Meski PM Etiopia Abiy Ahmed menyatakan operasi militer di Tigray sudah selesai, perang nyatanya masih berlanjut. Para pemberontak dalam konflik Tigray kemungkinan menjalani perang gerilya melawan pasukan federal.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
ADDIS ABABA, SENIN – Perang di wilayah Tigray, Etiopia kian berlarut-larut. Pemberontak dari utara Tigray mengatakan telah menembak jatuh pesawat militer Ethiopia dan mengambil alih sebuah kota dari pasukan federal, Minggu (29/11/2020), sehari setelah pemerintah mengumumkan operasi militernya sudah selesai.
Dalam pesan singkatnya, pemimpin Front Pembebasan Rakyat Tigray (TPLF) Debretsion Gebremichael, mengatakan bahwa pasukannya telah menembak jatuh pesawat militer Etiopia dan menangkap pilotnya serta menguasai Kota Axum. Tidak ada tanggapan dari pemerintah atau pihak militer atas klaim Debretsion itu.
Pada Minggu, stasiun televisi pemerintah Etiopia, ETV, melaporkan bahwa ditemukan 70 makam di Kota Humera, Tigray. Ada makam yang berisi satu jenazah tapi ada juga yang berisi lebih dari satu jenazah. Tapi, ETV tidak menginformasikan siapa yang telah terbunuh dan dikubur di situ.
Penyelidik HAM dan warga sipil yang melarikan diri dari konflik mengatakan, pasukan dari kedua pihak yang bertikai termasuk milisi sipil sama-sama melakukan pembunuhan massal. Baik TPLF maupun pasukan pemerintah membantah bahwa mereka terlibat dalam pembunuhan massal.
Klaim dari pihak bertikai sulit dikonformasi kebenarannya karena jaringan telekomunikasi dan internet ke Tigray diputus dan aksesnya dibatasi ketat sejak konflik pecah 4 November 2020 lalu.
Sehari setelah pasukan federal mengklaim kemenangan atas Tigray dan PM Abiy mengumumkan berakhirnya operasi militer, Komite Internasional Palang Merah (ICRC) mengatakan, rumah sakit di Makelle - ibukota Tigray - menghadapi lonjakan pasien trauma. Tenaga kesehatan juga kekurangan makanan, alat-alat kesehatan, dan kantung jenazah.
ICRC menyebutkan, di RS Rujukan Ayder yang merupakan salah satu rumah sakit terbesar di Mekelle, terdapat sekitar 80 persen pasien yang mengalami luka akibat benturan. Tetapi, tidak dijelaskan penyebab luka tersebut.
“Lonjakan pasien luka memaksa rumah sakit menunda layanan medis lainnya sehingga staf dan sumber daya yang terbatas bisa dikerahkan untuk menangani pasien gawat darurat,” kata ICRC.
Konflik
Pemerintahan Perdana Menteri Abiy Ahmed telah berupaya memadamkan pemberontakan TPLF, sebuah partai berbasis etnis yang kuat yang mendominasi pemerintah pusat selama hampir tiga dekade hingga Abiy berkuasa tahun 2018.
Ribuan warga diyakini telah tewas sejak perang mulai dan hampir 44.000 warga lainnya melarikan diri ke negara tetangga, Sudan. Muncul berbagai laporan bahwa ada kelompok milisi yang menyasar warga sipil.
Arus pengungsi dan serangan roket oleh TPLF ke Eritrea juga mengancam stabilitas yang lebih luas di kawasan Tanduk Afrika.
Konflik ini menjadi ujian besar bagi Abiy, pemimpin yang berjanji menyatukan berbagai kelompok etnik yang membentuk 115 juta jiwa populasi Etiopia tapi juga menghadapi kasus kekerasan berulang.
Abiy yang menolak bantuan mediasi oleh dunia internasional, mengatakan bahwa pasukan federal telah menguasai ibukota Tigray, Makelle, yang berpenduduk 500.000 jiwa. Polisi akan berupaya menangkap “penjahat” TPLF dan membawanya ke pengadilan.
Fana TV melaporkan, kepolisian kemudian mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi 17 perwira militer atas tuduhan pengkhianatan dan penggelapan properti publik. Surat perintah penangkapan juga dikeluarkan untuk 117 pejabat senior dengan tuduhan memiliki hubungan dengan TPLF.
Salah satu komandan operasi militer di Tigray, Letnan Jenderal Bacha Debele, mengatakan kepada media yang terafiliasi dengan pemerintah bahwa militer siap mencegah kemungkinan serangan bunuh diri oleh junta TPLF di masa depan.
Sementara keberadaan para tokoh TPLF sendiri tidak diketahui dan tidak jelas pula apakah ada dari mereka yang menyerah atau ditangkap.
Dalam serangkaian pesan singkatnya kepada Reuters, pemimpin TPLF Debretsion menyatakan, menarik pasukannya dari Tigray dan akan tetap berjuang melawan pasukan federal. “Ini adalah soal hak menentukan nasib sendiri,” ujarnya.(AFP/REUTERS)