Pro Kontra RUU Larangan Minuman Beralkohol
RUU Larangan Minuman Beralkohol masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020. Pembahasan RUU ini menimbulkan pro dan kontra di DPR ataupun di media sosial.
Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020. Pembahasan RUU ini menimbulkan pro dan kontra di DPR ataupun di media sosial.
Kehadiran RUU Larangan Minuman Beralkohol dinilai sebagian akan kian memperburuk situasi ekonomi masyarakat karena hanya akan menambah jumlah pengangguran. Terlebih, minuman tradisional yang mengandung alkohol pun ikut terkena pelarangan.
RUU Larangan Minuman Beralkohol pertama kali diusung DPR pada 2009. Pada periode 2009-2014, saat itu PPP menjadi fraksi di DPR yang mengusulkan agar RUU ini dibahas. Namun, usulan kandas karena waktu yang tidak memungkinkan. Usulan itu kemudian dibawa kembali pada periode selanjutnya. Selain PPP, ada Fraksi PKS yang turut menjadi pengusulnya.
Panitia khusus RUU kemudian dibentuk pada 2015. Akan tetapi, hingga masa jabatan DPR periode 2014-2019 berakhir, pembahasan RUU ini tak kunjung rampung.
Salah satu poin pokok persoalannya adalah masih adanya perdebatan penggunaan nomenklatur ”Larangan Minuman Beralkohol”, perbedaan pendapat antara pengusung RUU, yang ingin melarang minuman berlakohol, dan pemerintah yang menginginkan konsumsi alkohol tidak dilarang tetapi diatur.
RUU ini masuk kembali dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 sebagai usul inisiatif DPR. Pengusul RUU Larangan Minuman Beralkohol terdiri dari 21 anggota DPR, dengan 18 dari Fraksi PPP, 2 orang dari Fraksi PKS, dan 1 orang dari Fraksi Partai Gerindra.
Dasar usulan RUU disebut untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat mengonsumsi minuman beralkohol. Minuman beralkohol juga disebut belum diatur secara spesifik dalam undang-undang sehingga delik dalam pengaturan di KUHP dinilai terlalu umum.
Dasar usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif akibat mengonsumsi minuman beralkohol.
RUU ini melarang setiap orang memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan atau menjual minuman beralkohol di wilayah Indonesia. Kendati demikian, minuman beralkohol diperbolehkan untuk kepentingan terbatas, seperti kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan.
Jenis minuman alkohol dalam RUU ini adalah golongan A (kadar etanol kurang dari 5 persen), golongan B (kadar etanol 5-20 persen), dan golongan C (kadar etanol 20-55 persen), serta minuman beralkohol tradisional dan campuran atau racikan.
Jenis minuman beralkohol tradisional berasal dari pengolahan pohon kelapa, enau, atau racikan lainnya, seperti sopi, bobo, balo, tuak, arak, saguer, dan lainnya.
Produsen hingga pengguna minuman beralkohol akan dikenai sanksi pidana. Dalam draft RUU Pasal 18 hingga 21 tentang Ketentuan Pidana menyebutkan, sanksi untuk mereka yang memproduksi, memasukkan, menyimpan, dan/atau mengedarkan minuman beralkohol dipidana penjara minimal dua tahun dan paling lama 10 tahun.
Sementara, masyarakat yang mengonsumsi minuman beralkohol dikenai sanksi pidana penjara minimal tiga bulan dan paling lama dua tahun. Jika pelanggaran mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, dipidana dengan pidana pokok ditambah satu pertiga.
Pembahasan mengenai RUU Larangan Minuman Beralkohol ini menyita perhatian publik. Pro dan kontra muncul seiring pembahasan aturan terkait minuman alkohol di Indonesia ini.
Pro kontra
Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol tidak hanya menimbulkan pro dan kontra antarfraksi di DPR, tetapi juga ditanggapi secara serius oleh warganet di media sosial serta berbagai kalangan masyarakat.
Media sosial diramaikan dengan tagar #RUUminol, #ruuminol, #miras, #minol, #Alkohol. Pro kontra mewarnai perbincangan di media sosial terkait RUU Larangan Minuman Beralkohol.
Cuitan kontra terhadap pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol seperti yang dicuit akun @freemalik611 mencuit ”Akan banyak orang yang tidak jahat diperlakukan seperti orang jahat #ruuminol #ruuminumanberalkohol”.
