Di Sultra, Setiap Hari 1,5 Orang Meninggal akibat Covid-19 Sepekan Terakhir
›
Di Sultra, Setiap Hari 1,5...
Iklan
Di Sultra, Setiap Hari 1,5 Orang Meninggal akibat Covid-19 Sepekan Terakhir
Selama satu pekan terakhir, korban jiwa akibat Covid-19 di Sultra sebanyak 12 orang atau 1,5 orang per hari. Terakhir, Minggu (29/11/2020), Kadis Tanaman Pangan dan Peternakan Sultra Budianti Kadiraa menjadi korban.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Korban jiwa akibat terpapar Covid-19 di Sulawesi Tenggara terus bertambah. Selama satu pekan terakhir, sebanyak 12 orang meninggal, mulai dari masyarakat, dokter, hingga pejabat di lingkup pemerintahan. Tes spesimen masif dan pengadaan alat sudah begitu mendesak.
Hingga Minggu (29/11/2020) sore, berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sultra, jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dalam sepekan terakhir mencapai 12 orang. Jika dirata-rata, jumlah ini sebanyak 1,5 orang per hari dalam delapan hari terakhir.
Pasien-pasien yang meninggal ini berusia di antara 27 tahun hingga di atas 65 tahun. Sebagian dari mereka diketahui tidak memiliki penyakit penyerta. Jumlah ini juga belum termasuk pasien yang meninggal pada Minggu sore hingga malam yang belum masuk ke data tabulasi nasional.
Pada Minggu malam, korban jiwa bertambah, yaitu Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan (Distanak) Sultra Budianti Kadidaa. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Sultra, La Ode Rabiul Awal, menyampaikan, Budianti Kadiraa dirawat di RS Bahteramas Kendari sejak satu bulan lalu. Sebelumnya, pasien dirawat di rumah sakit lain karena positif Covid-19.
”Karena perlu penanganan khusus, maka dirujuk ke RS Bahteramas. Di sini sbeberapa lama memakai ventilator karena sesak. Namun, seminggu terakhir sudah membaik dan tidak lagi memakai ventilator. Kemarin malam infonya juga masih bercakap, sebelum kondisinya terus turun hingga meninggal,” kata Rabiul, di Kendari, Senin (30/11/2020).
Berdasarkan penelusuran awal, tutur Rabiul, pasien diketahui tidak memiliki penyakit penyerta (komorbid) hingga meninggal. Meski demikian, kondisi kesehatan pasien fluktuatif dengan keluhan sesak dan pneumonia. Selang beberapa hari sebelumnya, dua dokter muda meninggal di rumah sakit yang sama, juga diketahui tanpa penyakit penyerta.
Bertambahnya jumlah pasien meninggal, tutur Rabiul, memang mengalami lonjakan sekitar satu pekan terakhir. Sejumlah korban jiwa ini diketahui tidak memiliki penyakit penyerta, tetapi kondisinya terus turun hingga tidak bisa diselamatkan.
”Bisa saja kondisi klinisnya itu karena virus telah lama bersarang dalam tubuh dengan jumlah yang banyak. Meski awalnya tanpa gejala, kalau sudah begitu banyak, tubuh akan kalah jika tidak ditangani segera. Karena itu, tidak ada lain selain upaya pencegahan dan pemeriksaan dengan segera,” tuturnya.
Meski demikian, Rabiul menambahkan, masyarakat yang sudah begitu lama menjalani pendami, sering kali tidak menghiraukan arahan protokol kesehatan. Pemakaian masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun tidak lagi diperhatikan. Hal ini berlaku, baik di masyarakat, pejabat pemerintah, maupun tenaga kesehatan.
Bisa saja kondisi klinisnya itu karena virus telah lama bersarang dalam tubuh dengan jumlah yang banyak. Meski awalnya tanpa gejala, kalau sudah begitu banyak, tubuh akan kalah jika tidak ditangani segera. (La Ode Rabiul Awal)
Selain itu, lanjutnya, penelusuran kasus dan tes secara kontinu harus terus dilakukan. Semua kabupaten/kota sebaiknya memiliki alat tes spesimen sendiri sehingga mampu melakukan penelusuran lebih dini.
Di Sultra yang memiliki 17 kota/kabupaten, mesin tes spesimen berbasis reaksi berantai polimerase (PCR) dan tes cepat molekuler (TCM) hanya ada di lima wilayah, yaitu Kendari, Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, dan Baubau. Sebagian besar daerah masih mengirim spesimen ke RS Bahteramas, Kendari, sebagai pusat rujukan provinsi.
Meski demikian, alat di rumah sakit ini juga sering terkendala. Beberapa waktu lalu, alat PCR di RS Bahteramas rusak selama lebih dari satu bulan sehingga semua spesimen dari daerah yang tidak memiliki alat dikirim ke Makassar, Sulsel.
Sementara itu, hingga Minggu sore, total korban meninggal di Sultra sebanyak 106 orang. Angka case fatality rate (CFR) 1,4 persen dari total pasien positif 6.501 orang. Sebanyak 1.085 orang masih dirawat dan 5.310 orang telah dinyatakan sembuh.
La Ode Mohammad Sety, epidemiolog Universitas Halu Oleo (UHO), menjabarkan, tes masif menjadi alat ukur satu-satunya untuk memutus penyebaran kasus di masyarakat. Tes juga berfungsi untuk melihat sebaran kasus agar bisa mengambil langkah penanganan dengan sesegera mungkin.
”Namun, kalau tidak ada tes masif dan hanya mengandalkan tes rapid yang tingkat akurasinya minim, virus akan sulit dilacak. Kondisi sekarang banyak yang meninggal karena virus bisa saja telah lama ada dalam tubuh, tetapi tidak terdeteksi,” ucap Sety.
Kondisi ini diperparah dengan abainya masyarakat hingga pemerintah terhadap penegakan disiplin dalam protokol kesehatan. Akibatnya, banyak orang yang terpapar virus dan tidak sadar telah positif Covid-19.
Menurut Sety, orang tanpa gejala dan tidak mengetahui dirinya positif Covid-19 bertemu dengan banyak orang di lingkungannya. ”Bisa saja orang yang baru bertemu itu memiliki kondisi tubuh yang lebih rentan sehingga saat terpapar akan segera muncul pengaruh virusnya. Atau bertahan lama, tapi ketika sakit akan sulit untuk dilakukan penanganan,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kontrol ketat pemerintah, kesadaran dari semua lapisan, dan dukungan fasilitas menjadi faktor penting dalam mencegah penyebaran luas dalam pandemi ini. Menjaga semua hal tersebut, membuat virus tidak meluas, dan mencegah jatuhnya korban jiwa baru akibat Covid-19.