Negara Bangkrut akibat Utang
Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19 membuat negara-negara miskin bak jatuh tertimpa tangga. Selain tertatih-tatih memenuhi kebutuhan dasar warganya,negara-negara itu makin tersudut dihadapkan tenggat membayar utang.
"Tidak ada pohon uang ajaib yang dapat kita goyangkan yang tiba-tiba menyediakan semua yang diinginkan orang." Demikian dikatakan Perdana Menteri Inggris Theresa May saat dirinya menjabat tahun 2017. Pernyataan itu ditujukan pada seorang perawat yang bertanya padanya perihal gaji si perawat yang tidak naik-naik selama beberapa tahun.
Harapan warga negara selalu tinggi pada pemerintahnya. Negara harus hadir dan memberikan yang terbaik bagi warganya, pembayar pajak yang taat. Saat ekonomi tertekan, kehadiran negara itu kian dinanti. Namun, penyelenggara negara juga tidak kalah pusingnya, apalagi di tengah pandemi Covid-19 seperti saat ini. Mereka harus memutar otak memastikan warganya selamat dari pandemi dan tekanan ekonomi.
Baca juga: Unicef Akan Kirim 2 Miliar Dosis Vaksin Covid-19 ke Negara Miskin
Jumat, 14 November 2020, menjadi hari yang kelam bagi Zambia. Pemerintahan Presiden Edgaw Chagwa Lungu melewatkan tenggat waktu untuk melunasi utang kepada investor eksternal mereka. Ini setelah sekelompok kreditor swasta hari itu menolak permintaan penangguhan pembayaran utang dan bunga utang senilai 42,5 juta dollar AS yang telah jatuh tempo. Nominal tersebut adalah bagian dari bunga utang dan pokok utang yang harus dibayarkan pemerintah Zambia kepada para kreditor. Setelah beberapa kali mengajukan penangguhan pembayaran, upaya pemerintah tidak berhasil.
Zambia menjadi pemerintah keenam yang gagal bayar surat utangnya tahun ini setelah Argentina, Belize, Ekuador, Lebanon, dan Suriname. Zambia mengalami gagal bayar karena tekanan ekonomi yang berlipat karena pandemi Covid-19. Mereka adalah bagian dari 100 negara miskin dan berkembang yang harus membayar utang luar negeri senilai 140 miliar dollar AS yang jatuh tempo tahun 2020 ini.
The Economist menyebutkan, meskipun pasar keuangan telah relatif tenang pasca-Maret lalu, banyak negara masih memiliki lebih banyak utang yang susah ditangani dalam kondisi seperti saat ini. Setidaknya ada 38 negara dengan surat utang berisiko gagal bayar. Jumlah negara-negara itu dua kali lipat dibanding saat krisis keuangan global pada akhir dekade tahun 2000-an.
Persyaratan terkait gagal bayar Zambia baru akan dinegosiasikan bulan depan ketika Dana Moneter Internasional (IMF) mengunjungi negara itu guna membahas potensi pinjaman sebesar 1,3 miliar dollar AS. Zambia seakan tidak memiliki pilihan lain saat ini.
Semakin miskin
Gelombang kemungkinan gagal bayar itu pun dikhawatirkan bakal memengaruhi kehidupan riil Zambia dan negara-negara miskin di tengah pandemi. Efek bencana keuangan itu dapat menekan sistem perawatan kesehatan yang sudah rapuh dan melumpuhkan simpul-simpul kegiatan ekonomi warga.
Baca juga: Pandemi Ungkap Kesenjangan yang Semakin Lebar
“Pada saat rumah sakit dan sistem perawatan kesehatan meringkuk di bawah tekanan Covid-19, negara-negara miskin harus membayar 3 miliar dollar AS sebulan untuk pembayaran utang kepada bank-bank kaya, dana investasi atau Bank Dunia, sementara populasi mereka jatuh lebih jauh ke dalam kemiskinan dan kemelaratan,” kata Chema Vera, Direktur Eksekutif sementara Oxfam International, seperti dikutip AP. “Utang perlu dibatalkan, menunda (pembayaran) hanya sebuah kesia-siaan.”
Negara-negara miskin sungguh tersudut posisinya. Pengajar pembangunan international, Institut Pembangunan Global, University of Manchester, Shamel Azmeh, dalam laman The Conversation menyebutkan negara-negara miskin nyaris tidak memiliki pilihan di pasar surat utang. Jika pemerintah negara-negara kaya didatangi pengutang, mereka tidak. Akses mereka terbatas di pasar utang dan cenderung bergantung pada pemberi pinjaman publik, seperti Bank Dunia dan IMF.
Skala pasar modal negara-negara miskin yang lebih kecil juga membuat mereka lebih bergantung pada pembiayaan eksternal. Ketergantungan ini berarti bahwa negara berkembang bergantung pada penggalangan uang dalam mata uang asing. Hal ini meningkatkan risiko perekonomian mereka.
