Tiga Utusan Uni Afrika Coba Tengahi Konflik Tigray
›
Tiga Utusan Uni Afrika Coba...
Iklan
Tiga Utusan Uni Afrika Coba Tengahi Konflik Tigray
Upaya tiga utusan Uni Afrika untuk meredakan konflik di Etiopia masih menemui jalan buntu. Perdana Menteri Abiy Ahmed bersikukuh melanjutkan serangan ke Mekele, basis milisi TPLF. Pengungsi Etiopia terus bertambah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ADDIS ABABA, JUMAT — Uni Afrika mengutus tiga orang berpengaruh di kawasan itu untuk mencoba mencari jalan tengah dan meredakan konflik yang terjadi di Etiopia. Tiga orang tersebut, yaitu mantan Presiden Mozambik Joaquim Chissano, mantan Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan mantan Presiden Afrika Selatan Kgalema Motlanthe, diharapkan bisa mencegah terjadinya pertumpahan darah yang lebih luas di Etiopia setelah Perdana Menteri Abiy Ahmed mengultimatum milisi persenjata, Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF), untuk menyerah tanpa syarat.
Ketiga utusan pemimpin Uni Afrika, Cyrill Ramaphosa, yang juga merupakan Presiden Afrika Selatan, telah berada di ibu kota Etiopia, Addis Ababa, sejak beberapa hari lalu. Dalam pertemuan dengan PM Abiy, Jumat (27/11/2020), mereka mengulangi usulan dari Uni Afrika agar ketegangan ini diakhiri dengan perundingan antara pemerintah dan TPLF. Namun, sejauh ini PM Abiy bergeming dengan keputusannya.
Dalam pertemuan itu, PM Abiy, dalam pernyataan yang dikeluarkan kantor Kepresidenan Etiopia, menyatakan penghargaannya pada perhatian para sesepuh Afrika yang diutus oleh Uni Afrika. Namun, dalam pandangannya, kegagalan pemerintahannya menegakkan supremasi hukum atas aktor-aktor yang berada di balik gerakan TPLF itu akan memelihara budaya impunitas di negara tersebut. Konsekuensinya adalah kehancuran pilar penopang kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam pertemuan itu, Abiy menyatakan tujuan pemerintah dan militer saat ini adalah untuk menangkap para pemimpin TPLF dan mengembalikan kondisi di Tigray seperti semula.
Sejauh ini belum ada keterangan resmi dari ketiga utusan khusus Uni Afrika itu. Juru bicara Uni Afrika, Ebba Kalondo, mengatakan, rencana utusan khusus untuk bertemu dengan para pemimpin TPLF hingga saat ini belum bisa direalisasikan karena Pemerintah Etiopia menolak untuk memfasilitasi.
Fase terakhir
Militer Etiopia telah memulai fase terakhir serangan ke wilayah utara Tigray sejak waktu 72 jam—berakhir pada Rabu (25/11/2020) malam—yang diberikan oleh PM Abiy tidak diindahkan oleh TPLF. Pertempuran dilaporkan terjadi di luar Mekele, ibu kota wilayah Tigray, yang menjadi daerah basis perlawanan TPLF terhadap militer Etiopia.
Kelompok hak asasi manusia mengingatkan pemerintah dan militer Etiopia agar dalam kondisi konflik seperti ini, hak hidup dan hak dasar warga Tigray dan wilayah di sekitarnya tetap diperhatikan. Peringatan itu disampaikan beberapa organisasi HAM karena Abiy dan militer Etiopia tampaknya menutup mata atas kemungkinan jatuhnya korban sipil dalam serangan fase terakhir itu. Abiy hanya menyatakan agar penduduk untuk tetap tinggal di dalam rumah, serta melucuti senjata mereka jika tentara dan artileri berat mereka merangsek ke dalam kota dan mengambil alih kota tersebut.
Sumber di kalangan diplomat menyebutkan bahwa TPLF akan bertempur habis-habisan mempertahankan diri di Makele. Pasukan TPLF diyakini berjumlah lebih dari 250.000 anggota dan semuanya dipersenjatai AK47. Tidak akan mudah bagi militer pemerintah untuk menghentikan perlawanan TPLF.
Pada saat yang sama, persediaan bahan pangan di wilayah Tigray yang dihuni sekitar 6 juta orang diperkirakan telah menipis. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mendesak pemerintah untuk memberikan akses bantuan bagi kemanusiaan terhadap warga di wilayah tersebut. Pemerintah Etiopia menyatakan, jalur akses bagi bantuan kemanusiaan akan dibuka di bawah kendali dan pengelolaan Kementerian Perdamaian. Namun, tak ada rincian lebih lanjut mengenai hal itu.
Kantor kepresidenan menyatakan, Kementerian Perdamaian telah mendistribusikan bantuan kemanusiaan di wilayah yang telah dikuasai militer. Sebanyak empat kamp pengungsian didirikan bagi warga yang terpaksa meninggalkan rumah tempat tinggal mereka.
Koordinator kemanusiaan PBB di Ethiopia, Catherine Sozi, mengatakan bahwa dia tidak memiliki informasi tentang rute akses tersebut.
Berbagai krisis tumbuh seiring bertambahnya warga Etiopia yang mengungsi ke Sudan dan Eritrea untuk menyelamatkan hidup mereka dan keluarganya. Lebih dari 40.000 warga Ethiopia mengungsi ke Sudan dan Eritrea. Namun, kondisi di lokasi pengungsian juga memprihatinkan.
”Kami melihat banyak orang kelaparan dan kekurangan gizi, termasuk perempuan hamil dan ibu yang baru saja melahirkan,” kata Elsadig Elnour, Direktur Islamic Relief’s Sudan. Dia menambahkan, dalam beberapa hari ke depan, pengungsi akan kehabisan logistik bila tidak ada pertolongan.
Tidak hanya masalah logistik, kekhawatiran penularan Covid-19 di kamp pengungsian juga menjadi salah satu perhatian utama.
”Kami tidak bisa menjaga jarak sosial di sini di kamp,” kata Mohammed Rafik Nasri dari badan pengungsi PBB.
Para pengungsi berharap konflik segera berakhir dan mereka bisa kembali ke rumah masing-masing. ”Negara kami tidak memiliki kedamaian. Anda melihat suku-suku bertempur, saling membunuh satu sama lain. Ini membuatku sangat sedih,” kata salah satu pengungsi Atsaaha Gtsadik. (AP/REUTERS)