Demokrasi Amerika Pasca-Trump
Terpilihnya Joe Biden bukan hanya kemenangan nalar sehat dan memberikan optimisme pada masa depan demokrasi, melainkan juga keberhasilan Amerika menyingkirkan penyakit demokrasi secara demokratis.
Kemenangan Joe Biden pada Pemilu Amerika Serikat 2020 disambut rasa lega, bukan hanya bagi warga Amerika, melainkan juga dunia. Terpilihnya Biden adalah kemenangan nalar sehat dan optimisme pada masa depan demokrasi. Biden diharapkan bisa mengembalikan karakter demokrasi AS yang sempat terperosok dalam otokrasi Trumpisme.
AS empat tahun di era Trump jadi negara ultra-nasionalis, anti-imigrasi, Banana Republic yang menegasi perannya sebagai de-facto pemimpin globalisasi. Disfungsi Demokrasi selama era Trump sepertinya hanya demam sesaat yang segera dikoreksi. Kemenangan telak Biden membuktikan AS bisa melakukan rekuperasi demokrasi.
Memang masih jadi pertanyaan, apakah popularitas dan pengaruh Trump di Partai Republik segera lenyap dari lanskap politik AS. Trumpisme masih kuat bertengger di kursi senat atau kongres AS. Hampir separuh warga AS memilih Trump di Pemilu 2020 dan bukan tak mungkin ia akan mencalonkan diri lagi di 2024.
Kemenangan telak Joe Biden membuktikan AS bisa melakukan rekuperasi demokrasi.
Terpilihnya Trump, aktor reality show, pada Pemilu 2016 membenarkan sinyalemen demokrasi sebagai sistem yang kontradiktif. Seperti disinyalir sejumlah pemikir dan filsuf, sistem berbasis suara mayoritas ini inheren banyak persoalan. Trump terpilih dalam sistem demokrasi politik yang ultra-partisan, kental isu rasial, melebarnya kesenjangan sosial, dan konservativisme populis.
Problem sama dihadapi demokrasi di sejumlah negara lain. Selain AS dengan Trump (2016), Inggris memilih Brexit dalam referendum terkait keanggotaan di Uni Eropa (2016). Sejumlah politikus kontroversial menang pemilu dengan memakai isu populisme, seperti Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (2019); Presiden Brasil Jair Bolsonaro (2018); Presiden Filipina Rodrigo Duterte (2016); Presiden Turki Tayyip Erdogan (2014), PM India Narendra Modi (2014), PM Hongaria Viktor Orban (2010), sekadar beberapa contoh.
Kekhawatiran filsuf
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya, How Democracies Die, menguraikan bagaimana demokrasi runtuh di berbagai belahan dunia. Bukan melalui kudeta militer atau revolusi kekerasan, melainkan malih rupa menjadi otokrasi secara gradual. Demokrasi begitu rapuh, bahkan untuk negara seperti AS yang dikenal matang berdemokrasi. Trump begitu leluasa menginfeksi dan melumpuhkan demokrasi AS yang ternyata tak kebal virus otokrasi.
Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992) pernah mengingatkan adanya potensi ”pembusukan politik” (political decay) dalam sistem demokrasi yang mapan. Praktik manipulasi, kolusi, dan nepotisme rentan menggerogoti keterbukaan, keadilan, dan kesetaraan yang dijanjikan demokrasi. Banyak kalangan tak menyukai demokrasi, diktator, tiran, demagog, atau kaum fanatik-ekstremis. Filsuf, seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, menganggap demokrasi tak layak diamini.
Socrates menganalogikan mengelola negara dengan demokrasi seperti menakhodai kapal saat mengarungi lautan. Siapa yang sebaiknya menjadi juru mudi kapal? Nakhoda yang ahli dan berpengalaman atau siapa saja boleh asal terpilih secara demokratis. Socrates menganggap tak logis memilih sembarang orang jadi nakhoda kapal. Ia khawatir warga yang tak berpendidikan, miskin referensi, dan mudah dihasut punya hak untuk turut mengambil keputusan politik penting.
Plato juga tak mengamini demokrasi. Baginya, negara bisa jadi baik hanya jika dipimpin filsuf (philosopher kings). Bagi Plato, demokrasi adalah babak akhir dari runtuhnya negara ideal menuju tirani. Rakyat akhirnya bakal memilih otokrasi untuk mengatasi ”kekacauan” yang diakibatkan demokrasi. Begitu juga Aristoteles, yang menilai demokrasi adalah produk gagal utopia kepemimpinan berbasis opini mayoritas.
Bagi Plato, demokrasi adalah babak akhir dari runtuhnya negara ideal menuju tirani.
Para pemikir besar itu meragukan nalar suara warga (voting population). Mereka menilai sifat manusia pada umumnya dangkal, banal, abai, dan egois. Mereka mengkritik demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang secara inheren tidak efisien, korup, dan melahirkan politisi tamak-ambisius. Dalam demokrasi kerap terjadi mob-rule, intoleran terhadap argumen, atau marak transaksi kekuasaan para oligarki untuk berbagi akses kekayaan.
Para filsuf itu tak sepenuhnya salah. Proses demokrasi memang terbukti bisa menghasilkan figur buruk atau tragedi kemanusiaan. Demokrasi pernah menempatkan seorang psikopat-maniak seperti Adolf Hitler jadi penguasa Jerman untuk mengobarkan Perang Dunia II demi mewujudkan ambisinya menegakkan Third Reich pada 1933. Demokrasi era digital juga memenangkan Trump di Amerika pada 2016.
