Meminjam ke anggota keluarga masih menjadi pilihan pengusaha kecil ketimbang meminjam ke bank. Skema pinjaman super mikro pun dihadirkan untuk membantu mengembangkan usaha UMKM.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketika membutuhkan tambahan modal, pelaku usaha, khususnya mikro, masih enggan memilih perbankan sebagai lembaga pembiayaan. Mereka khawatir, takut, dan merasa ribet jika berurusan dengan bank. Stigma itu masih melekat di benak mereka.
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mencatat, per Oktober 2020, baru 11 persen dari total usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang memiliki akses kepada perbankan. Dengan jumlah UMKM yang lebih dari 64 juta unit, artinya baru sekitar 7 juta unit usaha yang terakses dengan bank.
Salmi Sufraini (43), pelaku usaha mikro Cangcomak (Kacang Cokelat Emak) di Jakarta Barat lebih memilih untuk meminjam modal usaha kepada anggota keluarga dibandingkan dengan ke bank. Pinjaman lunak tanpa bunga dan tanpa agunan menjadi nilai tambah ketika meminjam kepada keluarga.
”Kalau ke bank, kan, harus pakai syarat, jaminan, dan disurvei dulu untuk yang takutnya mentok karena gak bisa ajuin. Apalagi sekarang mindset (pemikiran) orang masih banyak yang berpikir meminjam ke bank itu kena riba,” ujar Salmi saat dihubungi Kompas, Minggu (29/11/2020).
Misalnya, kata Salmi, kalau mengajukan pinjaman sebesar Rp 20 juta dan dicicil selama tiga tahun, artinya butuh sekitar Rp 600.000 setiap bulan. Kondisi ini membuatnya takut tidak bisa membayar cicilan, terlebih apabila terkena denda.
Pemikiran serupa datang dari Pujiono (35), penjual es cincau di daerah Bogor. Meski sudah memiliki rekening bank, ia tetap enggan meminjam dari bank jika membutuhkan tambahan modal usaha.
”Rekening bank ini saya buat karena ada bantuan pemerintah, tapi kalau untuk meminjam uang dari bank, saya enggak berani. Lebih baik ke keluarga saja atau pakai modal yang ada,” kata Pujiono.
Lain halnya dengan Yani Mardiyanto (53), pelaku usaha kecil yang bergelut di bidang kain lukis dengan nama Nasrafa di Solo, Jawa Tengah. Setelah dua tahun usaha berjalan, pada tahun 2014, ia memberanikan untuk mengajukan kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp 20 juta.
Yani mengawali usaha dengan modal Rp 12 juta. Ia kemudian membangun relasi dengan masyarakat serta pemerintah untuk mengenalkan dan mempromosikan produknya selama dua tahun awal.
Gayung bersambut, permintaan atas produknya kian meningkat sehingga butuh modal usaha yang semakin besar untuk memenuhi produksi. Pembayaran cicilan ke bank pun lunas dalam waktu sekitar tiga tahun. ”Saya sudah kalkulasi, setelah ikut pameran kemudian banyak pesanan itu kira-kira butuh modal tambahan sekitar Rp 20 juta. Saya enggak mungkin minjam sebesar itu ke saudara karena pasti ada pertimbangan juga dari mereka. Jadi, saya pinjam ke bank,” kata Yani.
Disiplin diri, kata Yani, yang mendasari usahanya kini terus berkembang dengan aset sekitar Rp 3,5 miliar. Pencatatan laporan keuangan pun menjadi bagian penting untuk mengetahui arus kas hasil usaha.
”Kita harus disiplin dari awal, pembukuan sekecil apa pun harus kita catat. Misalnya dapat omzet Rp 10.000, kita catat, pajak juga harus tetap kita bayarkan,” ujarnya.
Dalam menjalankan usaha, Yani berpesan untuk menerapkan konsep UMKM terintegrasi. Mulai dari menjaga kualitas produk, kemasan, legalitas, kerja tim, pemasaran, hingga pembukuan yang rapi dan benar sehingga usaha mendapat kepercayaan dan semakin berkembang.
Pertimbangkan pinjaman
Konsultan keuangan Prita Hapsari Ghozie menyampaikan, sebelum mengajukan pinjaman, penting bagi pelaku UMKM menghitung jumlah kebutuhan dana sehingga pengembalian dapat dicapai. Perlu juga memahami perbedaan tingkat suku bunga dengan fasilitas tenor karena akan memengaruhi besaran cicilan yang harus dibayar.
”Tidak kalah penting bagi pelaku usaha untuk memahami proses persetujuan. Salah satunya, pembukuan laporan keuangan harus tercatat dengan rapi untuk memberikan gambaran bagi pemberi pinjaman terkait rekam jejak usaha,” kata Prita.
Sumber pembiayaan bisa berasal dari bank, lembaga non-bank, perusahaan teknologi finansial, gadai, serta pinjaman pribadi. Masing-masing sumber memiliki risiko dan fleksibilitas yang berbeda sehingga perlu untuk mengenali kebutuhan dana.
Pembiayaan bagi UMKM tentu bermanfaat untuk mengembangkan usaha. Selain menambah modal usaha, likuiditas dapat terjaga dan memberikan kemudahan untuk mengembangkan usaha. ”Penting juga disiplin untuk memisahkan modal usaha dengan uang untuk membiayai kebutuhan lain. Misalnya, jangan pakai agunan rumah tinggal untuk usaha agar bisnis bisa bertahan tanpa membuat jantungan sekeluarga,” kata Prita.
Sebelumnya, Pemimpin Wilayah Jakarta 2 PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Hendro Padmono mengatakan, sebagai upaya mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19, pemerintah menginisiasi produk pinjaman dengan konsep KUR Super Mikro. Penerima ditargetkan mencapai lebih dari 4,8 juta orang.
”Penerima diutamakan adalah pekerja terkena pemutusan hubungan kerja dan ibu rumah tangga yang melakukan usaha produktif dan belum pernah menerima KUR. Untuk maksimal pinjaman, kami batasi Rp 10 juta dengan bunga nol persen hingga Desember 2020 dan 6 persen setelah 31 Desember 2020,” kata Hendro.