Manuskrip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Akan Ditetapkan Menjadi Cagar Budaya
›
Manuskrip Kitab Undang-Undang ...
Iklan
Manuskrip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Akan Ditetapkan Menjadi Cagar Budaya
Pemerintah berencana menetapkan manuskrip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah sebagai cagar budaya. Penelitian filolog Uli Kozok selama kurun waktu 1999-2002 menunjukkan, naskah kuno itu ditulis pada abad ke-14 dan ke-15.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Manuskrip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah akan ditetapkan menjadi cagar budaya. Selain pelestarian, penetapan itu bertujuan sebagai langkah awal pemajuan kebudayaan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Fitra Arda, Minggu (29/11/2020), di Jakarta, mengatakan, rencana penetapan manuskrip Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (KUUT) sebenarnya telah digaungkan sejak 2019. Bahkan, KUUT telah masuk ke dalam daftar target 96 obyek kebudayaan yang ditetapkan sebagai cagar budaya pada tahun 2020.
Saat ini, manuskrip KUTT disimpan masyarakat adat di Kerinci, Jambi. Naskah kuno itu disakralkan para depati serta hanya dibuka dan diperlihatkan kepada umum melalui upacara adat khusus setiap dua tahun sekali. Fitra menceritakan, pihaknya berupaya menggunakan pendekatan kebudayaan kepada masyarakat adat yang menyimpan naskah kuno itu agar diperbolehkan untuk melakukan konservasi fisik dan penetapan sebagai cagar budaya.
Dia mengatakan, upaya pendekatan itu terkendala kondisi pandemi Covid-19 sehingga rencananya akan dilakukan kembali pada tahun 2021. Pada tahun itu juga kemungkinan masyarakat adat menggelar upacara adat untuk memperlihatkan manuskrip KUTT kepada khalayak umum.
Manuskrip KUTT ditemukan pertama kali pada 1941 oleh seorang pegawai negeri sipil Hindia Belanda atau ambtenaar Petrus Voorhoeve. Dia lalu melaporkan temuannya itu, yang seluruhnya ada 256 naskah, beserta artefak lain dari Kerinci, ke KITLV Leiden dan BGKW Batavia (pendahulu Perpustakaan Nasional dan Museum Nasional).
Kemudian, tahun 1999-2002, filolog asal Jerman, Uli Kozok, menemukan kembali naskah KUTT di Tanjung Tanah, Mendapo Seleman, terletak sekitar 15 kilometer dari Sungai Penuh, Kerinci. Manuskrip itu sejatinya masih disimpan masyarakat adat setempat persis seperti dahulu diceritakan Voorhoeve. Kozok bersama peneliti dari Universitas Indonesia melakukan penelitian tersebut, lalu dia mendokumentasikannya dalam buku Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah Naskah Melayu yang Tertua atau edisi bahasa Inggris The Tanjung Tanah Code of Law: The Oldest Extant Malay Manuscript.
Mengutip artikel Undang-Undang Tanjung Tanah:Naskah Melayu Tertua di Dunia (2017)di laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, manuskrip yang ditemukan dan diteliti Kozok itu bisa dikatakan sebagai naskah Melayu tertua di Sumatera karena beberapa faktor. Pertama, dalam teks KUTT tidak terdapat kata serapan dari Bahasa Arab sehingga kemungkinan manuskrip itu berasal dari zaman pra Islam.
Kedua, naskah KUTT dua kali menyebutkan Maharaja Dharmasraya, sementara kerajaan Dharmasraya disebut dalam sumber sejarah berasal dari abad ke-13 dan ke-14. Ini menjadi petunjuk kuat naskah kuno kemungkinan ditulis sebelum abad ke-15.
Ketiga, sebagian besar naskah KUTT ditulis dalam Bahasa Melayu, tetapi terdapat juga kata pengantar serta penutup berbahasa Sanskerta. Selain teks beraksara pasca-Palawa, naskah kuno Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah juga terdapat teks beraksara surat Incung, yakni jenis aksara yang digunakan lebih tua daripada semua naskah Kerinci yang selama ini diketahui.
Keempat, naskah KUTT tertanggal dengan menggunakan tahun Saka, meski tahunnya tidak terbaca. Tahun Saka digunakan dari zaman pra-Islam.
