Penghentian Ekspor Benur Momen Lebih Serius pada Budidaya Lobster
›
Penghentian Ekspor Benur Momen...
Iklan
Penghentian Ekspor Benur Momen Lebih Serius pada Budidaya Lobster
Ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditindaklanjuti dengan penghentian ekspor benur untuk sementara. Peternak lobster di Lombok berharap, ini jadi momen untuk semakin mendorong budidaya.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Pemerintah menghentikan sementara ekspor benih lobster menyusul penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Para nelayan atau pembudidaya lobster di Lombok, Nusa Tenggara Barat, berharap, kebijakan itu menjadi momen bagi pemerintah untuk semakin mendorong budidaya lobster di Tanah Air.
Pembudidaya lobster yang juga juru bicara Kelompok Usaha Budidaya (KUB) Andalan Indonesia di Telong-Elong, Lombok Timur, Abdullah, saat dihubungi dari Mataram, Jumat (27/11/2020), mengatakan terkejut dengan penangkapan Edhy Prabowo oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Meski demikian, Abdullah mengatakan setuju dengan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), untuk menghentikan sementara ekspor benih lobster (benur), bahkan jika bisa seterusnya.
”Harapan kami, (ekspor) dihentikan seterusnya. Jangan sementara. Sejak ada aturan memperbolehkan ekspor, kami kewalahan (mendapatkan benur),” kata Abdullah.
Telong-Elong berada sekitar 62 kilometer tenggara Mataram, ibu kota NTB. Kawasan ini merupakan salah satu pusat budidaya lobster di Lombok. Khusus Lombok Timur, tercatat ada yang saat ini mencapai 1.500 orang dengan jumlah kolam sebanyak 6.000.
Harapan kami, (ekspor) dihentikan seterusnya. Jangan sementara. Sejak ada aturan memperbolehkan ekspor, kami kewalahan mendapatkan benur.
Para pembudidaya lobster di Lombok Timur termasuk yang menolak kebijakan ekspor. Hal itu yang mereka sampaikan saat Edhy Prabowo berkunjung ke Teluk Jukung, Jerowaru, Lombok Timur, pada akhir Desember 2019.
Edhy, dalam diskusi dengan nelayan di Lombok Timur, menyatakan tidak akan mengekspor benur. Apalagi setelah melihat bagaimana nelayan Telong-Elong berhasil membudidayakan lobster.
Sayangnya, beberapa bulan setelah itu, KKP mengeluarkan kebijakan yang salah satunya memperbolehkan ekspor. Para pembudidaya di Lombok Timur, termasuk Telong-Elong, kemudian menyatakan kekecewaannya.
Abdullah mengatakan, selain sulit mendapatkan benur, para pembudidaya juga harus berhadapan dengan mahalnya harga benur sejak ada kebijakan ekspor.
Ia menjelaskan, jika sebelumnya mereka masih bisa mendapat benih lobster jenis pasir dengan harga Rp 1.000 sampai Rp 2.000 per ekor, sekarang naik menjadi Rp 7.000 per ekor. Sementara untuk benih lobster jenis mutiara, sebelumnya dijual Rp 7.500 sampai Rp 10.000, sekarang menjadi Rp 18.000 sampai Rp 22.000.
Menurut Abdullah yang sejak awal menolak ekspor, dengan berbagai persoalan itu, sudah semestinya ekspor benur dihentikan. Kemudian, pemerintah benar-benar fokus membenahi budidaya.
”Pemerintah harus ikut andil dalam memajukan budidaya lobster. Tidak hanya di tempat kami, tetapi juga di seluruh Indonesia. Kita punya benih. Soal keahlian, kita bisa belajar dari teman-teman yang sudah budidaya, entah dengan studi banding atau pemerintah mendatangkan mereka,” tutur Abdullah.
Abdullah menambahkan, jika pemerintah benar-benar serius memajukan budidaya lobster, dirinya yakin pada tahun-tahun mendatang akan menjadi budidaya unggulan dari seluruh jenis budidaya yang dilakukan KKP.
