Tim peneliti dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian mengembangkan inovasi teknologi berupa pembuatan gula dengan bahan baku nontebu. Inovasi ini diharapkan menjadi alternatif bahan baku gula.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Kebutuhan gula terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk serta peningkatan industri makanan dan minuman. Namun, saat ini produksi gula di Indonesia mayoritas masih memanfaatkan bahan dari tebu. Pengembangan gula dari bahan nontebu seperti ubi kayu atau singkong dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Sejauh ini, gula menjadi komoditas terpenting kedua setelah beras di Indonesia. Organisasi Gula Internasional (ISO) menyebut, permintaan gula Indonesia rata-rata mengalami kenaikan 4 persen per tahun untuk memenuhi kebutuhan sekitar 260 juta penduduk. Peningkatan permintaan ini tidak terlepas dari tumbuhnya industri makanan dan minuman serta industri farmasi yang membutuhkan gula sebagai bahan baku.
Pada kondisi pandemi saat ini, kebutuhan gula dalam negeri juga tak menurun. Bahkan, Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) mencatat, kebutuhan gula rafinasi pada 2020 meningkat sekitar 8 persen dibandingkan tahun 2019. Gula kristal rafinasi yang diproduksi anggota AGRI sebanyak 90 persen didistribusikan untuk industri makanan dan minuman, industri farmasi 2 persen, industri horeka 3 persen, industri tembakau 3 persen, dan industri lainnya 2 persen.
Meski demikian, sampai saat ini produksi gula jauh lebih kecil dari kebutuhan nasional. Menurut data Kementerian Perindustrian, kebutuhan gula dalam negeri per tahun 5,8 juta ton, terdiri dari 2,8 juta ton gula konsumsi dan 3 juta ton gula industri. Namun, produksi gula nasional baru mencapai 2,1 juta ton sehingga mengakibatkan defisit gula dalam negeri.
Salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan produksi ini yakni dengan memanfaatkan sumber gula dari bahan nontebu. Upaya ini telah dilakukan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen), Badan Litbang Pertanian, dan Kementerian Pertanian. Peneliti BB Pascapanen sejak 2005 telah mengembangkan produksi gula cair dari singkong.
Peneliti BB Pascapanen Agus Budiyanto, menjelaskan, bahan-bahan yang bisa dimanfaatkan untuk memproduksi gula antara lain tebu, sorgum manis, kelapa, aren dan nipah yang diambil dari niranya. Adapun sumber gula lainnya juga dapat berasal dari bahan yang mengandung pati atau amilum seperti sagu, ubi jalar, jagung, kentang, sorgum, dan ubi kayu atau singkong.
Pati merupakan bahan utama yang dihasilkan tumbuhan untuk menyimpan kelebihan glukosa dalam jangka panjang. Pada dasarnya, semua tanaman yang mengandung pati dapat dijadikan sumber gula. Akan tetapi, tanaman berpati lebih populer untuk diolah menjadi makanan pokok masyarakat sehari-hari dibandingkan gula.
“BB Pascapanen memilih untuk mengembangkan gula cair dari singkong karena komoditas ini relatif mudah ditanam dan memiliki potensi ekonomi sudah jelas di Indonesia. Selain singkong, pengembangan sagu sebenarnya juga sudah mulai bergeliat,” ujarnya, di Bogor, Sabtu (28/11/2020).
Proses pembuatan
Agus menjelaskan, pembuatan gula cair dari singkong sedikit berbeda dengan tebu atau sorgum yang memiliki nira atau cairan manis. Pembuatan gula cair dari singkong membutuhkan proses kompleks mulai dari pemanasan, likuifikasi, sakarifikasi, penyaringan, hingga evaporasi atau penguapan.
BB Pascapanen memilih untuk mengembangkan gula cair dari singkong karena komoditas ini relatif mudah ditanam dan memiliki potensi ekonomi sudah jelas di Indonesia.