Baca juga: G-20 Susun Langkah Global Atasi Pandemi
Karena banyak negara berkembang memiliki ekspor yang kurang terdiversifikasi dengan persentase komoditas yang lebih tinggi, penurunan harga komoditas dalam beberapa waktu terakhir telah meningkatkan risiko tersebut. Akibatnya, negara berkembang menghadapi biaya pinjaman yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ekonomi yang lebih kaya.
Negara-negara maju biasanya memiliki pasar modal domestik yang mapan dengan kedalaman tinggi, bank sentral independent, inflasi yang rendah dan stabil, serta transparansi dan prediktabilitas dalam kebijakan ekonomi. Atribut ini memungkinkan bank sentral mereka untuk mempertahankan kepemilikan surat utang pemerintah yang besar tanpa kehilangan kepercayaan investor.
Sebaliknya, negara dengan lembaga publik yang kurang kredibel dan moneter, nilai tukar, dan fleksibilitas fiskal yang lebih sedikit memiliki kapasitas yang lebih kecil untuk memonetisasi defisit fiskal tanpa menanggung risiko inflasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat memicu arus keluar modal yang besar, mendevaluasi mata uang dan mendorong suku bunga domestik naik. Kondisi pelik itu dialami negara seperti Argentina, beberapa dekade terakhir.
Baca juga: Argentina Semakin Rapuh
Selama beberapa bulan terakhir, penurunan peringkat oleh lembaga pemeringkat utang telah menjadi risiko utama yang dihadapi negara-negara miskin dan berkembang. Mereka menghadapi biaya pinjaman yang lebih tinggi sebagai akibat dari penurunan peringkat tersebut. Penurunan peringkat ini sering dikaitkan dengan penurunan harga dan ekspor komoditas, seperti kasus berlian untuk Botswana dan minyak untuk Nigeria.
Negara seperti Etiopia, Pakistan, Kamerun, Senegal, dan Pantai Gading masuk dalam daftar yang diturunkan peringkat utangnya oleh Moody’s. Negara-negara itu relatif rentan menemui nasib seperti Zambia yang mengalami gagal bayar utang.
Menumpuk utang
Banyak negara Afrika sub-Sahara, dari Kamerun hingga Kenya, telah menerbitkan surat utang dalam bentuk euro selama bertahun-tahun. Mereka menumpuk utang yang jatuh tempo pada saat beban keuangan meningkat di tengah pandemi.
Zambia adalah salah satu produsen tembaga terbesar di dunia. Dalam kondisi sulit seperti saat-saat ini, tekanan fiskalnya memuncak karena tidak mampu mengumpulkan cukup pendapatan untuk memenuhi semua kebutuhan belanja anggarannya. Zambia telah lama dilihat sebagai negara dengan contoh utang yang tidak berkelanjutan. Analisis bersama oleh Bank Dunia dan IMF melaporkan tahun lalu bahwa negara itu berisiko tinggi mengalami kesulitan utang luar negeri.
Rantai perdagangan yang terganggu akibat mandegnya aktivitas perekonomian telah menekan salah satu sumber utama pendapatan Zambia, yakni dari komoditas tembaga. Nilai tukar Kwacha, mata uang Zambia, juga telah terdepresiasi hingga 30 persen sejak awal tahun. Kelindannya telah meningkatkan biaya pembayaran utang luar negeri dan tekanan inflasi domestik. Penurunan pendapatan negara karena ekspor yang tidak optimal dan sebaliknya peningkatan pengeluaran domestik karena terkait Covid-19 memperburuk kondisi Zambia.
Berdasarkan Data Statistik Utang 2021 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, persentase utang luar negeri Zambia meroket hingga nyaris menyentuh 1.000 persen selama satu dekade terakhir. Pada tahun 2009, utang luar negeri Zambia baru mencapai 3,6 miliar dollar AS. Pada tahun 2019, menurut statistik Bank Dunia, utang luar negeri Zambia telah mencapai 27,34 miliar dollar AS, terdiri dari utang pemerintah 11,1 milliar dolar AS dan utang swasta 14,74 milliar dollar AS.
Nafsu untuk berutang telah berkembang pesat di Afrika karena pemerintah meluncurkan pekerjaan umum yang ambisius yang mereka yakini akan mendukung pertumbuhan di tahun-tahun mendatang. Proyek-proyek tersebut seringkali didanai oleh China. Sebaliknya, China dinilai memang sangat ingin mengeksploitasi sumber daya alam Afrika yang melimpah di negara-negara seperti Zambia, yang juga merupakan penghasil utama kobalt.
Baca juga: Terjerat Utang China
Didukung oleh kredit dari China dan sumber luar lainnya, otoritas Zambia diketahui telah belanja besar-besaran. Mulai dari jalan raya hingga bandara dalam proyek-proyek yang terkadang ternoda oleh korupsi. Pengeluaran tersebut kemungkinan besar akan melambat karena tekanan untuk mengurangi tunggakan. Ada banyak laporan tentang proyek-proyek yang terhenti, termasuk bendungan senilai 450 juta dollar AS. China memegang sekitar sepertiga dari utang negara-negara Afrika. Negara-negara itu rawan bangkrut dan jika tidak hati-hati dapat kehilangan kedaulatan mereka.