Ada pula akun @putradaskian yang mencuit ”Kalo dalihnya untuk melindungi kesehatan masyarakat, minuman-minuman bergula juga harus dilarang karena lebih banyak orang meninggal gara-gara Sukrosa daripada gara-gara Alkohol.”
Namun ada pula akun yang mendukung pembahasan RUU, seperti akun @mhmmdki yang mencuit ”Tapi sekarang wacana RUU miras kembali dibahas...waaah bismillah aja, semoga keluar lagi UU larangan minuman keras #frontpembelaislam #FPI #dppfpi #dppppp #ppp #partaipersatuanpembangunan #ruuminol #ruuminumanberakohol”.
Pihak yang pro terhadap RUU tersebut berpandangan, RUU akan melindungi generasi selanjutnya dari minuman beralkohol yang berdampak buruk terhadap kesehatan dan tidak sesuai dengan ajaran agama. Upaya pelarangan minuman beralkohol bahkan dinilai akan dapat mengurangi kasus kriminalitas.
Sementara, pihak yang menolak RUU tersebut melihat adanya RUU Larangan Minuman Beralkohol yang memberi sanksi pidana, termasuk ke pengguna, bahkan tanpa batasan usia menunjukkan masuknya negara ke ranah pilihan privat, adanya kriminalisasi berlebihan, serta dampak RUU terhadap mata pencarian dan perekonomian masyarakat.
Protes juga datang dari berbagai himpunan pelaku usaha pariwisata dan sektor pendukungnya. RUU Larangan Minuman Beralkohol dinilai kian memojokkan sektor pariwisata dan sektor pendukungnya, seperti usaha hiburan, industri minuman beralkohol, terutama minuman beralkohol tradisional yang sudah melekat sebagai budaya setempat.
Pelarangan minuman alkohol dinilai akan sangat berdampak terhadap mata pencarian dan perekonomian masyarakat yang telah terpuruk akibat pandemi.
RUU Larangan Minuman Beralkohol dinilai menimbulkan sentimen negatif bagi wisatawan di tengah pelemahan ekonomi global yang menekan sektor wisata. Terlebih, aktivitas pariwisata yang menjadi faktor pendukung penjualan produk minuman beralkohol terhenti pada kuartal kedua tahun 2020.
Aturan berlawanan
Keberadaan RUU Larangan Minuman Beralkohol juga memiliki potensi berlawanan terhadap aturan yang sudah ada sebelumnya. Aturan soal minuman beralkohol sudah diatur dalam puluhan peraturan menteri.
Peraturan menteri yang sudah ada di antaranya mengatur, mulai dari produksi, pengendalian, pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol, pengendalian dan pengawasan industri dan mutu minuman beralkohol, standar keamanan dan mutu minuman beralkohol, hingga penetapan pajak untuk produk minuman beralkohol.
RUU Larangan Minuman Beralkohol rentan bertabrakan dengan berbagai aturan yang sudah ada. Terlebih, RUU tersebut menyatakan keberadaannya demi melindungi dampak negatif dari minuman beralkohol.
Hal ini akan bertabrakan dengan UU No 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kehadiran negara seharusnya sebatas dalam menyediakan akses dan fasilitas kesehatan, bukan untuk mencampuri ranah privat.
Pelarangan yang terkandung dalam RUU dinilai tidak selaras dengan aturan yang sudah sangat detil diatur dalam peraturan berbagai kementerian, seperti peraturan menteri perdagangan dan peraturan menteri perindustrian.
Industri minuman beralkohol pada saat bersamaan menyumbang pendapatan bagi negara. Pelarangan minuman beralkohol akan kian mendorong menurunnya penerimaan negara dari bea cukai minuman beralkohol.
Penerimaan negara dari cukai Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA) sampai akhir Juli 2020 sebesar Rp 2,64 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yakni Rp 3,36 triliun.
Perlambatan pertumbuhan produksi MMEAA dalam negeri disebabkan penurunan produksi sejak April dan penutupan kawasan pariwisata yang menekan konsumsi MMEA dalam negeri.
Upaya pelarangan pada akhirnya hanya membuat semakin banyak hadirnya pasar gelap yang justru merugikan negara. Alih-alih melarang, lebih baik mengatur dan mengawasi distribusi minuman keras.
Pengendalian dan pengawasan dalam pengadaan, peredaran, dan penjualan cukup dilakukan dengan serius sesuai dengan peraturan yang sudah ada. (LITBANG KOMPAS)