Pastikan Protokol Kesehatan Sebelum Izinkan Anak Sekolah Tatap Muka
Tiga ibu rumah tangga asal Indonesia yang kini bermukim di Singapura, China, dan Jepang berbagi pengalaman mengizinkan anak kembali bersekolah. Kesiapan protokol kesehatan membuat mereka yakin melepas anak sekolah.
Sejumlah sekolah di berbagai negara mulai menjalankan pembelajaran tatap muka kembali. Instruksi protokol kesehatan yang ketat dari pemerintah benar-benar dipatuhi pengelola satuan pendidikan. Sistem pengawasan pemerintah pun berjalan optimal. Kondisi tersebut membuat orangtua percaya dan mengizinkan anaknya belajar kembali sekolah tatap muka meski pandemi Covid-19 belum berakhir.
Amalia Halliani, ibu rumah tangga asal Indonesia yang kini menetap di Singapura, mengatakan, sekolah di Singapura mulai menyelenggarakan pembelajaran tatap muka kembali di sekolah pada Juni 2020. Sebelum sekolah dibuka, pemerintah menyebarkan info kebijakan kepada semua warga melalui Whatsapp resmi.
Isi informasi menyangkut teknis protokol kesehatan yang harus dipatuhi sekolah dan orangtua. Lalu, pengelola sekolah mengirimkan prosedur standar operasi (SOP) yang lebih detail kepada orangtua, baik versi lengkap maupun ringkasan.
”Salah satu isi SOP adalah sekolah akan menghubungi orangtua ketika anak mengalami gejala sakit saat di kelas. Ketika sekolah buka, bahkan jenjang PAUD, orangtua tidak boleh hadir. Saat ditelepon sekolah, orangtua harus segera menuju sekolah untuk menjemput (anak),” ujar Amalia saat menghadiri diskusi virtual ”Siap-siap Masuk Sekolah Lagi”, Sabtu (28/11/2020), di Jakarta. Diskusi ini diselenggarakan Jaringan Pendidikan Anak Merdeka.
Amalia mempunyai dua anak berusia tiga dan enam tahun. Keduanya sekarang mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah.
Dia menceritakan, guru anaknya mengikuti tes usap sebelum sekolah resmi dibuka kembali. Ini adalah instruksi dari pemerintah.
Menurut Amalia, para orangtua di Singapura belum pernah ada yang mengeluarkan mosi tidak percaya pembelajaran tatap muka kembali. Dia memandang situasi itu bisa terjadi sebab pemerintah menjamin protokol kesehatan di sekolah terpenuhi. Setiap hari, pemerintah mengirimkan informasi perkembangan pandemi Covid-19 melalui Whatsapp resmi. Disinformasi dan hoaks terkait pandemi amat minim.
Terapkan sanksi denda
Selain itu, untuk menekan persebaran Covid-19, pemerintah memberlakukan sanksi bagi warga yang melanggar protokol kesehatan, seperti denda administratif sekitar 300 dollar Singapura bagi orang yang tidak pakai masker. Semua peraturan tertulis dan disebar ke masyarakat. Alat pemantau atau CCTV terpasang di seluruh penjuru kota dan sesama warga saling mengingatkan protokol kesehatan.
Semua peraturan tertulis dan disebar ke masyarakat. Alat pemantau atau CCTV terpasang di seluruh penjuru kota dan sesama warga saling mengingatkan protokol kesehatan. (Amalia Halliani)
Warga semula takut kena ada sanksi, tetapi lambat laun mereka jadi terbiasa. Apabila ada individu tidak pakai masker di jalan, baik sengaja maupun tidak, para warga lainnya akan langsung memandang individu itu aneh.
”Dengan kondisi masyarakat seperti itu, saya sebagai orangtua tidak khawatir anak-anak belajar kembali di sekolah,” kata Amalia.
Dari Beijing, China, Mia Gofar menceritakan bahwa pembelajaran tatap muka di sekolah mulai sejak September 2020. Mia mempunyai seorang anak yang masih berstatus siswa sekolah menengah pertama dan dua orang anak berstatus mahasiswa.