Krisis demokrasi era digital
Demokrasi memperjuangkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan manusia. Namun, di era digital, mantra demokrasi itu tak serta-merta membawa situasi lebih damai, aman, sejahtera, atau setara. Fakta jurang kesenjangan dan polarisasi justru terlihat semakin melebar.
Media sosial jadi katalis bagi perseteruan dan sengketa. Teknologi informasi memungkinkan setiap individu mengakses informasi dan beropini dengan mudah dan murah. Masyarakat terbuka di era digital tak otomatis memupuk sikap atau pikiran terbuka. Justru sebaliknya, membuka kotak pandora bagi suburnya pemikiran tertutup, kolot, ekstrem, dan insular.
Demokrasi era digital terasa ”anarkis”. Karena perbenturan paradigma berlangsung nonstop. Medsos jadi katalis bagi polarisasi politik, kubu politik yang berbeda tak dapat berdiskusi soal fakta secara beradab. Politik kembali jadi tribalistik, soal kawan atau lawan, soal salah benar secara banal. Umberto Eco, filsuf dan novelis Italia, menyebut serbuan ekspresi dan banjir opini di medsos ”the invasion of the idiots”.
Medsos dipenuhi amarah dan teriakan. Perseteruan dangkal mengambil alih percakapan dan pemikiran nalar. Dunia digital memudahkan siapa pun mengakses dan menyebarkan informasi. Ini melahirkan berbagai problematik. Khususnya ketika teknologi komunikasi tingkat tinggi ini tidak sejalan dengan peningkatan level psikologis emosi penggunanya. Manusia secara emosi masih berada di zaman purba tapi memiliki teknologi level dewa.
Teknologi pintar lebih dipakai untuk sebar sensasi, cari atensi, atau umbar emosi. Kontradiksi dan problem demokrasi jadi tontonan dan menu informasi sehari-hari. Konspirasi politik, ketegangan sosial, kesenjangan ekonomi, berkelindan dengan kian hilangnya lapangan kerja akibat digitalisasi. Kejengkelan dan frustrasi terakumulasi, menjadi sekam yang mudah disulut oleh politikus yang berniat mengeksploitasi.
Musuh demokrasi di era digital beda dengan sinyalemen Karl Popper (The Open Society and Its Enemy), bukan lagi ideologi-ideologi otoriter seperti fasisme atau komunisme. Namun dari dalam demokrasi itu sendiri, politik elite yang manipulatif.
Trump dengan senjata Twitter adalah contoh demokrasi digital berperilaku buruk. Ia menggunakan Twitter untuk membakar sentimen sosial dan memasarkan agenda politiknya. Memakai saluran demokrasi untuk menyuarakan sentimen antidemokrasi.
Trump dengan senjata Twitter adalah contoh demokrasi digital berperilaku buruk.
Kontras dengan sistem demokrasi yang terkesan kacau di AS dan berbagai belahan dunia, banyak pihak terpukau dengan kisah sukses China atau Singapura. Dua negara nondemokrasi ini dianggap efisien dalam membangun dan menyejahterakan warganya. Sebaliknya, demokrasi justru dinilai tidak mampu membangun kohesi sosial untuk menyepakati kepentingan dan tujuan bersama.
Belajar dari Amerika
Dalam buku The Life and Death of Democracy (2009), John Keane mengidentifikasi sejarah demokrasi tak linier dan praktik demokrasi juga beragam. Demokrasi bukan sejenis ”takdir politik” sejarah manusia. Demokrasi pernah muncul di era Yunani klasik, kemudian lenyap dan muncul kembali di era fajar budi (enlightenment) dengan lahirnya AS sebagai negara demokrasi modern pertama pada 1776.
Sampai 1945 baru ada 11 negara demokrasi di dunia. Demokrasi mulai tumbuh subur di sejumlah negara pasca-tumbangnya komunisme. Saat ini sedikitnya 110 negara tergolong demokratis. Bukan mustahil demokrasi terhapus lagi dari sejarah peradaban manusia jika demagog dan diktaktor berhasil memanipulasi aspirasi akar rumput. Dua dekade awal abad ke-21 mengindikasikan situasi ini, musuh demokrasi menggeliat.
Di Indonesia, demokrasi pernah hadir periode 1945-1959, kemudian lenyap, dan lahir kembali 1998 dengan kemenangan reformasi. Demokrasi dianggap ikut membuka ”kotak pandora” munculnya ekstremisme agama, merebaknya aksi terorisme, memicu polarisasi masyarakat. Termasuk melahirkan perkubuan-politik partisan (cebong vs kampret) yang sengit di dua pilpres terakhir.
Winston Churchill pernah menyatakan, demokrasi adalah sistem yang terbaik dari yang terburuk. Demokrasi mengasumsikan adanya the wisdom of the crowd. Politik sebagai urusan bersama, bukan monopoli satu sosok pemimpin atau sekelompok elite.
Tugas elite memastikan wisdom demokrasi terinternalisasi ke warga menjadi sistem nilai. Penyakit demokrasi bisa disembuhkan dengan menambah dosis demokrasi, kata John Dewey (The Cure for the Ills of Democracy is More Democracy). Amerika berhasil menyingkirkan penyakit demokrasi secara demokratis.
(Lukas Luwarso Hubert Humphrey Fellow, Universitas Maryland, 2005-2006)