Pemerintah harus memikirkan pasar lobster budidaya agar nelayan tidak semakin terpuruk. Nelayan butuh pendampingan karena membudidayakan lobster juga butuh modal besar dan berisiko tinggi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sejumlah nelayan lobster, baik pencari benur maupun pembudidaya, di Sulawesi Tenggara berharap pemerintah mengeluarkan regulasi yang memihak mereka. Kondisi saat ini membuat nelayan gundah, baik karena kebijakan ekspor benur maupun minimnya pendampingan bagi nelayan pembudidaya di daerah.
Di Sulawesi Tenggara, ada sejumlah lokasi yang didatangi pencari benur dan pembudidaya. Salah satu tempat nelayan mencari benur adalah kawasan Moramo, Konawe Selatan.
Fajrin (27), nelayan pencari benur, mengungkapkan, selama ekspor benur diizinkan, aktivitas masyarakat mencari benur sangat masif. Ratusan warga dari sedikitnya lima desa di Kecamatan Moramo turun ke laut setiap bulan, khususnya ketika bulan muda tiba.
”Saat itu benur banyak muncul di laut, sekitar satu minggu. Kalau sudah begitu, laut di Moramo sudah kayak pasar,” ujarnya, saat dihubungi dari Kendari, Jumat (27/11/2020).
Pendapatan selama mencari benur, tutur Fajrin, melonjak berkali lipat sejak izin ekspor dibuka. Sebelumnya, harga benur sekitar Rp 1.000 per ekor. Lima bulan terakhir, harga benur melonjak hingga Rp 17.000 per ekor. Satu nelayan benur bisa mendapatkan Rp 5 juta hingga Rp 10 juta hanya dalam satu bulan.
Lonjakan harga benur, tutur Fajrin, juga terjadi seiring banyaknya pembeli dan perusahaan yang masuk ke Sultra. Begitu permintaan meningkat tajam, harga benur lobster pun melonjak tinggi.
”Jadi, dengan kejadian Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo ditangkap KPK karena suap ekspor benur, kami jadi khawatir. Jangan-jangan nanti dilarang lagi untuk menangkap,” tambahnya.
Menurut Fajrin, ia tidak anti dengan budidaya lobster selama ini. Akan tetapi, budidaya membutuhkan modal yang cukup besar, mulai dari penyediaan tempat, bibit, pakan, hingga persiapan panen. Hal tersebut menjadi sulit bagi nelayan tanpa modal besar.
Bantuan fasilitas
Selama ini, ia melanjutkan, tidak ada juga bantuan dari pemerintah, baik bantuan keramba maupun penanganan pascapanen. Oleh sebab itu, jika ekspor benur lobster benar-benar dihentikan, ia berharap pemerintah membuat kebijakan yang membantu nelayan dengan penyediaan fasilitas.
”Hingga panen juga harus didampingi. Karena ini perlu waktu lama, sampai sektiar satu tahun. Jadi, perlu banyak perhatian memang,” ucapnya.
Di Soropia, Konawe, sejumlah kelompok nelayan penangkap benih bening losbter telah terbentuk. Nelayan yang sebagian besar adalah pembudidaya lobster ini memiliki sertifikasi untuk penangkapan benur yang difasilitasi perusahaan pengekspor yang telah mendapat izin Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Sri Bintang (25), nelayan pembudidaya lobster di Konawe, yang sempat beralih mencari benur, menjelaskan, kini telah berhenti mencari benur dan kembali fokus di budidaya. Ia merasakan bisnis mencari benur hanya menguntungkan di awal, tetapi mulai meragukan belakangan ini.
Menurut Bintang, harga benur lobster memang menggiurkan, yaitu sekitar Rp 20.000 per ekor. Akan tetapi, begitu banyaknya perusahaan yang masuk, termasuk pembeli dan broker, membuat persaingan harga semakin tidak masuk akal.
”Kami juga terkadang membeli di nelayan lokal, tetapi karena banyaknya persaingan, membuat harga melambung. Saya terakhir menjual itu di awal Oktober, tetapi karena melihat persaingan begitu tinggi, saya kembali beralih ke budidaya,” kata Bintang.
Bintang melanjutkan, ia mencari benur di wilayah Konawe, Konawe Selatan, hingga Konawe Utara. Benur yang didapatkan dikemas, lalu ditaruh di penampungan sementara. Setelah dikumpulkan, benur dikirim ke koperasi untuk dijual. Koperasi nanti yang akan membawa ke perwakilan perusahaan di Kendari.
Bintang mencari benur karena tergiur dengan mudah, murah, dan besarnya pendapatan. Terlebih lagi, kondisi lobster budidaya di kerambanya tidak cukup baik. Dari 30 kilogram bibit yang dibudidayakan tahun ini, hanya tersisa belasan ekor. Sebagian besar lobster mati karena penyakit.
Meski demikian, saat ini ia kembali membudidayakan lobster meski hasilnya masih meragukan. ”Budidaya memang lama, tetapi kalau harganya bagus, bisa menguntungkan. Karena itu, kami berharap agar pemerintah mengedepankan budidaya agar semuanya sejahtera.”
Sebelumnya, La Ode Aslan, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Halu Oleo, Kendari, menjelaskan, situasi saat ini memang serba salah bagi nelayan budidaya. Harga lobster anjlok, sementara peluang benur di depan mata.
Jika berlangsung terus-menerus, tutur Aslan, budidaya lobster bukan tidak mungkin akan ditinggalkan. Sebab, nelayan berpikir akan lebih mudah dan lebih murah menjadi pencari benur dibandingkan membudidayakan lobster yang lama dan memerlukan modal besar.
”Pemerintah harus memikirkan pasar lobster budidaya agar nelayan tidak semakin terpuruk. Selain itu, syarat perusahaan untuk melakukan ekspor betul-betul diperketat, salah satunya adalah kewajiban budidaya. Jika tidak begitu, budidaya akan ditinggalkan,” ucapnya.