Antisipasi Erupsi Gunung Ile Lewotolok di NTT Belum Optimal
›
Antisipasi Erupsi Gunung Ile...
Iklan
Antisipasi Erupsi Gunung Ile Lewotolok di NTT Belum Optimal
Koordinasi dan antisipasi menghadap erupsi Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur belum optimal. Erupsi pembuka, Jumat (27/11/2020) pukul 05.57 Wita mestinya ditindaklanjuti dengan kesiapsiagaan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
LEWOLEBA, KOMPAS - Koordinasi dan antisipasi menghadap erupsi Gunung Ile Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur belum optimal. Erupsi pembuka, Jumat (27/11/2020) pukul 05.57 Wita mestinya ditindaklanjuti dengan kesiapsiagaan Pemda, sebelum erupsi dasyat, Minggu (29/11/2020). Ribuan pengungsi tersebar di titik pengungsian keluhkan kebutuhan anak-anak dan perempuan serta alat pelindung diri.
Kepala Pos Pemantau Gunung Ile Lewotolok Stanis Arkian dihubungi di Lewoleba, Lembata, Senin (30/11/2020) mengatakan, status gunung Ile Lewotolok, Lembata, dari normal naik menjadi waspada pada 7 Oktober 2017 bersamaan dengan sejumlah aktivitas tektonik gunung itu. Status waspada itu belum dicabut sampai hari ini.
Saat itu rekomendasi kami ke Pemda agar masyarakat tidak melakukan aktivitas apa saja seperti pendakian gunung, wisata, berladang, dan lain-lain sejauh 2 km dari gunung. "Sepertinya rekomendasi itu seperti tidak dijalankan, terbukti dengan kegiatan wisata festival tiga gunung termasuk Ile Lewotolok Agustus 2019 oleh Pemda. Masyarakat pun tetap melakukan kegiatan seperti biasa di lereng gunung,”kata Arkian.
Bahkan sampai Jumat (27/11/2020) pukul 05.57 Wita terjadi erupsi pembuka. Itu sebagai pertanda untuk segera bersiap siaga. Erupsi pertama ini pun disampaikan ke grup WA Pos Pantau Ile Lewotolok. Kemudian terjadi erupsi lagi Sabtu (28/11/2020) tetapi masih seperti erupsi perdana.
Pemda Lembata menanggapi erupsi ini dengan kedatangan kepala BPBD Lembata dan anggota kepolisian ke kantor Pos Pantau untuk mendapatkan penjelasan. Pos Pantau Ile Lewotolok tetap mengingatkan agar bersiap-siap. Hanya Pos Pantau tidak menerbitkan status kewaspadaan kedua karena sudah ada status gunung itu, sejak 7 Oktober 2017.
Minggu (29/11/2020) pukul 09.00 Wita muncul tremor atau gempa tektonik enam kali. Tetapi petugas pos berasumsi, itu kejadian biasa. Ternyata, selang beberapa menit langsung terjadi erupsi dasyat. “Itu tidak bisa diprediksi, tetapi tanda-tanda awal mestinya sudah bisa diantisipasi,”katanya.
Minggu siang itu juga status gunung dinaikan dari waspada menjadi siaga, dengan radius yang harus dihindari 4 km dari kawah gunung.
Kepala Pelaksana BPBD Lembata Kanisius Making mengatakan, status waspada itu sejak 2017. Itu sangat lama bagi masyarakat untuk menunggu. Apalagi kondisi gunung Ile Lewotolok ini sering terjadi erupsi ringan, dan gempa tektonik sehingga masyarakat setempat menilai kejadian-kejadian itu hal biasa.
“Kami ikuti informasi dari Pos Pemantau Gunung Ile Lewotolok dan selalu mengingatkan masyarakat, tetapi masyarakat sendiri sering menilai aktivitas gunung seperti erupsi ringan, dan gempa dan lainnya, itu hal biasa," ujar Making. Untuk itu mereka tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Lagi pula, kejadian ini sulit diprediksi, kapan terjadi erupsi dasyat seperti hari Minggu kemarin,”kata Making.
Soal ketidaksiapan, itu tidak benar. Pemda telah mengimbau dan mengingatkan masyarakat. “Kesiapan evakuasi dan pembentukan Posko Pengungsi lebih awal, itu pernah dilakukan, tetapi itu tadi, soal menunggu kapan terjadi, sulit diprediksi,”katanya.
Kepala BPBD NTT Thomas Bangke miminta pemerintah agar status Pos Pemantau gunung-gunung di daratan Flores sampai Lembata, dinaikan status menjadi semacam UPT Gunung Api, minimal ada satu di Flores. Kejadian gunung api seperti erupsi dan lainnya di pulau itu, bisa ditangani langsung UPT Gunung Api itu.
