Pembelian barang mewah dari uang yang diduga hasil korupsi berkali-kali terlihat pada perkara korupsi yang ditangani KPK. Mobil seharga miliaran rupiah, sepeda ratusan juta, hingga mainan puluhan juta pernah disita KPK.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/HERU SRI KUMORO
·5 menit baca
Dalam penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, Rabu (25/11/2020), di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, sekembalinya dari lawatan ke Amerika Serikat, Komisi Pemberantasan Korupsi menyita sejumlah barang mewah yang diduga dibeli Edhy dan istrinya dari uang suap terkait perizinan ekspor benih lobster tahun 2020.
Tas Hermes, baju Old Navy, jam tangan Rolex, jam Jacob n Co, tas koper Tumi, koper LV (Louis Vuitton), sepatu LV, dan sepeda road bike merek Specialized S-Works merupakan barang-barang yang disita KPK dalam penangkapan tersebut.
Jam Rolex itu sempat menjadi perbincangan di Twitter. Selain itu, pengguna internet juga ”bergunjing” soal sepeda yang ditunjukkan petugas KPK dalam konferensi pers pengumuman penetapan tersangka dalam kasus itu pada Rabu malam hingga Kamis (26/11/2020) dini hari. Sepeda tersebut berjenis road bike merek Spesialized S-Works.
Hal tersebut terlihat dari tulisan S-Works di rangka sepeda bagian bawah. Selain itu, logo seperti huruf S (logo sepeda Spesialized) juga terpampang di kardus pembungkus sepeda. Berdasarkan penelusuran di situs daring https://www.specialized.com, sepeda tersebut diperkirakan seri S-Works Roubaix-Shimano Dura-Ace Di2.
Sepeda itu di Amerika Serikat dihargai 11.000 dollar AS atau sekitar Rp 156 juta (1 dollar AS setara dengan Rp 14.200). Harga di Indonesia kemungkinan lebih mahal karena ada biaya kirim dan pajak.
Sepeda tersebut ramai diperbincangkan di media sosial, terutama di grup penyuka sepeda. Pembahasan seputar teka-teki seri sepeda, harga, hingga teknologi yang disematkan di sepeda tersebut.
Ada juga yang berkomentar di media sosial, ”Malu-maluin, masa nunggu korupsi dulu baru bisa beli itu sepeda”. Atau komentar lain di kolom komentar Instagram, ”Tergoda sepeda nekat korupsi. Ini judulnya, Mas”.
Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menuturkan, dalam kasus yang menjerat Edhy Prabowo, diduga terdapat transfer Rp 3,4 miliar dari swasta untuk keperluan Edhy, istrinya, serta dua staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan, yakni Safri dan Andreau Pribadi Misata.
Uang tersebut, di antaranya, diduga digunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istrinya di Honolulu, AS, pada 21-23 November 2020. Barang mewah itu berupa jam tangan Rolex dan tas mewah.
Dugaan pembelian barang mewah dari hasil korupsi bukan sesuatu yang baru. Bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi yang kini menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta bersama menantunya, Rezky Herbiyono, didakwa menerima suap dan gratifikasi Rp 83 miliar saat Nurhadi menjabat Sekretaris MA.
Dalam surat dakwaan disebutkan, uang yang diterima Nurhadi dan Rezky digunakan untuk membeli sejumlah barang mewah, di antaranya membeli beberapa tas merek Hermes Rp 3,26 miliar, pakaian Rp 396 juta, dan jam tangan Rp 1,4 miliar. Mereka juga membeli mobil Land Cruiser, Lexus, dan Alphard beserta aksesorinya sebesar Rp 4,6 miliar.
Dalam persidangan pada 4 November 2020, saksi yang merupakan bekas staf legal Rezky, Calvin Pratama, mengungkapkan, Rezky juga membeli mobil Ferrari, Rolls-Royce, dan Lamborghini setelah menikahi Rizki Aulia, putri Nurhadi.
Akan tetapi, Rezky membantahnya. Ia mengaku membeli mobil itu sebelum menikah. Sementara Nurhadi mengaku tidak mengerti apa yang dilakukan Rezky dan teman-temannya.
Tingkatkan gengsi
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai apa yang dilakukan koruptor di Indonesia dengan membeli barang-barang mewah sebagai bentuk keserakahan. ”Jarang yang memutar kembali (uang korupsinya) untuk modal investasi atau TPPU (tindak pidana pencucian uang) yang lebih canggih. Mereka menghindari pola rumit,” ujarnya.
Ia menuturkan, koruptor lebih banyak membeli barang mewah, seperti tas, mobil, perhiasan, atau barang yang sedang tren, seperti sepeda. Investasi mereka biasanya pada properti, seperti tanah dan bangunan. Oce menilai para koruptor memiliki kecenderungan suka dengan barang mewah dengan harga mahal.
Pakar psikologi politik dan anggota Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019-2023, Hamdi Moeloek, mengungkapkan, korupsi karena kebutuhan terjadi akibat faktor sistemik. Sementara korupsi karena keserakahan dilakukan untuk memperkaya diri dan memenuhi tuntutan gaya hidup.
Menurut Hamdi, situasi ini terjadi karena orang tersebut belum puas dengan apa yang dimiliki serta pengaruh lingkungan sekitar. Untuk meminimalkan terjadinya korupsi, maka pejabat publik harus diisi orang berintegritas. Dalam ilmu psikologi, orang itu sudah selesai atau cukup dengan dirinya sendiri. Di sisi lain, jika seseorang ingin memperkaya dirinya, jangan menjadi pejabat publik.
Barang dilelang
Barang-barang hasil korupsi yang disita atau dirampas KPK, setelah kasusnya berkekuatan hukum tetap, kemudian akan dilelang. Dari penelusuran pengumuman lelang barang rampasan KPK yang diadakan 11 Juli 2018 hingga 18 November 2020, sebagian besar aset yang dilelang berupa properti, seperti tanah, bangunan, apartemen, dan rumah susun. Di luar properti ada barang-barang tersier, seperti mobil, sepeda motor, perhiasan, jam tangan, tas, dan perangkat elektronik, misalnya telepon genggam.
Beberapa barang yang dilelang juga menggambarkan tren pada masanya. Bahkan, ada juga barang lelang berupa mainan satu set action figure dengan harga limit Rp 45 juta dan dua batu akik dengan harga limit Rp 58.000.
Di luar barang-barang tersebut ada dompet, jaket, miniatur mobil, bus, kain, perlengkapan kantor, dan logam mulia. Dalam rentang 2014 hingga 2020, KPK telah mengeksekusi barang rampasan, termasuk hibah, Rp 1,73 triliun (Kompas, 25/11/2020).
Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding menjelaskan, pengelolaan barang rampasan negara hasil dari penanganan korupsi dan TPPU di KPK dilakukan dengan dua cara.
Pertama, dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang. Kedua, jika tak laku lelang atau tak dilelang, barang rampasan dapat dihibahkan atau ditetapkan status penggunaannya.
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) akan menaksir barang rampasan. Hasil lelang disetor ke kas negara melalui DJKN dan dicatat sebagai penerimaan negara bukan pajak.
”Barang rampasan negara dihibahkan jika barang tersebut akan digunakan atau difungsikan untuk mendukung pelaksanaan tugas pemerintah daerah,” tutur Ipi.