Anak Petambang Mendulang Mimpi di Sekolah Tanpa Gedung
›
Anak Petambang Mendulang Mimpi...
Iklan
Anak Petambang Mendulang Mimpi di Sekolah Tanpa Gedung
Sekolah kejuruan pertanian di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, terbentur dengan beragam persoalan, mulai dari fasilitas hingga lahan praktik. Namun di balik itu semua, sekolah itu mampu jadi jawaban kegelisahan siswa.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·6 menit baca
Sekolah Menengah Kejuruan Purnama memang baru berumur delapan tahun di Desa Hurung Bunut, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Tanpa gedung dan minim fasilitas, sekolah itu mampu melepas dahaga kebutuhan akan pendidikan agar tak berakhir di ladang tambang.
Icang Aini (26), salah satu guru di SMK Purnama, berjalan dari rumahnya pada Senin (9/11/2020) pagi. Tubuhnya memang mungil, tingginya sekitar 120 sentimeter. Langkahnya kecil tetapi cepat, seperti semangatnya yang menggebu untuk mengajar.
Ia berjalan lebih kurang 1 kilometer untuk ke sekolah. Ia makin semangat karena pada tahun ini muridnya kian banyak. Tahun 2012 saat sekolah itu baru dibentuk, muridnya hanya dua orang, lalu meningkat pada tahun 2014 menjadi 15 orang dan kini terdapat 25 siswa yang bersekolah di SMK tersebut.
Sekolah mulai 07.00 WIB dan biasanya berakhir pukul 13.00 WIB. Namun, karena pandemi Covid-19 sekolah dibatasi sejak pukul 07.00 WIB sampai pukul 09.00 WIB. Para siswa pun mengenakan masker dan mencuci tangan sebelum masuk kelas.
Tak banyak yang dijelaskan Icang pagi itu. Ia hanya memberikan beberapa tugas kepada para muridnya. ”(Pembelajaran) Ini kami lakukan sesuai protokol kesehatan,” ungkap Icang.
Para siswa itu semua berasal dari Desa Hurung Bunut, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng. Desa itu berjarak 131,4 kilometer dari ibu kota Kalteng, Kota Palangkaraya. Meski terletak di pelosok, di desa itu setidaknya 500 lebih keluarga tinggal.
Elyn (15) misalnya. Gadis yang saat ini duduk di kelas X itu merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaknya sedang kuliah di Kota Palangkaraya, sedangkan adiknya masih kecil. Ayahnya seorang buruh upah yang menambang ilegal. Ayahnya digaji tergantung berapa banyak emas yang ia sedot di lahan milik pengupah.
Ia memutuskan sekolah di SMK Purnama karena keinginan besarnya untuk sekolah. Namun, ia melihat kakaknya yang sekolah di luar desa dan melihat betapa sulitnya orangtua mencari uang. Untuk itu ia bahagia dengan hadirnya sekolah kejuruan di desanya.
”Kalau enggak sekolah di sini ya pasti saya sudah putus sekolah, kalau saya paksa untuk sekolah keluar pasti sulit sekali bapak dan ibu cari uang,” kata Elyn.
Elyn senang bisa mengenal kembali bertani yang tradisional ataupun modern di sekolah itu meski sebagian besar baru teori lantaran tidak banyak peralatan modern yang bisa ia pelajari di sekolah itu. ”Ternyata sekolah bertani itu seru, kalau panen hasil tanam sendiri itu senangnya bukan main,” ujarnya.
Kalau enggak sekolah di sini ya pasti saya sudah putus sekolah, kalau saya paksa untuk sekolah keluar pasti sulit sekali bapak dan ibu cari uang. (Elyn)
Lain lagi cerita Nobi Saputra (17) yang sudah menginjak kelas XII. Ia sempat bersekolah di Kuala Kurun sekitar 30 menit dari desanya, tetapi ia putuskan pindah lantaran tak punya kendaraan. Anak ketujuh dari delapan bersaudara itu mulai sadar kalau sekolah keluar desa itu butuh biaya yang besar, sedangkan sekolah di SMK pertanian di desanya hanya membayar uang sekolah yang tak lebih dari Rp 60.000.
Ia tak perlu memikirkan biaya makan dan apalagi tinggal karena dekat dengan rumahnya. ”Saya pikir kalau sekolah di SMK itu enggak bisa kuliah ternyata bisa, saya hanya mau selesaikan sekolah supaya bisa kuliah,” ungkap Nobi.
Orangtua Nobi bertani, kadang menanam padi dan berharap harga getah karet tinggi. Ia ingin sekali kuliah karena melihat kakaknya yang kuliah bisa mendapatkan pekerjaan bagus.