Pembenahan
Hanya saja, lanjut Abdullah, perlu dilakukan berbagai pembenahan. Misalnya untuk penyediaan benih, nelayan tangkap dibolehkan menangkap untuk budidaya, bukan ekspor.
”Kalau kita melihat aturan yang dibuat KKP terkait lobster, rohnya kan lebih condong ke budidaya,” ucapnya.
Menurut Abdullah, hal itu penting ditekankan kembali karena sebelumnya justru banyak perusahaan nakal yang langsung mengirim benur keluar tanpa budidaya terlebih dahulu.
”Aturannya, kan, mereka minimal harus dua kali budidaya atau sekitar 24 bulan dulu baru ekspor. Tetapi aturan itu tidak mereka ikut, justru kami yang pembudidaya yang mengikutinya. Begitu dapat izin, mereka lansung kirim,” kata Abdullah.
Selain tentang benur, lanjutnya, pemerintah juga harus memastikan harga pakan yang terjangkau. Saat ini, kata Abdullah, perbedaan harga untuk pakan tertentu, misalnya dengan Pulau Jawa, masih tinggi.
”Ada pakan yang di Jawa harganya Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram, di Lombok bisa sampai Rp 7.500,” ucap Abdullah.
Terkait pakan, di Lombok Tengah, nelayan juga mengaku perlu mendapat bimbingan terkait pakan yang tepat. Bagi mereka, tidak menjadi masalah jika mencoba untuk budidaya lobster. ”Tapi saya tidak tahu pakannya,” kata Jung (55), nelayan di kawasan Gerupuk, Pujut, Lombok Tengah, NTB.
Terkait teknologi budidaya yang selama ini masih dicari pemerintah, kata Abdullah, sebenarnya bisa diterapkan apa yang telah mereka terapkan bertahun-tahun. ”Kalau memang tidak berhasil budidaya, kami tidak mungkin bertahan sampai sekarang. Kami sudah budidaya selama belasan tahun,” ujarnya.
Menurut Abdullah, KKP sebelumnya memberikan bantuan keramba jaring apung (KPA) bagi kelompok pembudidaya di Telong-Elong. Setiap kelompok mendapat 12 unit dengan satu unit berisi tiga petak KJA. Bantuan itu, menurut dia, sangat bermanfaat. Bahkan, hal itu bisa diaplikasikan ke sejumlah daerah di Tanah Air.
Selain itu, kata Abdullah, setelah budidaya didorong, pemerintah juga harus bisa mengendalikan harga agar tetap stabil. Sebab, mereka sering menghadapi kondisi ketika harga turun setelah panen.
Berhenti menangkap benur
Sementara itu, pasca-penangkapan Edhy Prabowo, kegiatan nelayan yang biasa menangkap benur di kawasan Gerupuk, Pujut, Lombok Tengah, sekitar 56 kilometer tenggara Mataram, sementara berhenti.
Menurut Abdul Wahid, nelayan sekaligus pengepul benih lobster di Gerupuk, tercatat ada lebih dari 1.000 warga yang menangkap benur. Jumlahnya cukup tinggi karena sejak pandemi, kegiatan pariwisata di daerah itu terhenti sehingga banyak yang beralih menangkap benur.
Hanya saja, lanjutnya, sejak Menteri Kelautan dan Perikanan ditangkap, nelayan berhenti mencari benur sambil menunggu informasi berikutnya. Jikapun ada yang tetap menangkap, diarahkan untuk tujuan budidaya.
Hal itu, menurut Wahid, karena sejak Edhy Prabowo ditangkap, tidak ada lagi permintaan benur dari perusahaan-perusahaan pengekspor. Selain itu, harga beli juga turun, yakni Rp 5.000 per ekor untuk lobster jenis pasir dari semula Rp 20.000. Sementara harga untuk jenis mutiara turun dari Rp 40.000 per ekor menjadi Rp 20.000.
”Sekarang tidak ada pilihan lain. Kalau ada yang baru balik dan membawa benur, diarahkan untuk budidaya,” kata Wahid.