Dengan kenaikan status ini maka fasilitas, sarana dan prasarana pemantauan gunung api pun jauh lebih memadai dibanding yang ada sekarang ini. Juga jumlah personil dan sumber daya manusi.
Frans Mitak (52) penjabat kepala desa Aulesa, Kecamatan Ile Ape Timur, Kabupaten Lembata mengatakan, ia membawa 500 warga desa Aulesa, 30 km, mengungsi di Kantor Bupati Lama, Lewoleba.
Terbatas
Kesulitan utama menurut Frans Mitak, adalah keterbatasan pampers bayi, pembalut perempuan, masker, sikat gigi, odol, sabun, handuk, alas tidur yang layak, selimut, dan pakaian dalam. Khusus handuk 4-5 orang pakai satu handuk bergantian, termasuk alas tidur pengungsi masih pakai terpal langsung dibentangkan di tanah. "Jadi sangat keras, tidak nyaman tidur, tanpa bantal, apalagi di bawah tenda darurat,”kataya.
Kondisi seperti ini sangat tidak nyaman bagi anak balita, remaja, dan lansia karena baru merasakan hal itu. Sebagian orangtua terpaksa mengeluarkan baju satu-satunya di badan malam hari untuk alas tidur anak-anak.
Setiap pengungsi hanya memiliki satu masker sejak dari desa sampai di lokasi pengungsian. Masker itu dicuci beberapa kali kemudian dipakai lagi. Mereka mengenakan masker, tetapi sulit menghindari kerumunan karena ruang pengungsian terbatas, beberapa keluarga menumpuk di satu tenda berukuran 4 x 6 meter persegi.
WC umum, dan kamar mandi pun berada sekitar 50 meter dari tenda penginapan sehingga anak-anak dan perempuan serta lansia tidak bebas ke tempat itu pada malam hari.
Kebanyakan pengungsi hanya membawa pakaian di badan saat melarikan diri karena panic dan ketakutan. Mereka hanya mengamankan dokumen penting sperti KTP, buku tabungan, ijazah, sertifikat tanah, surat baptis, surat perkawinan, kartu BPJS dan dokumen lain.
Sekretaris Daerah Lembata Paskalis Tapobali mengatakan, total penduduk di dua kecamatan, yakni Ile Ape Timur dan Ile Ape sebanyak 21.000 jiwa. Pengungsi di Lewoleba saat ini mencapai 4.628 jiwa pada Senin (30/11/2020) pukul 14.00 Wita.
Mereka tersebar di tujuh titik, yakni Kanto Bupati Lama sebanyak 3.672 jiwa, Kantor BKD PSDM sebanyak 338 jiwa, Tapolangu 287 jiwa, Aula Ankara 148 jiwa, Kelurahan Lewoleba Tengah 140 orang, Lapangan Harnus sebanyak 28, dan Desa Baopana 15 jiwa.
Pengungsi ini masih terus berdatangan karena masih ada ribuan warga yang tersebar di 26 desa di dua kecamatan itu. Mereka dipastikan akan mengungsi ke Lewoleba karena kondisi gunung Ile Lewotolok masih mengeluarkan larva pijar, bunyi gemuruh disertai abu vulkanik, batu dan kerikil.
Kebutuhan mendesak saat ini, yakni tenda pengungsian, air dan sanitasi, kebutuhan bayi dan balita, masker, susu cair, selimut, alas tidur, dan relawan untuk pendampingan anak-anak. Tidak tertutup peluang untuk bantuan beras, minyak goreng, telur, dan makanan siap saji.
Sejauh ini belum tersedia tempat pengungsian standar protocol kesehatan, pengungsi membutuhkan alat pelindung diri bagi petugas kesehatan atau pendamping pengungsi dan masker.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati dalam siaran pers mengingatkan warga di sekitar gunung tidak boleh melakukan aktivitas di dalam radius 4 km dari kawah puncak.
Masyarakat wajib menggunakan masker atau alat pelindung lain untuk melindungi mata dan kulit. Masker atau sejenisnya ini untuk menghindari dampak abu vulkanik yang mengakibatkan gangguan pernapasan akut atau gangguan kesehatan lain.
Abu vulkanik saat ini jatuh di beberapa sector di sekeliling gunung Ile Lewotolok. Masyarakat yang bermukim di sekitar aliran sungai –sungai yang berhulu di gunung ini agar waspada potensi ancaman bahaya lahar terutama di musim hujan.
Potensi ancaman saat ini, yakni lontaran batu atau lava pijar ke segala arah, hujan abu lebat, yang penyebarannya dipengaruhi arah dan kecepatan angin. Awan panas bakal menyembur ke arah bukaan kawah yang berada di sisi tenggara. Bahaya lain berupa longsoran material lapuk yang berada di kawah puncak kea rah tenggara maupun lahar di sungai-sungai yang berhulu dari gunung itu.