Transformasi Kopi ”Kampung” hingga Diakui Dunia
Sekelompok Petani Kopi di Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan bertekad kuat untuk berubah dan terus memperbaiki diri. Berkat ketekunan itu, mereka menikmati buah yang manis. Kopi mereka dikenal dunia.
Dengan bangga Kristian Tri Purnomo (37) memamerkan varian kopi robusta Pagar Alam yang baru saja menyabet penghargaan internasional, Kamis (20/11/2020). Keberhasilan ini adalah buah dari usaha segelintir kelompok tani yang ingin keluar dari budaya pengolahan kopi lama ”ala kampung” dan beralih ke kebiasaan baru yang lebih baik sehingga diakui dunia.
Kopi robusta Pagar Alam yang dia bawa itu mendapatkan penghargaan Gourmet Medal untuk kategori Puissant Amer (rasa pahit yang kuat) dari Badan Penilaian Produk Pertanian (Agence pour la Valorisation des Produits Agricoles /AVPA) di Paris, Perancis.”Ini sebuah kebanggan yang luar biasa, kopi Pagar Alam sekarang dikenal dunia,” ucap Kristian di Palembang.
Varian kopi ini menjadi satu dari 74 varian kopi yang diberi penghargaan dari sembilan kategori yang tersedia. Di kompetisi itu, ada 15 negara produsen kopi di dunia yang ikut serta dengan membawa 130 varian kopi berbeda.
Kopi yang mereka bawa ini merupakan hasil olahan 206 petani kopi yang tinggal di Desa Gunung Agung Ilir dan Talang Darat, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Mereka bernaung dalam Komunitas Desa Wisata Sekolah Kopi (Dewi Sekopi) Basemah. Kristian merupakan satu dari empat orang yang mengajak 206 petani itu belajar bersama.
”Sulit untuk mengubah kebiasaan, tapi akhirnya kami berhasil,” ujar Kristian. Ia teringat ketika berupaya mengajak petani untuk ikut serta dalam program edukasi yang digelar penggiat kopi bernama Kopi Tanah Air Kita pada 2019, banyak penolakan yang dia terima.
Baca juga: Kopi Pagar Alam Diakui Dunia
Petani menilai pengolahan pascapanen, yang ditawarkan penggiat kopi itu, tergolong rumit. ”Selama ini, mereka terbiasa mengolah biji kopi secara instan agar segera mendapat uang,” kata Kristian. Pola pikir itulah yang membuat kopi yang dihasilkan petani kopi Pagar Alam tidak kunjung optimal.
Dulunya, petani di dua desa ini terbiasa mengolah kopi seadanya. Proses pemetikan, misalnya, menggunakan metode petik ”asalan”. Semua biji kopi tanpa memandang tingkat kematangannya, dipetik dari batangnya. ”Pokoknya kalau sudah panen, cabut semua biji kopi, tanpa melalui proses pemilahan lagi,” kata Kristian.
Proses penjemuran pun terkesan serampangan. Biji kopi yang baru dipanen ditebar di atas aspal atau tanah merah dengan hanya dilapisi terpal untuk selanjutnya dijemur selama tiga hari. ”Bahkan, mereka membiarkan biji kopi dilindas kendaraan,” ucapnya.
Bahkan, mereka membiarkan biji kopi dilindas kendaraan. (Kristian Tri Purnomo)
Kala itu, petani hanya berpikir bagaimana kopi bisa cepat terjual tanpa melihat lagi kualitasnya. Toh, nantinya kopi itu akan dibawa ke Lampung atau Bengkulu untuk dioplos dengan biji kopi lain.
Kebiasaan itu sudah terpatri dalam diri para petani. Mungkin, sejak komoditas kopi diperkenalkan di Pagar Alam pada masa kolonial. ”Keluarga saya saja sudah menanam kopi sejak dari puyang (nenek moyang). Bayangkan, sudah selama itu,” kata Kristian.
Namun, Kristian pantang patah arang. Pada 2019, dengan menggandeng Komunitas Kopi Tanah Air Kita, dia dan keempat temannya merangkul para petani muda yang dinilai memiliki pemikiran lebih terbuka. Edukasi proses setelah panen yang lebih profesional pun akhirnya terlaksana.
Para petani muda itu diarahkan untuk mulai terbisa memetik biji kopi merah. Memang butuh waktu sampai empat bulan setelah masa panen untuk menunggu semua biji kopi memerah. Lebih lama dibandingkan dengan petik asalan yang hanya butuh waktu pemetikan paling lama dua bulan setelah masa panen.
Setelah itu, ujar Kristian, petani diajarkan untuk memilah kopi dengan benar lalu menjemurnya. Penjemuran biji kopi tidak lagi dilakukan di atas aspal atau tanah merah, melainkan di tempat khusus yang berjarak sekitar 70 sentimeter di atas tanah. ”Penjemuran pun tidak cukup hanya 3 hari, tetapi butuh waktu penjemuran hingga 30 hari,” ujarnya.
Ketika telah berbentuk kopi mentah (green bean), biji kopi dikemas di dalam bungkus kedap udara berteknologi mutakhir sehingga tidak mengubah citarasa kopi dan mencegah kopi berjamur karena lembab.
Ketika teknik itu diutarakan kepada petani, masih ada saja yang mengeluh. Mereka menganggap proses petik merah ini merepotkan dan membutuhkan waktu yang lama. ”Tapi, saya yakin, keluhan itu muncul karena mereka belum terbiasa saja,” ucap Kristian.