Proses likuifikasi merupakan pencairan gel pati dengan memakai enzim alfa amilase yang menghidrolisis pati menjadi molekul-molekul lebih sederhana dari oligosakarida atau dekstrin. Sementara proses sakarifikasi merupakan pemecahan senyawa-senyawa gula hasil likuifikasi oleh enzim glukoamilase menjadi senyawa glukosa.
Sebelum dilakukan proses likuifikasi, pati dari singkong dicampurkan dengan air. Pencampuran ini bisa dilakukan dengan takaran satu banding tiga atau 1 kilogram pati singkong dicampur dengan 3 liter air. Kemudian campuran diaduk secara merata hingga tidak ada gumpalan.
Selanjutnya, likuifikasi baru dapat dilakukan melalui pemanasan pada suhu 100 derajat celsius dan mencampurkan enzim alfa amilase. Pencampuran ini harus dengan perbandingan yakni 1 mililiter (ml) enzim alfa amilase untuk 1 kilogram (kg) pati. Kemudian, campuran itu kembali diaduk secara merata agar pati tidak menggumpal seperti lem.
Proses selanjutnya yakni sakarifikasi dengan cara mendinginkan campuran itu dari suhu 100 derajat celsius menjadi 60 derajat celsius. Selama proses pendinginan juga dilakukan pencampuran enzim amiloglukosidase dengan perbandingan 1 mililiter enzim untuk 1 kilogram pati. Cairan lalu diaduk selama 5-10 menit dan didiamkan minimal selama 24 jam.
Setelah proses sakarifikasi, cairan ditambah dengan arang aktif 0,5 persen dan dipanaskan pada suhu 100 derajat celsius selama lima menit. Cairan selanjutnya disaring dengan kain yang rapat dan tebal. Penyaringan ini akan menghasilkan gula cair dengan total padatan terlarut sekitar 20-25 derajat brix (unit pengukur kemanisan gula di dalam cairan).
Agus menekankan, tingkat kemanisan gula cair dari singkong jauh berbeda dengan gula dari tebu. Sebab, pati singkong dengan nira tebu memiliki komponen kimia berbeda. Agar tingkat kemanisan gula cair singkong menyerupai bahan dari tebu, proses evaporasi dilakukan. Melalui cara ini, gula cair dari singkong dapat mencapai kadar kemanisan 65-70 derajat brix.
“Gula cair ini bisa dimanfaatkan untuk produk-produk yang tidak mengenal warna seperti kopi, teh, atau kecap. Namun tingkat kemanisannya akan berbeda dengan sukrosa sehingga jangan dibandingkan gula cair singkong dengan tebu karena singkong biasanya memang diolah untuk makanan,” katanya.
Industri menengah
Proses pembuatan gula cair singkong itu dapat dilakukan industri rumah tangga. Namun, gula cair singkong ini juga dapat diproduksi pada industri kecil dan menengah atau skala industri yang lebih besar lainnya.
Akan tetapi, pembuatan gula cair singkong untuk industri menengah dengan hasil puluhan liter perlu melalui proses penyaringan sedikit berbeda dengan industri rumah tangga. Pembuatan skala besar perlu penyaringan dengan menambahkan bahan kimia yakni anion dan kation untuk menyerap ion negatif dan positif agar gula cair yang dihasilkan lebih jernih.
Kepala BB Pascapanen Prayudi Samsuri mengatakan, dalam mengembangkan suatu inovasi teknologi, BB Pascapanen melihat pohon industri atau produk turunan dari singkong dan komoditas pertanian lainnya. Sebab, hanya 20 persen dari tanaman singkong dapat dimanfaatkan. Pengembangan dengan melihat pohon industri ini diharapkan memberi nilai tambah suatu komoditas.
Kepala Balitbangtan Fadjry Djufry menambahkan, singkong atau ubi kayu merupakan komoditas pangan bernilai ekonomi tinggi seiring tingginya permintaan terhadap tapioka. “Selain padi, jagung, dan kedelai, ke depan ubi kayu bisa menjadi komoditas strategis nasional,” ujarnya.