Memurnikan Jiwa Relawan
Misi dan kepentingan relawan hanya satu, yakni kemanusiaan. Bakti pada nilai kemanusiaan. Bakti untuk negeri. Nilai-nilai ini yang harus ditegakkan atas nama jiwa relawan yang luhur.
Dunia relawan sama artinya dengan dunia senyap karena ia bekerja tanpa pamrih. Misinya satu: menolong sesama. Di era kekinian, ia bisa disebut bekerja di jalan sunyi karena tak butuh publikasi, terutama tentang dirinya sendiri.
Kita tentu ingat perkataan Dr Megan Coffee yang akrab dengan anak-anak Haiti, Amerika Utara. Ia telah membantu ribuan warga Haiti yang terkena tuberkulosis yang jadi epidemi di sana. Dia pun mendirikan yayasan demi mengumpulkan uang untuk membantu kemiskinan di Haiti. Dr Coffee seorang yang rendah hati, tidak mau banyak disorot media untuk kisah inspiratifnya. ”Aku merasa aneh saat melihat diriku di media cetak,” ujarnya.
Hakikat relawan
Seseorang yang menjadi relawan umumnya karena suara hati yang diikuti gerak hati. Relawan adalah seseorang yang memiliki niat membantu individu atau kelompok individu yang memerlukan bantuan. Ini termotivasi oleh kemauan sendiri, pun tak mencari upah dalam bentuk harta atau benda (Gunawan & Sulistyorini, 2007).
Seseorang yang menjadi relawan umumnya karena suara hati yang diikuti gerak hati.
Ciri mereka, antara lain, melakukan aksinya atas kemauan sendiri, fokus pada keselamatan dan kesejahteraan bagi yang dilayani, dilakukan dalam semangat kebersamaan dan persaudaraan, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Hal ini sama seperti yang dikatakan Schroeder (1998). Menurut dia, relawan adalah individu yang rela menyumbangkan tenaga atau jasa, kemampuan dan waktunya tanpa mendapatkan imbalan upah secara finansial atau tanpa mengharapkan keuntungan materi dari organisasi pelayanan yang mengorganisasi kegiatan tertentu secara formal.
Baca juga: Tujuh Bulan Sudah Para Pahlawan Kesehatan Kalimantan Barat Berjibaku Melawan Covid-19
Di Indonesia, melalui Peraturan Kepala BNPB Nomor 17 Tahun 2011 tentang Pedoman Relawan Penanggulangan Bencana dicantumkan definisi Relawan Penanggulangan Bencana—selanjutnya disebut relawan—adalah seorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan kepedulian untuk bekerja secara sukarela dan ikhlas dalam upaya penanggulangan bencana. Kementerian Sosial, Desa, dan Pembangunan Daerah Tertinggal serta Kementerian Kesehatan membuat definisi relawan yang serupa untuk bidangnya masing-masing.
Jadi, bisa dikatakan medan yang dimasuki para relawan adalah medan pengabdian semata, pelayanan semata, dan tentu bernilai ibadah. Bakti pada nilai-nilai kemanusiaan sama artinya bakti pada negeri. Seperti saat ini, siapa pun yang terlibat dalam kerja-kerja kerelawanan dalam mengatasi atau menangani pandemi Covid-19 dengan niat dan tujuan luhur adalah para relawan.
Apa yang kita alami saat ini adalah pandemi sangat masif. Terjadi secara simultan. Hampir semua negara terpapar. Semua negara menghadapi kebingungan dan kegamangan dalam menangani pandemi ini. Kebijakan lockdown pun diterapkan, bahkan berulang, di sejumlah negara.
Baca juga: Belum Ada Sukarelawan Covid-19 Mendaftar hingga Hari Ketiga Pendaftaran
Namun, korban tetap berjatuhan. Satu juta lebih nyawa di seluruh dunia melayang. Di Indonesia sejak Maret hingga November 2020 sudah tembus 15.000 jiwa melayang. Yang terpapar hingga saat ini hampir 500.000 orang.
Bukan itu saja, pandemi ini berdampak luas karena bukan hanya jiwa-jiwa yang melayang, melainkan eksesnya juga luas. Semua sektor diterpa. Segala sendi kehidupan goyah. Ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan lainnya. Mengobrak-abrik peradaban. Hingga orang ada yang menyebut ini pandemi multidimensi. Durasi waktunya pun hingga kini belum bisa diprediksi.
Jadi, bisa dikatakan medan yang dimasuki para relawan adalah medan pengabdian semata, pelayanan semata, dan tentu bernilai ibadah.
Sudah delapan bulan negeri ini dalam ancaman pandemi Covid-19, sementara dunia, jika dihitung dari kemunculannya di Wuhan, China, sudah lebih dari setahun. Maka, kadang bisa dipahami jika semua lelah, termasuk relawan yang sejatinya adalah anggota masyarakat biasa yang juga mempunyai potensi terpapar virus ini.