”Habis dari SMK Pertanian ini saya mau kuliah pertanian juga, di Kalteng pasti masih banyak membutuhkan sarjana pertanian,” kata Nobi.
Para siswa berasal dari berbagai golongan, mulai dari petani karet hingga petambang emas ilegal. Sebagian besar anak SMK itu berasal dari keluarga yang sehari-harinya menambatkan nasib di kebun karet dan tambang emas ilegal.
Seluruh siswa yang bersekolah di SMK itu merupakan siswa kurang mampu. Mereka tak bisa keluar dari desa untuk sekolah menengah lantaran biaya.
Meski jarak dari Hurung Bunut ke Kuala Kurun, ibu kota Kabupaten Gunung Mas, berjarak 26 kilometer, paling tidak jika ingin bersekolah dari rumah harus menggunakan kendaraan bermotor yang tak pernah mereka impikan bisa membelinya.
SMK Purnama pun menjadi pilihan terakhir karena tak ada sekolah menengah atas lainnya yang paling dekat dari desa. Sekolah kejuruan itu sejak didirikan tahun 2012 hingga saat ini masih menumpang SMP Negeri Hurung Bunut.
Dari tiga kelas yang dimiliki SMP itu, SMK menggunakan satu kelas. Inisiatif Kepala Sekolah SMK Purnama, Gama, membagi kelas tersebut menjadi tiga bagian dengan menggunakan sekat kayu.
Di kelas itu hanya terlihat beberapa kursi dan meja. Jumlahnya pas 25 pasang ditambah tiga pasang lagi untuk guru-guru. Di sudut-sudut ruangan terdapat beberapa ceret plastik penyiram tanaman, lalu beberapa cangkul, dan alat sendok semen.
Sedangkan ruang guru SMK dijadikan satu dengan ruang guru SMP. Di antara ruang guru dan ruang kelas, di bagian luar, terdapat sepetak lahan yang digunakan untuk praktek pertanian. Terdapat beberapa jenis sayuran yang baru saja dipanen pagi itu, seperti kacang panjang, terung, dan bayam.
Semuanya bersih dan terlihat segar. Guru-guru bersama dengan beberapa murid yang masuk pagi itu sempat memanen sayuran yang mereka tanam 30 hari sebelumnya. Dengan pertanian organik, hanya membutuhkan waktu sebulan untuk sayuran itu ditanam dan lalu dikonsumsi.
Tak hanya di Gunung Mas. Kekurangan fasilitas juga terjadi di SMK Negeri 7 Palangkaraya. SMK pertanian yang memiliki 175 siswa itu juga kekurangan lahan untuk tempat praktik siswa.
Kepala Sekolah SMK 7 Palangkaraya Syahrani mengungkapkan, pihaknya hanya memiliki lahan kurang dari satu hektar atau seukuran lapangan bola yang sudah digunakan untuk bangunan dan lapangan olahraga. Mereka pun beberapa kali dipinjamkan sebidang tanah oleh warga sekitar untuk praktik.
”Menyiapkan tanahnya kan satu tahun paling tidak, tetapi setelah disiapkan ya berbagi juga sama yang punya tanah, kalau sedang dipakai kami cari yang lain,” kata Syahrani.
Meskipun demikian, fasilitas di sekolah ini jauh lebih mumpuni dari SMK Purnama di Gunung Mas. Mereka memiliki lahan untuk hidroponik, lalu beragam buku, dan peralatan. Bahkan, baru-baru ini mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa alat pengukur suhu tanah.
”Kami masih mencari orang yang bisa mengoperasikannya,” ujar Syahrani.
Di Kalimantan Tengah, setidaknya terdapat 137 sekolah menengah kejuruan (SMK) sebanyak 77 di antaranya merupakan sekolah kejuruan dengan jurusan pertanian. Total siswa di SMK pertanian mencapai 7.515 orang dari kelas X-XII.
Hadirnya SMK Pertanian di Hurung Bunut ataupun di Palangkaraya seharusnya menjadi oase di tengah dahaga. Tidak banyaknya pilihan pekerjaan di desa dan kurangnya biaya membuat anak-anak di pelosok Kalteng mengubur niatnya dan bisa saja kembali meneruskan pekerjaan orang tuanya yang petambang emas ilegal, penebang liar, atau buruh kebun. Hadirnya SMK di pelosok sedikit banyak membawa mimpi siswa menjadi lebih besar.
Namun sayang, fasilitas yang minim membuat mereka belajar apa adanya. Mandiri. Padahal, Kalimantan Tengah sedang disiapkan untuk menjadi lumbung pangan, tentunya tenaga pertanian dibutuhkan lebih banyak.