Bisnis di ASEAN Diharapkan Pulih Mulai April Tahun Depan
›
Bisnis di ASEAN Diharapkan...
Iklan
Bisnis di ASEAN Diharapkan Pulih Mulai April Tahun Depan
AmCham dan ERIA mengadakan survei cepat pada April 2020 untuk memahami kebutuhan perusahaan AS yang terus berkembang di Indonesia. Lima bulan kemudian, kedua institusi bergabung lagi untuk menerapkan survei serupa.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku bisnis asal luar Asia Tenggara mengharapkan bisnis mereka di Asia Tenggara akan mulai pulih dan hidup dalam fase kenormalan baru pasca-Covid-19 pada triwulan II-2021. Perubahan suasana bisnis, kebutuhan adaptasi oleh para tenaga kerja, hingga kemungkinan modifikasi, dan bahkan perubahan arus rantai pasokan tengah diantisipasi oleh mereka. Pemerintah negara-negara di Asia Tenggara diharapkan telah menyiapkan rencana sekaligus merespons kemungkinan perubahan itu secepat mungkin.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran hasil survei bertajuk ”Efek Covid-19 bagi Pebisnis Asing di Wilayah ASEAN” yang digelar secara virtual di Jakarta, Senin (30/11/2020). Acara itu digelar oleh lembaga Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) bekerja sama dengan Kamar Dagang Amerika Serikat di Indonesia (AmCham). Kedua lembaga itu juga bertindak sebagai penyelenggara survei. Tampil sejumlah pembicara menanggapi hasil survei itu. ”Survei ini menggambarkan suara pebisnis di seluruh ASEAN mengenai dampak pandemi pada usaha mereka dan bagaimana mereka berencana untuk mengelola usaha serta investasi mereka saat-saat ini dan dalam waktu dekat,” kata Direktur Operasional ERIA Koji Hachiyama.
AmCham dan ERIA mengadakan survei cepat pada April 2020 untuk memahami kebutuhan perusahaan AS yang terus berkembang di Indonesia. Lima bulan kemudian, kedua institusi bergabung lagi untuk menerapkan survei serupa. Tujuan survei kedua adalah menyelidiki lebih mendalam tentang bagaimana perusahaan asing di ASEAN menanggapi Covid-19 dan rencana apa yang mereka lakukan selanjutnya. Sebanyak 24 kamar dagang dan industri serta organisasi bisnis yang mewakili perusahaan asing dilibatkan dalam survei itu. Sebanyak 264 perusahaan yang beroperasi di ASEAN menjawab 26 pertanyaan tentang dampak Covid-19 pada operasi bisnis mereka.
Dari survei itu tergambar bahwa hampir semua perusahaan mengalami dampak negatif akibat pandemi Covid-19. Dampak itu, antara lain, hasil perusahaan, pendapatan, dan atau penjualan di semua negara di Asia Tenggara tempat mereka beroperasi. Sebanyak 75 persen perusahaan yang disurvei mengaku mengalami penurunan signifikan atas pendapatan atau penjualan mereka. Sebanyak 72 persen juga mengalami gangguan terkait proses rantai pasokan seiring dengan pembatasan perjalanan selama pandemi.
Inovasi tertentu, seperti peningkatan konferensi video dan sistem bekerja dari rumah, diperkirakan akan menjadi permanen sifatnya pada kondisi kenormalan baru kelak.
Sektor produk olahan dan daging terpukul paling parah. Pelaku usaha di sektor elektronik dan perawatan kesehatan juga mengaku terdampak. Sementara perusahaan di sektor perdagangan dan logistik adalah pihak yang paling sedikit terkena dampak negatif. Sebanyak 28 persen dari perusahaan jenis sektor perdagangan dan logistik bahkan mengaku merasakan tren positif.
Sebagian besar perusahaan memperkirakan, sekaligus mengantisipasi, aktivitas bisnis mereka akan stabil dalam kondisi kenormalan baru pada April 2021 dan atau setelahnya. Sebanyak 51 persen perusahaan yang disurvei berpendapat kondisi bisnis akan lebih baik dalam 2 tahun, 42 persen berpendapat akan sama, dan 7 persen berpendapat kondisinya akan lebih buruk. Inovasi tertentu, seperti peningkatan konferensi video dan sistem bekerja dari rumah, diperkirakan akan menjadi permanen sifatnya pada kondisi kenormalan baru kelak.
Ketergantungan pada China
Satu pelajaran potensial yang dipelajari dari pandemi, menurut hasil survei itu, adalah perusahaan-perusahaan asing itu kemungkinan ingin mengurangi ketergantungan mereka yang berlebihan terhadap China. Itu artinya mereka membuka diri untuk memperluas rantai nilai pasokan mereka di negara-negara lain selain China. Strategi umumnya atas hal itu dikenal sebagai China Plus Two or Three (ERIA 2020).
Pandemi juga mendorong adopsi yang lebih cepat teknologi baru pada perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara. Sebanyak 46 persen responden sedang merencanakan untuk membuat investasi baru terkait teknologi. Dari mereka, sebanyak 64 persen menyatakan bahwa keputusan ini dipengaruhi oleh Covid-19. Hal itu mendukung gagasan bahwa krisis mengarah untuk adopsi teknologi yang lebih maju.
Ekonomi Senior ERIA, Dionisius A Narjoko, mengatakan, pengembangan teknologi penting untuk mendukung dan memastikan perbaikan yang lebih berkelanjutan bagi perusahaan. Ia pun menilai aneka perubahan dan rencana perubahan itu patut diantisipasi pemerintah. Kesiapan pemerintah akan memastikan investasi langsung asing yang masuk pascapandemi dapat lebih optimal sifatnya bagi ekonomi riil di masyarakat.