Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dinilai belum mencapai target dalam beberapa indikator. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan nyata, di antaranya memperbanyak pusat layanan pasien dan menjamin ketersediaan obat.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dinilai belum mencapai target dalam berbagai indikator. Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan nyata, di antaranya memperbanyak pusat pelayanan pasien, mendorong kemandirian pendanaan program penanggulangan, dan melindungi hak orang dengan HIV/AIDS atau ODHA yang selama ini termarjinalkan.
Target yang belum tercapai itu mengacu pada pencapaian 90-90-90 pada 2020 dalam penanggulangan HIV/AIDS yang diadopsi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Artinya, 90 persen kasus HIV bisa terdeteksi, 90 persen dari kasus yang tahu statusnya bisa menjalani terapi, dan 90 persen pasien yang mendapat terapi bisa patuh mengonsumsi obat.
”Kesenjangan pencapaian terhadap target sangat jauh. Indonesia tidak akan memenuhi target 90-90-90 itu pada akhir 2020,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC) Aditya Wardhana dalam konferensi pers Hari AIDS Sedunia 2020 yang digelar secara daring, Senin (30/11/2020).
Aditya mengatakan, estimasi ODHA di Indonesia berjumlah 640.443 orang. Jika mengacu target 90 persen kasus HIV terdeteksi, hal itu setara dengan 576.399 orang yang mengetahui statusnya. Namun, pencapaian saat ini baru 344.525 orang atau 54 persen.
”Jadi, ada 531.874 orang dengan HIV belum mendapatkan layanan program dan berpotensi lebih besar menjadi faktor penular,” ucapnya.
Sementara pencapaian ODHA menjalani terapi obat antiretroviral masih 39 persen dan pencapaian pasien terapi yang patuh mengonsumsi obat baru 15 persen.
Estimasi ODHA di Indonesia berjumlah 640.443 orang. Jika mengacu target 90 persen kasus HIV terdeteksi, hal itu setara dengan 576.399 orang yang mengetahui statusnya. Namun, pencapaian saat ini baru 344.525 orang atau 54 persen.
”Ini momen tepat untuk merefleksikan di mana kegagalan kita sehingga target 90-90-90 itu tidak tercapai. Bukan hanya untuk pemerintah, melainkan juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan komunitas yang bergerak dalam penanggulangan HIV/AIDS,” katanya.
Oleh karena itu, dibutuhkan terobosan konkret untuk mengejar target tersebut. Apalagi, pandemi Covid-19 menyebabkan perlunya modifikasi program untuk memastikan ODHA tetap bisa mengakses layanan tes dan terapi.
”Buat layanan terapi antiretroviral dan tes viral load yang bekerja sama dengan LSM. Selain itu, gunakan layanan kesehatan berbasis daring untuk konsultasi dokter dan konselor HIV,” ujarnya.
Menurut Aditya, upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya terkait kepemimpinan, pendanaan, dan partisipasi komunitas. Ia menilai, setelah Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dibubarkan, program penanggulangan menjadi kabur.
”Isu HIV terkesan hanya menjadi program terkait Kementerian Kesehatan dan melupakan aspek sosial serta ekonomi di sekitar epidemi HIV,” ucapnya.
Aditya mengatakan, pihaknya merekomendasikan penyusunan strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS. Kemudian, memperkuat kebijakan anggaran untuk mendorong kemandirian pendanaan program-program penanggulangan.
”Buat kebijakan untuk melindungi, menghargai, dan menghormati hak asasi ODHA yang selama ini termarjinalkan,” ujarnya.
Ketua Badan Pengurus Ikatan Perempuan Positif Indonesia Baby Rivona mengatakan, tidak tercapainya target 90-90-90 itu menjadi peringatan kemunduran penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Menurut dia, pemerintah perlu menjamin ketersediaan obat terapi bagi ODHA.
”Jika ODHA mengonsumsi obat baru, apakah ada jaminan obat itu akan selalu ada? Kalau ganti obat, tetapi tidak berkelanjutan, efeknya tidak baik,” ujarnya.