan. Italia menyerah 3-4 dalam adu penalti, setelah skor 1-1 hingga akhir perpanjangan waktu.
Bahkan, di ruang pers di stadion, tempat di mana saya dan puluhan wartawan dari berbagai dunia meliput langsung, kami menyaksikan bagaimana para sukarelawan yang kebanyakan gadis-gadis muda belia, menitikkan air mata. Para sukarelawan inipun “mogok" sesaat, meratapi kekalahan tim Azzurri. Sekitar setengah jam aktivitas di ruang pers terhenti.
Ya, Maradona pujaan klub Napoli dan kebanggaan kota yang berpenduduk sekitar tiga juta orang. Tetapi, hari itu Maradona hadir sebagai algojo yang mendatangkan maut dan duka bagi Italia. Di kandang sendiri, tim kebanggaan mereka, Italia, disingkirkan oleh Maradona, sosok yang tidak saja mereka, tetapi seluruh dunia cintai, dan puja begitu rupa.
Argentina dipastikan menghadapi Jerman di final di Stadion Olimpiade, Roma, pada 8 Juli. Jerman tak lain tim yang ditundukkan Maradona dan Argentina di final empat tahun sebelumnya di Meksiko, lewat laga dramatis. Saat itu, di Stadion Azteca, Argentina lebih dulu memimpin 2-0, tetapi bisa disamakan Jerman, 2-2, lewat gol Karl-Heinz Rummenigge dan Rudy Voeller.
Namun, kala itu Argentina adalah Maradona. Lewat aksi magis Maradona, dengan sebuah umpan brilian kepada penyerang Jorge Burruchaga lewat serangan balik, Argentina memupuskan asa Jerman. Tim ”Panser” takluk, 2-3.
Tekad bulat memperbaiki kesalahan di partai pembuka berkecamuk di sanubari setiap pemain Argentina, tentu tidak terkecuali sang kapten Maradona. Di Stadion Olimpiade Roma, Maradona harus menuntaskan ”dendam” kekalahan memalukan dari Kamerun di San Siro kepada Jerman (Barat) yang dipimpin kapten Lothar Matthaeus.
Ternyata kesuksesan Maradona hanya terjadi di kota Napoli, tetapi tidak di Milan atau Italia. Kekalahan di Milan terulang di Roma, saat tendangan penalti bek Jerman, Andreas Brehme, merobek gawang Argentina yang dikawal kiper Sergio Goycochea. Apa daya, Maradona dan Argentina pulang dengan tangan hampa.
Piala Dunia 1990 bukan panggung terakhir Maradona bersama Argentina. Empat tahun berikut, Maradona bersama Argentina di bawah pelatih Alfio Basile masih mencoba kembali bangkit di Piala Dunia Amerika Serikat (AS) 1994. Akan tetapi, kali ini nasib Argentina dan lebih khusus Maradona sangat tragis lagi.
Setelah tampil dua kali, Maradona diminta menjalani tes doping. Hasilnya, dia positif menggunakan efedrin (obat penurunan berat badan). FIFA mengirim pulang Maradona lebih awal. Argentina pun gagal mencapai final dan memberi jalan bagi Brasil dan Italia bertemu di partai puncak.
Tidak berhenti di situ hukuman bagi Maradona. FIFA juga memberi hukuman lain, yaitu 15 bulan tak boleh aktif di sepak bola. Pemain yang membela Argentina sebanyak 91 kali dan mencetak 34 gol ini akhirnya menjadi pelatih.
Ia sempat diberi kepercayaan melatih tim nasional Argentina di Piala Dunia Afrika Selatan 2010. Di dalam skuad tim ”Tango” kala itu ada Lionel Messi, bintang masa kini Argentina yang kerap disebut ”titisan” Maradona. Sayangnya, ”koalisi” dua bintang beda masa Argentina itu tak berbuah gelar juara. Argentina tersisih di perempat final, setelah tumbang 0-4 di tangan Jerman.
Gemilang dan memesona di lapangan, tetapi Maradona terjerumus dalam kehidupan pribadi yang menenggelamkannya. Sejak awal1980-an, Maradona telah terlibat akrab dengan mengonsumsi narkoba atau obat terlarang. Di sinilah awal Maradona menambah sebuah predikat baru dari pengagumnya. Kalau tadinya seluruh dunia mencintai, dan memujanya, dunia pun kemudian menyesali pilihan Maradona untuk bergaul erat dengan obat terlarang.
Akibat sulitnya melepaskan diri dari ketergantungan makai obat terlarang, Maradona mengalami komplikasi berbagai penyakit. Dia divonis mengidap pembekuan darah di otak dan terpaksa menjalani operasi. Dia juga divonis gagal jantung.
Ucapan dukacita
”Kita akan bermain bola bersama di surga”. Kalimat pendek, tetapi bermakna dalam dilayangkan seorang Pele (Brasil) kepada Maradona di hari terakhir kepergiannya, Rabu, 25 November lalu. Bagi Pele, Maradona adalah pesaing kuatnya, tetapi juga orang sangat dikaguminya meski tidak pernah berdua bermain bersama atau berhadap-hadapan.
Sebagai pemain dengan talenta yang begitu hebat di lapangan, Pele menyadari betul bahwa Maradona tidaklah berada di bawahnya dalam urusan bermain bola. Bagi Pele juga, kalimat singkat di atas menandakan bahwa pemain sekelas Maradona dengan skill mengocek bola yang begitu lihai sudah sulit dicari tandingannya di dunia yang fana ini.
