Tanggung Jawab Kepala Daerah Tak Selesai Hanya dengan Mencopot Pejabat
›
Tanggung Jawab Kepala Daerah...
Iklan
Tanggung Jawab Kepala Daerah Tak Selesai Hanya dengan Mencopot Pejabat
Jika Wali Kota Jakarta Pusat dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI dicopot terkait kasus kerumunan Petamburan, bagaimana dengan kepala daerah yang mendatangi acara terkait kerumunan yang sama?
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencopot Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Andono Warih dari jabatan masing-masing karena dinilai gagal mengantisipasi dan menangani kerumunan orang di Petamburan pada 14 November 2020. Sejumlah pihak menganggap langkah ini justru memberi kesan kepala daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghindar dari tanggung jawab dan mengorbankan jajarannya.
Pejabat Sekretaris Daerah Pemprov Jakarta Sri Haryati ketika dihubungi pada Sabtu (28/11/2020) mengatakan bahwa pencopotan berlaku sejak 24 November. Ia mengutip pernyataan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Jakarta Chaidir yang memaparkan bahwa berdasarkan pemeriksaan terhadap Bayu, Andono, Camat Tanah Abang Yassin Pasaribu, Lurah Petamburan Setiyanto, dan sejumlah individu di Suku Dinas Lingkungan Hidup (Sudin LH) Jakarta Pusat ditemukan pelanggaran.
Chaidir dalam pernyataan tertulisnya menjabarkan bahwa Andono selaku Kepala Dinas LH membiarkan Sudin LH Jakarta Pusat meminjamkan sarana dan prasarana milik Pemprov Jakarta untuk digunakan di acara resepsi pernikahan anak pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Shihab di Petamburan. Saat ini untuk jabatan Wali Kota Jakarta Pusat diemban oleh Irwandi selaku pelaksana harian. Sebelumnya ia adalah Wakil Wali Kota Jakarta Pusat. Adapun Bayu dan Andono dimasukkan ke dalam Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP).
”Pengganti Kepala Dinas Lingkungan Hidup bernama Syaripudin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Kepala Dinas LH,” tutur Sri.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Yusri Yunus mengatakan pencopotan pejabat ini tidak ada hubungannya dengan penyidikan polisi mengenai kerumunan di Petamburan. Polisi memang menemukan unsur pidana di peristiwa itu, tetapi belum menetapkan tersangka yang akan disidik. Menurut dia, biarkan penyidikan berjalan dulu sebelum memutuskan orang-orang yang perlu dipanggil, baik sebagai saksi maupun tersangka.
Peristiwa di Petamburan, menurut Wakil Panglima Komando Tugas Gabungan Terpadu Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Brigadir Jenderal TNI M Sholeh Mustafa turut menyumbang kenaikan keterisian kamar. Data per tanggal 28 November menunjukkan, jumlah pasien positif yang sedang dirawat di fasilitas itu 2.192 orang setelah ada penambahan 190 pasien baru. Flat isolasi mandiri di RSD Wisma Atlet juga kian penuh. Keterisian di Menara 4 sebanyak 12,1 persen, Menara 5 terisi 79,04 persen, Menara 6 sebanyak 67,15 persen, dan Menara 7 terisi 83,59 persen.
Sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta memandang pencabutan pejabat itu tidak transparan dan tidak menunjukkan tanggung jawab pihak eksekutif Pemprov DKI Jakarta. Alasannya adalah sistem pemerintahan di Jakarta berbeda dengan wilayah lain di Tanah Air. Wali kota dan pejabat satuan kerja perangkat daerah tidak mempunyai otoritas membuat aturan. Mereka hanya tenaga operasional yang menjalankan kebijakan kepala daerah.
Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P) Gembong Warsono meminta Pemprov Jakarta membuka dokumen penyelidikan yang dilakukan oleh Inspektorat DKI Jakarta. Publik berhak mengetahui rangkaian peristiwa, duduk perkara, dan pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa di Petamburan.
”Jangan main copot dulu. Buka benar nama-nama pejabat yang mengizinkan atau membiarkan keramaian itu terjadi dan jalan penyidikan oleh Inspektorat hingga memang layak diputuskan orang-orang tersebut dinonaktifkan dari jabatannya. Demikian pula dengan status Petamburan sebagai wilayah berisiko penularan Covid-19, penanganannya sudah sejauh apa?” ujarnya.
Pada waktu yang berlainan, Wakil Ketua DPRD Jakarta dan legislator dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Zita Anjani, mengatakan hal senada. Ia menghormati keputusan Gubernur DKI Jakarta, tetapi menyayangkan tindakan dilakukan mendadak tanpa dimusyawarahkan dengan DPRD. Apalagi, sejauh ini tidak ada keterangan terperinci mengenai bentuk pembiaran ataupun pencegahan yang dilakukan, baik oleh Dinas LH maupun Wali Kota Jakarta Pusat.
”Copot sana-sini bukan solusi. Kan bisa didiskusikan di antara semua pihak terkait. Dalam acara di Petamburan itu Gubernur dan Wakil Gubernur seingat saya juga ikut hadir,” katanya.
Copot sana-sini bukan solusi. Kan bisa didiskusikan di antara semua pihak terkait. Dalam acara di Petamburan itu Gubernur dan Wakil Gubernur seingat saya juga ikut hadir. (Zita Anjani)
Tidak konsisten
Pakar ilmu administrasi Universitas Indonesia, Roy Valiant Salomo, menelaah tindakan pencopotan ini tidak konsisten dengan minimnya penegakan aturan di lapangan. Berbagai aturan, mulai dari undang-undang, peraturan daerah, peraturan gubernur, dan keputusan gubernur menegaskan segala bentuk keramaian tidak boleh dilakukan selama pandemi Covid-19. Apalagi, Jakarta masih menerapkan pembatasan sosial berskala besar.
”Semua aturan menyuruh setiap orang yang baru datang dari luar negeri agar melakukan isolasi mandiri selama dua pekan. Akan tetapi, ketika Rizieq Shihab tiba dari Arab Saudi ia dibiarkan berkeliaran dan beberapa kegiatannya dihadiri jajaran pemerintah Jakarta dan kabupaten/kota lain,” ucapnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah kalah atau sengaja mengalah terhadap kepentingan kelompok tertentu. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan. Apabila pemerintah beserta aparat penegak hukum saja tidak bisa menindak, warga sipil yang kritis bisa-bisa diinjak oleh kelompok-kelompok ini.
”Perilaku kebanyakan berkompromi ini penyakit di Indonesia, termasuk Jakarta. Pencopotan wali kota ataupun kepala dinas tidak memberi dampak apa pun karena mereka bukan pengambil kebijakan strategis. Kuncinya tetap di gubernur,” kata Roy.