Pemilu Senat di Negara Bagian Georgia, AS, yang selesai pada Januari 2021, akan menjadi penentu. Apabila Republik memenangi dua kursi yang diperebutkan, partai itu akan kembali memegang kendali di Senat AS.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Meski pilpres telah resmi usai, politik AS masih menahan napas menunggu selesainya pemilihan Senat. Sama dengan persaingan antara Presiden Donald Trump dan Joe Biden, persaingan antara Demokrat dan Republik untuk menjadi mayoritas di Senat AS juga ”tergravitasi” pada Negara Bagian Georgia. Partai mana pun yang memenangi pemilu di Georgia akan menentukan arah politik AS setidaknya dua tahun mendatang.
Sebanyak 64 persen atau 32 negara bagian menyelenggarakan pemilu Senat tahun ini di AS. Hingga sekarang, hasil persaingan antara Partai Demokrat dan Republik hanya terpaut dua kursi, yakni 48 kursi berbanding dengan 50 kursi. Karena itu, status partai mayoritas pun masih terbuka bagi kedua partai.
Keadaan ini tentu cukup mencemaskan bagi Partai Republik. Sebelum pemilu, partai ini memegang kendali di Senat. Sebagai mayoritas, Partai Republik berhasil menempatkan 53 kadernya untuk duduk di kursi Senat, berselisih enam kursi dengan Demokrat yang memiliki 47 kursi Senat.
Tak ayal, pemilu Senat di Georgia yang menurut jadwal selesai pada Januari 2021 akan menjadi penentu. Apabila Republik bisa memenangi dua kursi yang diperebutkan, partai itu akan kembali memegang kendali di Senat dengan perolehan akhir 52 kursi berbanding 48 kursi Partai Demokrat.
Bahkan, Republikan hanya perlu 1 kursi untuk bisa mencapai status mayoritas dengan perolehan akhir 51 kursi berbanding dengan 49 kursi. Dengan begitu, meski kalah di pilpres, Republik dapat berkuasa di Senat selama paling tidak dua tahun hingga pemilu sela (midterm election) 2022.
Sebaliknya, apabila Demokrat mendapatkan dua kursi di Georgia, partai ini akan memegang kendali Senat. Apabila skenario ini terjadi, perolehan kursi Partai Demokrat dan Republik memang sama di angka 50 kursi, tetapi tetap Partai Demokrat yang menjadi penentu. Hal ini bisa terjadi karena menurut konstitusi AS, wakil presiden dapat mengambil keputusan apabila Senat terbelah secara merata. Dengan kemenangan Biden-Kamala pada pilpres, wakil presiden akan mendukung keputusan Senat yang diusung Demokrat.
Siapa yang nantinya memimpin Senat tentunya akan cukup memengaruhi jalannya pemerintahan AS. Apabila Republik yang memimpin, agenda-agenda perubahan yang disiapkan kabinet Biden-Kamala terancam sulit terealisasi.
Partai Republik tentu akan mencoba untuk mempertahankan kebijakan yang sebelumnya telah dibuat Trump. Mereka akan melawan usulan kebijakan dari Biden.
Hal sebaliknya akan terjadi apabila Partai Demokrat memenangi kontestasi. Posisi partai ini akan menjadi sangat kuat dengan mengontrol dua pilar pemerintahan AS. Dengan begitu, beberapa agenda yang dibawa Biden, seperti nominasi hakim agung, stimulus ekonomi, pembangunan infrastruktur, serta pembaruan peraturan perpajakan dan pengeluaran bakal berjalan lebih mulus.
Putaran kedua
Walakin, jalan bagi kedua partai untuk memenangi kontestasi tak akan mudah. Penyebabnya, pemenang di Georgia kali ini ditentukan dengan pemilihan putaran kedua (run-off election) mengingat tidak ada satu calon pun yang dapat meraih suara mayoritas. Berbeda dengan negara bagian lain, seperti Minnesota dan Michigan, peraturan di Georgia hanya memenangkan calon anggota Senat yang meraup lebih dari 50 persen suara.
Tidak mudah bagi para calon untuk meyakinkan pemilih datang ke TPS. Sebagian besar pemilih tertarik mencoblos karena ada pemilihan presiden. Selain itu, pemilihan anggota Senat diselenggarakan di tengah masa liburan tahun baru. Kemungkinan besar pula pandemi masih mengganas sehingga para calon anggota Senat patut mengkhawatirkan partisipasi pemilih.
Pemilihan putaran kedua ini juga sebetulnya merupakan anomali. Biasanya, pemilihan dua kursi senat di sebuah negara bagian tidak dilakukan secara bebarengan.
Di satu sisi, satu kursi diperebutkan dalam pemilu normal setelah sebelumnya dimenangi David Perdue, senator dari Partai Republik. Di sisi lain, satu kursi menjadi kosong karena sebelumnya diisi sementara.
Agar dapat menjalani masa jabatan dua tahun selayaknya senator, Kelly Loeffler—yang menggantikan Johnny Isakson yang pensiun dengan alasan kesehatan—harus mengikuti pemilu juga tahun ini.
Sebelumnya, beberapa negara bagian pun pernah menyelenggarakan pemilu putaran kedua. Salah satunya terjadi pada pemilu sela 2018 di Mississippi.
Saat itu, pertarungan antara Cindy Hyde-Smith, Mike Espy, dan Chris McDaniel tak selesai pada putaran pertama karena tak ada yang mampu menembus angka 50 persen. Setelah dilakukan pemilu putaran kedua antara Cindy Hyde-Smith dan Mike Espy, sebagai dua calon dengan perolehan suara tertinggi, akhirnya kontestasi dimenangi Cindy Hyde-Smith. Ia memperoleh 54 persen suara.
Postur Senat
Hasil pertarungan di ruang Senat kali ini menjadi yang paling sengit setidaknya selama dua dekade terakhir. Sebelumnya, hanya dua pemilu Senat yang berujung pada pertarungan yang sengit, yakni tahun 2000 dan 2006.
Pada 2006, pertarungan penguasaan Senat dimenangi Partai Demokrat dengan keunggulan tipis di angka 51 kursi, berselisih dua kursi dengan Partai Republik yang mendapat 49 kursi. Dengan perolehan Partai Republik saat ini yang sudah berada di angka 50, skenario Partai Republik meraih status mayoritas layaknya Demokrat pada 2006 sangat mungkin terjadi.
Namun, hasil yang mirip dengan pemilu Senat tahun 2000 juga bisa terwujud. Saat itu, Republik dan Demokrat sama-sama mendapatkan 50 kursi di Senat. Alhasil, Wakil Presiden Al Gore yang berasal dari Demokrat menjadi ”anggota Senat tambahan”. Karena itu, Demokrat pun secara tidak langsung mendapat status partai mayoritas.
Ujung dari kontestasi pemilihan Senat 2020 menjadi pertaruhan bagi Demokrat. Semenjak 2014, partai ini tak pernah menjadi mayoritas di Senat AS. Perolehan tertingginya setelah tahun itu berada di angka 48 kursi yang terjadi pada 2016.
Upaya Demokrat untuk menguasai Senat selama lebih dari separuh dekade ditentukan pada Januari tahun depan. (Litbang Kompas)