Penghentian ekspor benih lobster untuk sementara menjadi momentum bagi pemerintah mengevaluasi kebijakan. Kini waktunya gas dan rem demi mewujudkan orientasi jangka panjang, yakni bangkit merebut pasar lobster global.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
Derap kontroversi sejak kebijakan ekspor benih lobster digulirkan Mei 2020 bermuara pada kasus suap perizinan budidaya lobster. Kasus itu menyeret Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan enam orang lain yang ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka pada 25 September 2020. Sehari setelah penetapan tersangka, Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan sementara ekspor benih bening lobster.
Ekspor benih lobster diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) yang ditetapkan pada 4 Mei 2020. Aturan ini menggantikan aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 yang melarang penangkapan dan ekspor benih lobster.
Mengacu pada aturan baru, ekspor benih lobster mensyaratkan sejumlah hal, antara lain keberhasilan budidaya atau pembesaran lobster di dalam negeri dan pelepasliaran 2 persen dari hasil panen lobster. Eksportir juga diwajibkan mengembangkan 70 persen benih untuk budidaya dan 30 persen benih untuk ekspor.
Jauh sebelum regulasi itu terbit, sinyal dibukanya keran ekspor benih telah digaungkan Kementerian Kelautan dan Perikanan, akhir 2019. Sejak saat itu, pro dan kontra terus terjadi dan pemerintah tetap menggulirkan ekspor benih lobster dengan alasan ada peluang ekonomi dan kesejahteraan nelayan. Langkah ekspor mendapat dukungan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi yang menyebut kebijakan itu sebagai jalan tengah di tengah permintaan pasar.
Kontroversi menguat karena implementasi ekspor benih ditengarai menyimpang dari regulasi. Dari catatan Kompas, persoalan dimulai dari proses penetapan kuota ekspor, pelanggaran pemenuhan syarat ekspor, hingga urusan pengiriman benih lobster yang dikuasai oleh satu perusahaan kargo.
Sebulan sejak regulasi terbit, ekspor benih lobster mulai berjalan. Padahal, budidaya lobster yang menjadi syarat butuh waktu setidaknya 8-12 bulan. Dalam kurun enam bulan sejak aturan terbit, jumlah benih yang diekspor ke Vietnam ditaksir telah mencapai 37 juta ekor.
Dengan asumsi benih yang diekspor itu 30 persen dari total benih yang ditangkap, maka jumlah benih yang dibesarkan (budidaya) seharusnya 86,3 juta ekor. Namun, dari data Himpunan Pembudidaya Ikan Laut Indonesia, jumlah keramba jaring apung lobster di Indonesia hanya sekitar 10.000 unit dengan kapasitas budidaya hanya 3 juta ekor per tahun.
Jorjoran ekspor benih mendorong harga benih melambung dan tak terjangkau pembudidaya lobster. Harga benih lobster jenis pasir mencapai Rp 15.000 per ekor. Sebelum diekspor secara besar-besaran, benih itu masih bisa dibeli pembudidaya dengan harga Rp 1.500-Rp 3.000 per ekor. Karut-marut tata kelola menyebabkan harga benih tak terkendali.
Di sisi pengiriman, ada indikasi kargo dikuasai satu perusahaan. KPK menyinyalir ada satu perusahaan yang ditunjuk sebagai pengangkut benih. Ombudsman RI dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha juga menduga ada praktik monopoli kargo dalam ekspor benih lobster. Tarif benih yang ditetapkan perusahaan kargo itu Rp 1.800 per ekor atau jauh melampaui tarif kargo yang ditawarkan perusahaan lain, Rp 160-Rp 200 per ekor.
Di tengah gencarnya ekspor benih, nasib pembudidaya lobster di dalam negeri kian terlibas. Ibarat memasok ”peluru” ke negara pesaing yang lebih unggul dalam pengalaman dan teknologi budidaya, Indonesia terancam semakin tertinggal dalam membangkitkan budidaya lobster. Semakin banyak benih yang diekspor ke Vietnam, semakin besar peluang kompetitor menguasai pasar lobster konsumsi yang bernilai tambah tinggi.
Semakin banyak benih yang diekspor ke Vietnam, semakin besar peluang kompetitor menguasai pasar lobster konsumsi.
Penghentian ekspor benih lobster untuk sementara menjadi momentum pembuktian pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan dan tata kelola lobster. Marwah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 perlu dikembalikan dengan berpihak kepada budidaya lobster di dalam negeri. Sudah seharusnya Indonesia bangkit menjadi pemain besar lobster dan menyalip Vietnam yang selama ini menggantungkan 80 persen pasokan benih dari Indonesia.
Tata kelola lobster harus memastikan keberlanjutan sumber daya dan peningkatan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya. Demi menggapai tujuan itu, perlu komitmen gas dan rem, yakni menggenjot budidaya lobster dan mengerem ekspor benih.
Riset dan fasilitas budidaya perlu diperkuat. Jika perlu, undang investor Vietnam untuk membudidaya lobster di Indonesia agar terjadi transfer teknologi. Orientasi jangka panjang harus ditegakkan, yakni Indonesia bangkit merebut pasar. Kini saatnya berbenah.