Kebijakan pembelajaran tatap muka di China dikeluarkan oleh pemerintah pusat, lalu menyebar ke pemerintah daerah. Setelah itu, sekolah mengirim surat elektronik berisi detail kebijakan beserta SOP yang harus dipatuhi oleh orangtua. Salah satu isinya adalah orangtua wajib mengisi formulir riwayat kesehatan keluarga sampai perjalanan. Sekolah memberikan video berisi gambaran pelaksanaan protokol kesehatan.
Setiap sekolah mempunyai infrastruktur perawatan kesehatan dan terhubung dengan lembaga kesehatan sehingga memudahkan penanganan anak yang sakit saat di kelas. Ketika anak sakit di sekolah, guru wajib menelepon orangtua.
”Sebelum sekolah resmi buka kembali, pemerintah memberikan vaksin flu ke seluruh anak. Orangtua mulanya diberikan formulir untuk memudahkan pendataan,” kata Mia. Inilah yang menambah keyakinannya dan mendukung pembelajaran tatap muka kembali dibuka di sekolah.
Menurut dia, petugas pemerintah daerah sering menggelar inspeksi mendadak atau sidak ke sekolah-sekolah untuk memastikan pelaksanaan protokol kesehatan benar-benar dijalankan. Sidak berlangsung setiap pekan.
Selain itu, pemerintah sampai ke desa-desa juga mempunyai sistem pelacakan persebaran Covid-19 dan infrastruktur penanganan pasien yang kuat. Warga pun tidak ada yang berani membuat informasi palsu tentang riwayat kesehatannya.
Situasi tersebut membuat Mia dan orangtua tidak mempermasalahkan anak-anak kembali bersekolah.
Mia menceritakan, saat ini, kondisi aktivitas di Beijing hampir menuju normal. Selain pembelajaran tatap muka di sekolah, kegiatan perkantoran dan industri sudah dibuka kembali. Di jalan-jalan, warga bisa berolahraga tanpa masker. Akan tetapi, pemerintah tetap mewajibkan warga pakai masker dan jaga jarak ketika berada di ruang publik.
”Sejak Juni 2020, sekolah dan perkantoran berangsur-angsur buka. Sebulan kemudian, kami menghadapi gelombang kedua. Pemerintah berusaha keras mengontrol hingga kondisi membaik sampai September 2020, lalu sekolah baru dibuka lagi, dan bisa dikatakan sekarang semuanya under control,” kata Mia.
Baca juga: Utamakan Edukasi Protokol Kesehatan Sebelum Pembelajaran Tatap Muka
Lain cerita dengan Febry Tobing, warga asal Indonesia yang kini bermukim di Tokyo, Jepang. Ibu rumah tangga dua orang anak ini menyebut Jepang sekarang sedang menghadapi gelombang ketiga pandemi Covid-19. Meski demikian, satuan pendidikan tetap menjalankan pembelajaran tatap muka fisik. Dia pribadi percaya diri dua anaknya masih duduk di sekolah dasar kembali mengikuti pembelajaran tatap muka.
Seperti di Singapura, para orangtua di Tokyo belum pernah menyuarakan protes sekolah kembali dibuka. Menurut dia, situasi itu dipengaruhi berbagai faktor. Misalnya, orangtua sudah kembali bekerja ke kantor.
Lalu, SOP protokol kesehatan di sekolah dilaksanakan ketat. Dia mencontohkan pengelola sekolah selalu melakukan sterilisasi atau penyemprotan disinfektan usai pembelajaran tatap muka berakhir. Apabila ada barang anak ketinggalan, anak bersangkutan wajib mengambil keesokan harinya saat jam operasional sekolah.
Pengelola sekolah selalu melakukan sterilisasi atau penyemprotan disinfektan seusai pembelajaran tatap muka berakhir.
Anak-anak juga diwajibkan membawa tasberisi masker cadangan, botol berisi air minum, dan kantong sampah pribadi. Setiap kali pindah aktivitas di ruangan berbeda di sekolah, mereka wajib membawa tas itu.
”Penduduk di sini juga disiplin menerapkan pakai masker, jaga jarak, kebersihan, dan cuci tangan. Guru ataupun siswa yang menunjukkan gejala sakit, bahkan pilek biasa, diminta tegas beristirahat di rumah,” ujar Febry.
