Perjalanan Indonesia untuk terbebas dari malaria masih panjang. Penanggulangan penyakit tersebut kini menghadapi tantangan makin berat di tengah situasi pandemi Covid-19.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Fokus dunia yang beralih ke penanganan pandemi Covid-19 membuat berbagai program penanggulangan penyakit menular dan tidak menular menjadi terhambat. Itu tidak terkecuali pada penanganan penyakit malaria. Padahal, ancaman dari penyakit infeksi akibat gigitan nyamuk Anopheles ini masih nyata terjadi di dunia, termasuk di Indonesia.
Upaya penanggulangan malaria sebenarnya berlangsung sejak lama. Dimulai sekitar 1990, dunia mulai bergerak untuk merespon kasus malaria. Dari Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diperkirakan setidaknya ada 1,5 miliar kasus dan 7,6 juta kematian berhasil dicegah.
Sebanyak 21 negara dinyatakan dapat mengeliminasi malaria dengan nol kasus tiga tahun berturut-turut. Sepuluh negara lain juga mengantongi sertifikat bebas malaria dari WHO. Sementara China dan El Savador telah mengajukan permintaan resmi kepada WHO untuk memperoleh sertifikasi bebas malaria. Sayangnya, Indonesia belum termasuk di antara negara-negara tersebut.
“Meskipun ada kemajuan luar biasa sejak 20 tahun lalu, angka global dalam memerangi malaria mendatar dalam lima tahun terakhir. Kondisi ini perlu diantisipasi dan segera ditangani,” kata Direktur Program Global Malaria WHO Pedro L Alonso ketika menyampaikan pokok bahasan dari Laporan Malaria Global 2020 yang diikuti dari Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Meski upaya pengentasan malaria jauh lebih baik dari 20 tahun yang lalu, lima tahun terakhir, tren penurunan kasus cenderung lambat. Data dari Program Global Malaria WHO menunjukkan, terjadi penurunan kasus malaria 29 persen dari tahun 2000 ke 2019. Namun, pada 2015-2019 hanya ada penurunan kurang dari 2 persen.
Pada 2000 tercatat, kasus malaria di tingkat global 80,0 kasus per 1.000 penduduk. Sementara pada 2015 tercatat 57,5 persen per 1.000 penduduk dan pada 2019 menjadi 56,8 per 1.000 penduduk. Dari seluruh kasus yang tercatat di tingkat global, sebesar 94 persen kasus ditemukan di kawasan Afrika.
Meskipun ada kemajuan luar biasa sejak 20 tahun lalu, angka global dalam memerangi malaria mendatar dalam lima tahun terakhir.
Malaria merupakan penyakit infeksi ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit Plasmodium sp. Biasanya, orang yang terinfeksi mengalami sejumlah gejala, seperti demam, mual dan muntah, menggigil, berkeringat, lelah, serta sakit kepala. Pada kasus yang sudah parah, dan kulit pasien kekuningan.
Pedro mengungkapkan, dukungan pendanaan yang tidak mencukupi di tingkat internasional dan domestik di tiap negara menjadi ancama bagi penanggulangan masalah malaria di masyarakat. Lebih buruk lagi, pandemi Covid-19 menjadi tantangan serius terhadap respons malaria di seluruh dunia.
“Pemanfaatan secara efektif pada sumber daya yang terbatas sangat penting untuk mengatasi malaria terhadap dampak Covid-19. Penanggulangan lebih baik juga bisa dipercepat dengan meningkatkan kepemimpinan politik, sistem pengawasan, dan memastikan kesetaraan akses layanan kesehatan berkualitas,” ujarnya.
Direktur Regional WHO untuk Afrika Matshidiso Moeti menuturkan, ada dua tantangan dihadapi dalam penanggulangan malaria di kawasan Afrika, yakni terkait akses layanan kesehatan tak memadai dan pendanaan minim. Situasi pandemi Covid-19 memperberat tantangan tersebut.
Data WHO menunjukkan, jumlah kasus malaria di Afrika rata-rata mencapai lebih dari 200 juta orang per tahun. Jumlah itu sangat besar jika dibandingkan dengan kasus di Asia Tenggara yang tercatat sebanyak 7,9 juta kasus per tahun.
Beban itu bertambah dengan adanya pandemi Covid-19. Hingga 29 April 2020, ada 52 negara di Benua Afrika terjangkit Covid-19 dengan 23.105 kasus positif serta 916 kematian. Sementara jumlah pasien positif Covid-19 di enam negara pandemi malaria Afrika lebih dari 4.000 orang atau sekitar 18 persen dari total kasus di Afrika (Kompas, 5/5/2020).
“Kami harap solidaritas internasional untuk mendukung penanganan malaria di Afrika tetap bisa berjalan. Aksi kolektif dari setiap negara sangat berarti untuk memperkuat pelayanan kesehatan di Afrika,” kata Matshidiso.
Kondisi Indonesia
Kasus malaria juga masih menjadi beban bagi Indonesia. Setidaknya masih ada 208 kabupaten/kota yang belum terbebas dari malaria atau sekitar 21 persen penduduk masih hidup di tengah ancaman malaria.
Dari data Kementerian Kesehatan, angka Annual Parasite Incidence (API) yang digunakan untuk menentukan angka kesakitan malaria di satu daerah per 1.000 penduduk setahun menunjukkan ada penurunan. Meski begitu, serupa dengan kondisi global, penurunan kasus lima tahun terakhir lambat, bahkan stagnan.
Pada 2010, angka API tercatat 1,96 dan menurun menjadi 0,99 pada 2014. Namun, setelah 2014 angka ini tidak menurun secara signifikan hanya mencapai 0,93 pada 2019. Pada 2014 tercatat jumlah kasus malaria 252.027 kasus dan pada 2019 sebanyak 250.644 kasus.
“Kondisi ini kami sebut sebagai kondisi stagnan. Karena itu perlu ada upaya pendekatan baru lebih agresif agar angka kasus malaria bisa diturunkan lebih signifikan,” kata Direktur Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kementerian Kesehatan Didik Budijanto yang dihubungi Kamis (26/11).
Salah satu upaya yang digagas Kementerian Kesehatan saat ini yakni melalui pendekatan sosio-antropologi. Pendekatan ini terutama untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pengendalian nyamuk Anopheles yang menjadi vektor malaria.
Dengan memasifkan pendekatan sosio-antropologi, upaya pengendalian di tiap daerah akan berbeda-beda tergantung kearifan lokal yang diyakini. Sumber daya manusia di bidang sosiologi dan antropologi yang berada di setiap daerah akan diberdayakan untuk menggencarkan upaya tersebut.
“Harapannya dengan pendekatan ini sense of belongings dari masyarakat untuk sadar melindungi diri dan masyarakat sekitar dari ancaman malaria bisa meningkat. Menuntaskan malaria butuh kerja bersama yang dilakukan dengan kesadaran yang penuh,” ujar Didik.
Ia menambahkan, upaya pengendalian malaria ini tetap berjalan sekalipun sedang terjadi pandemi Covid-19. Ini dilakukan dengan tetap menjalankan protokol kesehatan secara ketat. Upaya pengendalian ini terutama dilakukan di daerah endemis tinggi malaria yang juga terdampak Covid-19.
Dari 208 kabupaten/kota yang belum bebas dari malaria, sebanyak 23 kabupaten/kota masuk dalam zona endemis tinggi malaria. Dari daerah ini sebanyak 18 kabupaten/kota diantaranya terdampak Covid-19. “Beban ganda terkait kesehatan masyarakat ini harus diantisipasi secara optimal,” kata Didik.