Ketua Dewi Sekopi Basemah, Ahmad Ardiansyah menuturkan, cara itu mereka lakukan untuk meningkatkan kesejahteraan Petani Pagar Alam. ”Dengan metode petik merah, harga kopi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan petik asalan,” kata Ahmad.
Untuk petik asalan, biji kopi milik petani hanya dihargai Rp 18.000-Rp 20.000 per kilogram (kg). Namun, dengan petik merah, biji kopi dihargai hingga Rp 34.000 per kg.
Jika dikalkulasikan, dengan produksi lahan kopi di Pagar Alam sekitar 1 ton per hektar per tahun, pendapatan petani yang mengolah kopi dengan skema asalan hanya berkisar Rp 18 juta per tahun atau Rp 1,5 juta per bulan. Namun, jika petani mau menggunakan skema petik merah, pendapatan yang mereka peroleh bisa mencapai Rp 34 juta per tahun atau Rp 2,8 juta per bulan.
Terjerat tengkulak
Ahmad menilai, sulitnya petani keluar dari kebiasaan lama disebabkan oleh kebutuhan ekonomi dan jeratan para tengkulak. Dengan pendapatan hanya Rp 1,5 juta, petani dihadapkan dengan kebutuhan hidup. Tak jarang, mereka harus berutang kepada tengkulak dengan jaminan biji kopi yang mereka hasilkan ketika panen nanti. ”Inilah yang membuat petani sulit melepaskan kebiasaan lamanya,” ucap Ahmad.
Abdurahman Arief yang pernah bekerja sebagai tengkulak kopi selama 12 tahun mengakui adanya permainan dalam penentuan harga kopi di tingkat petani. Harga biji kopi asalan di tingkat pabrikan berkisar Rp 23.000-Rp 25.000 per kg. Namun, di tingkat petani harga kopi dipermainkan sesuai dengan kondisi saat itu.
Baca juga: Kopi Sumsel Makin Diminati Anak Muda
Misalnya, ketika mendekati hari raya atau tahun ajaran baru, harga kopi pasti anjlok. Hal itu karena para tengkulak menyadari petani pasti sedang membutuhkan uang. Dengan demikian, berapa pun harga yang ditawarkan akan diterima petani, asalkan biji kopi bisa cepat terjual.
Namun, sejak bergabung dalam komunitas Dewi Sekopi, praktik itu sudah ia tinggalkan. Kini Arief hanya ingin semua petani menjalankan pascapanen dengan baik. ”Terkadang, saya meminjamkan uang kepada petani agar mereka bisa menunggu sampai biji sudah merah sehingga mereka bisa memperoleh harga yang lebih baik,” ucapnya.
Ketua Dewan Kopi Sumatera Selatan Zain Ismed menuturkan, penghargaan internasional ini telah mendongkrak citra Kopi Pagar Alam. ”Dengan demikian, kopi akan dihargai lebih tinggi sehingga petani pun akan lebih sejahtera,” ucapnya. Beberapa negara pun sudah tertarik untuk menerima kopi Robusta ini, seperti Taiwan dan Korea Selatan.
Namun, keuntungan ini juga harus dibarengi dengan kualitas kopi yang terus terjaga dan berkesinambungan. ”Untuk itu, edukasi harus terus dilakukan secara petani dapat menghasilkan kopi secara berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut Zain, kopi robusta Pagar Alam memiliki keunikan tersendiri. Rasa pahitnya sangat kuat dilengkapi dengan perpaduan rempah, seperti kayu manis dan cengkeh. Munculnya rasa itu berasal dari tanaman rempah yang ada di dekat perkebunan kopi tersebut. Keunikan inilah yang menambah nilai jual dari Kopi Pagar Alam sehingga kian diminati industri kopi baik domestik maupun pasar ekspor.
Dengan prestasi ini, Zain berharap petani lebih bersamangat untuk menghasilkan kopi yang berkualitas. ”Jika skema ini berhasil diterapkan di Pagar Alam, tentu pola ini akan diterapkan ke sejumlah daerah penghasil kopi di Sumsel seperti di Lahat, Muara Enim, Ogan Komering Ulu Selatan, dan Empat Lawang.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengapresiasi pencapaian tersebut. Menurut dia, ini adalah bentuk dari inovasi masyarakat lokal Pagar Alam. ”Mereka meyadari kopi bisa menjadi tumpuan ekonomi masyarakat setempat,” ucapnya.
Dengan area perkebunan kopi seluas 230.000 hektar, Sumsel menjadi provinsi penghasil kopi robusta terbesar di Indonesia bahkan nomor tiga di dunia. Dengan potensi tersebut, Herman berharap agar pemerintah pusat, terutama Kementerian Perhubungan, untuk turut membantu membuat pelabuhan laut dalam. ”Tentu provinsi tidak bisa bekerja sendiri,” katanya.
Jika hal itu terwujud komoditas unggalan di Sumsel dapat segera merambah ke pasar ekspor dengan lebih masif. ”Tidak hanya memperkuat penjenamaan, tetapi juga akan membuat pelaku usaha lebih bersemangat,” katanya.
Usaha dari segelintir petani kopi di Pagar Alam ini membuktikan bahwa ketika ada niat untuk berubah dan berbenah serta disokong dengan usaha yang dipadukan ketekunan, akan menghasilkan buah yang manis. Semoga petani kopi Sumsel bisa sejahtera.