Keputusan membuka kembali sekolah dilakukan pemerintah ketika kurva pasien dewasa kritis turun. Pemerintah memastikan seluruh fasilitas perawatan kesehatan tersedia. Ketika anak sakit, dokter diwajibkan pemerintah menanyakan riwayat kesehatan seluruh anggota keluarga untuk memudahkan pelacakan.
”Gelombang pertama Covid-19 di Jepang terjadi saat musim dingin, lalu gelombang kedua saat musim panas. Kini, kami memasuki musim dingin kembali dan harus berhadapan dengan gelombang ketiga,” ungkapnya.
Salah satu yang selalu diingatkan pemerintah, kata Febry, adalah warga menjaga sirkulasi udara dalam ruangan. Pengelola sekolah diharuskan buka ventilasi jendela setiap 30 menit sekali. Setiap rumah dan perkantoran pun diharuskan tindakan senada.
Pemerintah Jepang tidak mempunyai sanksi bagi pelanggaran protokol kesehatan. Para penduduknya memiliki kesadaran sendiri bahwa protokol kesehatan berfungsi melindungi dirinya dan orang lain.
”Kalau tidak pakai masker di ruang publik, warga akan malu dengan warga lainnya. Budaya malu ini terpelihara,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 14 September 2020, UNICEF, UNESCO, dan WHO telah mengeluarkan lampiran pedoman pertimbangan sekolah dibuka kembali atau Annex to Considerations in Adjusting Public Health and Social Measures in The Contex of Covid-19. Lampiran ini diperuntukan bagi pendidikan anak-anak di bawah usia 18 tahun, menguraikan prinsip umum, dan rekomendasi yang bisa disesuaikan kegiatan persekolahan saat buka lagi, termasuk ekstrakurikuler. Lampiran itu menggantikan dokumen yang senada dan diterbitkan WHO pada 10 Mei 2020.
Annex to Considerations in Adjusting Public Health and Social Measures in The Contex of Covid-19 menekankan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat. Misalnya, prinsip meminimalkan risiko penularan Covid-19 diantara siswa, guru, dan staf. Contoh prinsip lainnya adalah mengantisipasi sekolah sebagai sumber penularan Covid-19 ke masyarakat.
Lampiran itu turut menyertakan data berisi penjelasan bahwa risiko anak terdampak Covid-19 rendah. Tingkat kematian pasien berusia anak pun kecil. Sebaliknya, penutupan sekolah memiliki dampak negatif yang jelas pada kesehatan anak, pendidikan dan perkembangan, serta pendapatan keluarga dan perekonomian secara keseluruhan. Pemerintah pusat dan daerah harus mempertimbangkan untuk memprioritaskan kesinambungan pendidikan dengan berinvestasi dalam tindakan yang komprehensif dan berlapis, seperti menekan penyebaran SARS-CoV-2 di lingkungan pendidikan dan masyarakat luas.
Proaktif pastikan kesiapan protokol
Berangkat dari pengalaman penanganan Covid-19 di negara tempat mereka kini bermukim, Amalia, Mia, dan Febry menyarankan agar orangtua di Tanah Air berperan aktif memastikan kesiapan protokol kesehatan di daerah tempat anak bersekolah. Apalagi, pemerintah Indonesia memperbolehkan pembelajaran tatap muka di sekolah dibuka lagi dengan kewenangan penuh dari pemerintah daerah.
Amalia berpesan supaya orangtua berani meminta SOP sedetail mungkin ke sekolah, seperti penanganan seandainya ada siswa atau guru ketahuan positif Covid. Orangtua juga harus meminta formulir untuk diisi riwayat kesehatan dan perjalanan mereka sehingga data pelacakan kasus Covid-19 mudah dilakukan.
Baca juga: Membuka Sekolah dengan Aman
Sementara Febry berpendapat, orangtua dan sekolah satu misi dulu terkait kontrol pelaksanaan protokol kesehatan, seperti ikut sterilisasi. Mia mempunyai pandangan senada sebab akan susah orangtua menjangkau pemerintah daerah. Jadi, orangtua dan sekolah bersama-sama merumuskan SOP sedetail mungkin.