Secara substansi, keberadaan manuskrip KUTT menunjukkan bahwa masyarakat kala itu sudah berbudaya karena mengenal undang-undang alias hukum tertulis. (Fitra Arda)
”Secara substansi, keberadaan manuskrip KUTT menunjukkan bahwa masyarakat kala itu sudah berbudaya karena mengenal undang-undang alias hukum tertulis,” ujar Fitra.
Pemerhati budaya dan mantan Mendikbud periode 1993-1998, Wardiman Djojonegoro, menjelaskan, naskah KUTT ditulis di kertas daluang. Hasil carbon dating yang turut disertakan dalam penelitian Kozok menunjukkan bahwa naskah itu kemungkinan dibuat pada 1304-1370 (44,3 persen) dan 1380-1436 (51,7 persen). Kesimpulannya, manuskrip itu ditulis antara abad ke-14 dan ke-15.
Hasil pemeriksaan sampel serat (daluang) di Tokyo, Jepang, naskah KUTT yang ditulis di atas daluang ternyata dibuat secara sederhana, tidak dioles dengan kanji, serta kadar pektin dan hemiselulose masih ada dalam serat.
Naskah atau surat kuno Melayu yang sampai kini dianggap tertua adalah dua surat dari Sultan Abu Hayat dari Ternate, berhuruf Jawi, serta bertanggal 1521 dan 1522. Kini, manuskrip tersebut disimpan di Perpustakaan Bagden di London.
”Dengan demikian, manuskrip KUTT berumur lebih dari 600 tahun, dan lebih tua 100 tahun dari kedua surat Sultan Ternate (1521). Ini merupakan warisan sejarah Melayu yang sangat berharga, patut dijaga pemeliharaannya, dan keamanannya,” ujar Wardiman.
Sejak hasil penelitian Kozok terhadap manuskrip KUTT diseminarkan sekitar tahun 2003, dia memandang belum ada upaya kelanjutan, seperti pelestarian, dari masyarakat Indonesia punya minat terhadap sejarah ataupun pernaskahan kuno. Dia mengaku bertemu dengan Kozok tahun lalu di Malaysia dalam sebuah seminar.
Alih media terkendala
Secara terpisah, Kepala Bidang Transformasi Digital Perpustakaan Nasional Wiratna Tritawirasta menyebutkan, Perpustakaan Nasional terlibat dalam rencana konservasi fisik manuskrip KUTT. Kendalanya terletak pada komunikasi dengan masyarakat adat di Kerinci. Perpustakaan Nasional belum melakukan alih media manuskrip KUTT.
”Kami biasanya melakukan alih media manuskrip dengan proses yang sangat mudah, bahkan sangat membantu apabila ada surat permohonan yang salah satunya berasal dari pemilik naskah kuno. Naskah orisinal bisa dikembalikan kepada pemiliknya, sedangkan hasil alih media berupa file akan kami simpan untuk preservasi ataupun layanan,” ujar Wiratna.
Menurut Wiratna, apabila pemilik naskah kuno tidak mengizinkan alih media, Perpustakaan Nasional tidak akan melakukannya.
Hingga sekarang, kata dia, Perpustakaan Nasional telah melakukan alih media manuskrip mencapai sekitar 2.000 judul. Beberapa naskah kuno yang telah dialihmediakan mengalami broken link karena proses dulunya memakai perangkat yang belum mumpuni. Beberapa naskah kuno juga dilakukan konservasi ulang karena sebelumnya berupa flash.
Fitra menambahkan, pemerintah sekarang sedang melakukan finalisasi pembangunan sistem digital manajemen aset kebudayaan. Sifat sistem digital ini adalah nasional. Jadi, sistem itu nantinya akan terhubung sampai ke daerah, juga ke Perpustakaan Nasional, Badan Bahasa, Arsip Nasional Republik Indonesia, dan Balai Pelestarian Cagar Budaya.
Kemendikbud juga mendorong alih media manuskrip untuk terus dilakukan, terlepas dari adanya tantangan keterbatasan anggaran. Namun, alih media- sebagai bagian dari konservasi - harus menghormati praktik kebudayaan pemilik naskah kuno. Pihak swasta melalui dana tanggung jawab sosial pun dapat berpartisipasi.
”Ketika ada penetapan cagar budaya, data kepemilikan ataupun alih media harus jelas dan tercatat dengan baik. Maka, bersamaan dengan alih media, kami rintis pula sistem digital manajemen aset kebudayaan agar memudahkan pelacakan dan dokumentasi,” imbuh Fitra.