Untuk itulah Pele tidak segan-segan menitipkan pesan buat Maradona bahwa keduanya memang tidak pernah bermain bersama di dunia, tetapi pantas bermain bersama nanti di surga. Bagi Pele juga, pemain-pemain sekaliber dirinya dan Maradona sangat wajar hanya bisa menemukan lawan sepadan di surga, dengan harapan sepak bola dimainkan di sana.
Bagi dunia, Maradona adalah sosok yang berjasa besar menghilangkan sekat-sekat perbedaan politik. Tahun 1986, dunia sesaat melupakan perang empat tahun sebelumnya yang melibatkan Argentina dan Inggris untuk memperebutkan kepulauan (yang oleh Argentina disebut) Malvinas, ketika kedua tim bertemu di ajang Piala Dunia Meksiko.
Maradona pun membungkus dan mendandani pertandingan itu dengan aksinya yang memukau melewati enam pemain Inggris sebelum mencetak gol. Bahkan, sebelum aksi gemilang itu, Maradona telah mengawalinya dengan sebuah ”Gol Tangan Tuhan” yang akhirnya membawa Argentina menyingkirkan Inggris dengan skor 2-1.
Suka atau tidak suka, Maradona saat itu telah mengobok-obok emosi dunia dengan ”Gol Tangan Tuhan” tersebut. Tidak saja kritik bahkan cacian diarahkan kepada sang maestro karena ulahnya yang mengingkari fair play, tetapi sebaliknya tidak sedikit pula yang memuji dan mengaguminya.
Bagi Maradona, momentum sepersekian detik di depan gawang Inggris yang dikawal kiper Peter Shilton itu telah digunakannya secara optimal untuk meraih keuntungan bagi Argentina. Dan, benar saja, wasit tidak melihat tangan kiri Maradona yang telah mengirim bola ke gawang Inggris.
Pele dan Maradona adalah dua sosok pesepak bola dunia yang sepanjang masa akan melahirkan kontroversi tentang siapa yang terbaik di lapangan hijau. Dan, untuk menghentikan atau minimal mengurangi kontroversial itu, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) di tahun 2000 memutuskan menobatkan Maradona dan Pele sebagai Pemain Terbaik Abad Ini.
Maradona tidak saja milik keluarganya atau negaranya, tetapi sudah seperti warisan dunia. Tidak salah kalau, dua bintang melenial saat ini, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, mengucapkan belasungkawa dengan dua kata: Sang abadi.
Maradona adalah sang abadi. Fisiknya boleh pergi untuk selama-lamanya meninggalkan kita semua lebih dulu, tetapi tidak karya-karyanya dalam mengocek bola di lapangan. Dan hampir dipastikan, ”Gol Tangan Tuhan” akan menjadi warisan Maradona. Kini, dengan adanya VAR (video assistant referee), semua kesalahan atau kecurangan yang dilakukan pemain bisa terdeteksi dan dianulir.
Bagi Messi, berjuta-juta tahun bermain bola, tidak akan membawa dirinya mendekati kehebatan seniornya Maradona. “Saya tidak akan pernah bisa mendekatinya. Dia adalah yang terbaik dari pemain bola yang pernah ada,” ujar Messi.
Maradona dan Messi adalah dua pesepak bola asal Argentina yang dibekali talenta bermain bola yang luar biasa. Dan, dari sisi fisik, kedua megabintang ini tidak berbeda jauh dari pemain-pemain kita di Indonesia. Messi memiliki tinggi badan 169 cm. Maradona lebih pendek lagi, hanya 165 cm tinggi badannya.
Cristiano Ronaldo (Portugal) yang tidak sedikit pula penggemarnya, mengatakan, cara mengolah bola Maradona di lapangan hijau bukanlah tindakan seorang manusia normal dalam arti positif. ”Dia itu penyihir yang tidak tertandingi di lapangan,” tegas Ronaldo tentang pemain kelahiran Lanus, Argentina, 30 Oktober 1960 itu.
Kehebatan Maradona di lapangan pernah dirasakan pemain kita saat bertemu Maradona yang membela Argentina di Piala Dunia U-20 di Tokyo, Jepang tahun 1979. Saksi hidup pemain kita itu, antara lain, David Sulaksmono dan Bambang Nurdiansyah. Timnas U-20 Indonesia kalah 0-5, dan dua gol Argentina dicetak oleh Maradona.
Perjalanan karier Maradona mulai benar-benar menyita perhatian dunia, ketika ia memperkuat Napoli, Italia tahun 1984-1991. Namun, sebelum ke Napoli, dua tahun Maradona beraksi bersama Barcelona (1982-1984). Aksi-aksi gemilang dan memukau Maradona akhirnya memberi sejumlah gelar bergengsi bagi Napoli, kemudian dilanjutkan di beberapa klub lainnya.
Dari Napoli, Maradona mampir satu musim memperkuat Sevilla, Spanyol di La Liga. Hanya satu periode, Maradona kemudian kembali ke Argentina membela klub lokal, Newell”s Old Boys. Masih di Argentina, Maradona menyeberang dari Newell”s Old Boys ke Boca Juniors dari tahun 1995-1998.
Terakhir, kariernya sebagai pelatih, Maradona menangani klub Argentina, Gimnasia de la Plata.
Selamat jalan Maradona, selamat jalan sang ”dewa” lapangan hijau. Dunia ini mencintaimu, dan tetap mengenang karya-karyamu dalam mengharumkan sepak bola.*