Mereka yang bisa mengoperasikan ponsel pintar belum tentu memiliki kemampuan literasi digital. Kondisi ini antara lain berpotensi membuat berita bohong mudah menyebar.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
Pada Sabtu (28/11/2020) malam di salah satu kafe di Setiabudi, Jakarta Selatan, sejumlah pekerja di perusahaan swasta bersua. Mereka semua lulusan perguruan tinggi. Sebagian dari mereka bergelar sarjana pendidikan. Salah satu tema obrolan waktu itu ialah pandemi Covid-19.
Seorang di antara mereka mengaku pernah menonton video yang menyatakan Covid-19 tak ada. Video itu, katanya, merupakan pendapat dari ikatan dokter sedunia. Ketika ditanya lebih lanjut, dia tidak ingat nama organisasi ikatan dokter sedunia itu. Dia pun tak yakin dengan muatan video tersebut, tetapi rasa penasaran tetap menggelayut.
Selain penasaran, ia juga pernah mendengar informasi tentang dugaan oknum rumah sakit yang memalsukan hasil tes pasien. Pendapat yang menyatakan Covid-19 adalah skenario elite global, lanjutnya, selalu menjadi perbincangan seru tatkala berkumpul di akhir pekan.
Cuplikan kejadian di kafe itu menggambarkan bahwa literasi digital menjadi problem seluruh lapisan mulai dari masyarakat dengan pendidikan rendah hingga kaum terdidik sekalipun. Literasi digital bukan sekadar tahu internet dan pintar memainkan gawai. Lebih dari itu, literasi digital mensyaratkan kemampuan verifikasi data dan selalu mengonfirmasi ulang informasi yang beredar.
Di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, salah satu guru SD, Darmalis (55), sering menerima pesan Whatsapp berupa video ilustrasi tentang kehidupan seseorang pasca-meninggal. Karena meyakini video tersebut akan membuat orang lebih beriman, Lis meneruskan konten tersebut kepada anaknya.
”Anak saya sering protes. Untuk apa menyebarkan pesan yang tak jelas sumbernya. Tetapi, setelah saya tonton, itu, kan, supaya kita hidup lebih taat di dunia,” ujar Lis.
Direktur Utama PT Duta Digital Informatika Arya Sanjaya dalam diskusi bertajuk ”Pintek Edutalk #YangPentingBelajar: Tingkatkan Literasi Digital bagi Pendidikan 4.0”, Senin (30/11/2020), menjelaskan, kemampuan orang Indonesia dalam menggunakan teknologi cukup tinggi. Akan tetapi, hal yang perlu diperhatikan ialah literasi informasi dan data.
”Terkait dengan literasi digital, orang Indonesia terbiasa meneruskan sebuah pesan tanpa mengetahui sumbernya. Hal ini harus diperbaiki ke depan dalam sistem pendidikan kita,” ujarnya.
Pendapat Arya berlandaskan pada hasil Survei Literasi Digital Nasional 2020 yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Survei itu dilakukan 18-31 Agustus 2020 dan menyasar 1.670 responden yang tersebar di 34 provinsi.
Sebanyak 15,3 persen responden menjawab tidak setuju dengan penyataan, ”Saya terbiasa mencari tahu apakah informasi yang saya temukan benar atau salah”. Sebanyak 24 persen responden menjawab tidak setuju dengan pernyataan, ”Saya terbiasa mencari tahu siapa penulis informasi untuk mengetahui rekam jejak atau kredibilitas penulisnya”.
Survei juga mengungkap mayoritas responden memahami penggunaan teknologi. Mereka bisa menghubungkan perangkat ke jaringan Wi-Fi (57,3 persen setuju), mengunduh aplikasi dari internet (57,4 persen setuju), dan mampu memasang perangkat di aplikasi (49,1 persen setuju).
”Orang kita bisa pakai teknologi, tetapi masih kurang memahami informasi dan literasi data yang bisa diakses oleh teknologi,” tambahnya.
Kondisi ini membuat berita bohong menjadi mudah menyebar dan berpotensi diterima begitu saja oleh mereka yang juga belum melek literasi digital.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan untuk mengakses, mengatur, mengerti, kemudian mengintegrasikan, mengomunikasikan, mengevaluasi, serta membuat informasi secara aman dan wajar dengan teknologi digital.
Ada lima kompetensi yang harus dipenuhi, yakni literasi terhadap informasi dan data, komunikasi dan kerja sama, membuat konten digital, pengamanan data, dan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Orang kita bisa pakai teknologi, tetapi masih kurang memahami informasi dan literasi data yang bisa diakses oleh teknologi. (Arya Sanjaya)
Menurut Ahli Utama Pengembang Teknologi Pembelajaran Pusat Data dan Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Gogot Suharwoto, sektor pendidikan paling getol membicarakan digitalisasi. Tetapi, faktanya, penggunaan teknologi digital di sektor pendidikan masih sangat rendah. Ini yang membuat sejumlah sekolah keteteran ketika menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Oleh sebab itu, dia melanjutkan, kompetensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) guru harus ditingkatkan. Kompetensi TIK berkaitan dengan penguasaan teknologi dan membuat konten digital dari mata pelajaran yang diajarkan. Dalam tiga tahun terakhir, katanya, pemerintah sudah melatih 100.000 guru. Modul pelatihan bisa diakses guru yang ingin belajar secara mandiri.
Atasi kesulitan dana
Sebagai perusahaan finansial, Pintek siap membantu sekolah ataupun orangtua yang kesulitan dana. Berdasarkan riset Pintek tahun 2020, sekolah kesulitan mengakses dana karena dana bantuan operasional sekolah (BOS) dicairkan secara bertahap. Selain itu, pandemi Covid-19 membuat kemampuan bayar orangtua di sekolah swasta menurun 30-50 persen. Direktur Utama Pintek Tommy Yuwono menyatakan siap memfasilitasi kredit sekolah-sekolah yang ingin memperkuat infrastruktur digital.
Untuk sekolah, Pintek menyediakan pinjaman modal kerja dengan besaran Rp 50 juta hingga Rp 1 miliar. Ada juga pinjaman maksimal Rp 300 juta bagi orangtua untuk keperluan sekolah anak, seperti bayar uang pangkal, uang semester, dan uang wisuda.