Bukan hanya para pemimpin yang selalu berurusan dengan pandemi ini dan memikirkan pemulihan ekonomi. Kalangan medis yang berjibaku dengan maut pun telah mengalami kepenatan puncak, baik fisik maupun psikis. Namun, berkat sumpah dan jiwa pengabdiannya, semua itu bisa ditepis meski tak sedikit dokter dan tenaga medis meregang nyawa karenanya.
Baca juga: Perjuangan Tenaga Kesehatan hingga Napas Terakhir
Rakyat pun lelah, terutama karena perekonomiannya tak seperti semula. Demikian pula para relawan, juga dihadapkan pada situasi sama. Namun, tantangan lain juga menghadang ketika di lapangan mereka tetap dengan penuh kehati-hatian agar dalam kerja kerelawanannya tak terpapar. Beberapa memang terpapar atau positif virus korona. Namun, setelah sembuh, mereka terus bekerja.
Anomali
Selain tidak jelas kapan berakhir, luasan cakupan pandemi di seluruh wilayah Indonesia ini juga memerlukan perhatian khusus. Karena latar belakang kondisi sosial budaya dan perekonomian tiap daerah berbeda, penanganannya pun tak bisa diseragamkan.
Krisis ekonomi yang diakibatkannya dan munculnya banyak penganggur, relawan seakan dituntut pula untuk menjadi bagian dari pemulihan dengan memberikan insentif atau pemberdayaan. Hal ini dapat menimbulkan salah paham karena relawan jadi mengharapkan adanya kompensasi dari kerja-kerja kerelawanannya.
Kasus letupan relawan beberapa waktu lalu tentu menjadi anomali, jika tak mau disebut satu bentuk pengingkaran terhadap hakikat kemurnian jiwa relawan. Bisa dipahami, kejadian itu dipicu pengertian konsep relawan yang belum utuh. Bisa jadi mereka dihantam kepentingan organisasi tempat asal.
Baca juga: Terpapar Covid-19, Tenaga Kesehatan di Cirebon Gugur Seusai Melahirkan
Peristiwa itu tentu menjadi catatan menarik sekaligus menjadi ajang koreksi bersama. Bahwa perlu mengaktualisasikan kembali pemahaman ihwal konsep kerelawanan. Muaranya, memahami tujuan pemerintah, dalam hal ini Satuan Tugas Penanganan Covid-19. Tujuannya adalah kemanusiaan. Muaranya adalah menolong jiwa-jiwa yang terancam, tanpa terkontaminasi sekat sosial, apalagi bercampur hati dan pikiran yang tidak jernih.
Percayalah, hati nurani tetap bicara dan meneropong kebenaran, apalagi jiwa-jiwa relawan.
Terlebih, dalam kondisi perang menghadapi pandemi ini pun, tampaknya tetap ada yang mencoba untuk memanfaatkan situasi, entah untuk kepentingan apa. Namun, masyarakat—umumnya—bisa membaca yang tidak tertulis. Rakyat yang kadang lugu pun mampu mendengar ungkapan tentang hal-hal yang tak absurd. Percayalah, hati nurani tetap bicara dan meneropong kebenaran, apalagi jiwa-jiwa relawan.
Jika pandemi sudah benar-benar sirna, berkumpulnya massa tak menjadi soal asal berjalan tertib, dan tanpa hujatan-hujatan. Harus tetap santun dan mengedepankan akhlak yang mulia. Bukankah itu tujuan revolusi akhlak, yakni memberikan contoh teladan yang baik terhadap umat.
Dari peristiwa kerumunan akhir-akhir ini, kemudian muncul letupan yang seakan tidak berkesudahan. Tak hanya para pemimpin, kalangan medis, masyarakat pun cemas khawatir usaha yang sudah delapan bulan dilakukan pemerintah bersama relawan dan semua komponen masyarakat akan sia-sia dan kehilangan hasil. Para relawan pun tak bisa istirahat.
Baca juga: Kerumunan dan Perkantoran Sumber Penularan
Pemberian masker dan penyanitasi tangan tidak akan menimbulkan kegaduhan jika dilihat dari kacamata relawan, terutama relawan Covid-19 yang mengetahui betul pentingnya masker pada saat terjadi kerumunan (yang tidak tercegah). Relawan sejati tidak pernah memiliki banyak hati. Ia hanya punya satu hati: kemanusiaan.
Dalam bencana apa pun, relawan selalu datang paling awal ke lokasi bencana. Mereka akan pulang paling terakhir dari medan bencana. Sebab, tak hanya restorasi fisik, tetapi juga merestorasi jiwa yang terluka dan trauma akibat bencana, baik bencana alam maupun nonalam.
Karena itu, para relawan pantang pulang sebelum petang. Sebelum para korban bisa kembali tidur dan istirahat dengan tenang. Itulah jiwa-jiwa sejati para relawan, yang tak memiliki sekat-sekat politik, ras, agama, kelas sosial, dan lainnya. Sekali lagi, misi dan kepentingan relawan hanya satu, yakni kemanusiaan. Bakti pada nilai kemanusiaan. Bakti untuk negeri. Nilai-nilai ini yang harus ditegakkan atas nama jiwa relawan yang luhur.
Andre Rahadian, Ketua Bidang Koordinasi Relawan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia