DPR hari ini tengah menjalankan ”fit and proper test” para calon anggota Komisi Yudisial. Resistansi di antara kedua lembaga, yang selama ini dinilai sangat kuat, perlu diperbaiki dengan dorongan komunikasi yang baik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Maradaman Harahap (kiri) dan Ketua Bidang Hubungan Antarlembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi saat menyampaikan hasil seleksi tahap ketiga calon hakim agung dan calon hakim ad hoc tipikor di Mahkamah Agung (MA) dalam sebuah acara di Jakarta, Jumat (10/6/2016).JAKARTA, KOMPAS — Komunikasi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung menjadi sorotan utama dalam uji kepatutan dan kelayakan yang digelar Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dalam seleksi calon anggota Komisi Yudisial. Resistensi di antara kedua lembaga selama ini dinilai sangat kuat, dan berujung pada belum mulusnya reformasi peradilan yang diharapkan oleh publik.
Para calon anggota KY yang menjalani fit and proper test ialah Joko Sasmito (mantan hakim yang juga anggota KY 2016-2021), M Taufik HZ (mantan hakim), Sukma Violetta (anggota KY 2016-2021), Binziad Kadafi (praktisi hukum), Amzulian Rifai (akademisi), Mukti Fajar Nur Dewata (akademisi), dan Siti Nurjanah (unsur masyarakat).
Di dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III DPR Pangeran Khairul Saleh, setiap calon anggota KY memaparkan makalahnya selama 20 menit. Setelah itu, setiap perwakilan fraksi menyampaikan pertanyaan. Sejumlah anggota DPR meminta para calon untuk mendalami masukan dan usulan mereka tentang komunikasi antara KY dan MA.
”Komunikasi antara MA dan KY perlu diperbaiki karena ada arogansi politik di antara kedua lembaga yang membuatnya saling resisten.”
Mukti Fajar mengatakan, komunikasi antara MA dan KY perlu diperbaiki karena ada arogansi politik di antara kedua lembaga yang membuatnya saling resistan. ”Ketika KY memeriksa hakim yang diduga melanggar etik, seakan ada pandangan ingin menghakimi atau mencari kesalahan. Hal ini di sisi lain memicu resistensi MA, yang ingin melindungi anak buahnya yang akan diperiksa. Jadi, persoalan ini lebih terjadi karena arogansi sektoral. Padahal, keduanya bukan lembaga politik, tetapi lembaga hukum,” kata Mukti.
Mengenai komunikasi yang kurang harmonis ini, menurut Amzulian, harus diatasi dengan komunikasi kelembagaan secara formal maupun informal. Kerja sama kedua lembaga diperlukan untuk menciptakan kesepahaman dalam upaya mewujudkan peradilan bersih. Ketika resistansi timbul, upaya KY untuk peningkatan kapasitas hakim, dan pengawasan terhadap hakim menghadapi tentangan sehingga kewenangan yang dimiliki KY tidak dapat dioptimalkan.
Amzulian juga menekankan perlunya soliditas di antara calon anggota KY ke depan. Sebab, soliditas yang kurang baik akan memicu anggota berjalan sendiri-sendiri. Kepemimpinan yang kolektif kolegial di dalam internal KY harus didasarkan kepada kerja sama dan soliditas antaranggotanya.
Sementara itu, sebagai salah satu calon anggota KY yang juga merupakan petahana, Joko Sasmito, menuturkan, komunikasi yang kurang baik antara MA dan KY dipicu oleh adanya perbedaan pandangan terkait dengan isu teknis yudisial. Beberapa rekomendasi KY yang tidak ditindaklanjuti oleh MA juga dipicu alasan teknis yudisial tersebut.
Artinya, ketika suatu kasus menyangkut seorang hakim itu terkait dengan putusannya, hal itu harus diselesaikan dengan upaya hukum, yakni banding dan kasasi. Putusan hakim itu bukan termasuk ke dalam ranah yang menjadi kewenangan KY untuk mengintervensi. Landasan sikap MA itu ialah prinsip independensi hakim.
Di satu sisi, KY menilai hakim tidak bisa bersembunyi di balik prinsip independensi, sebab independensi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, yaitu berupa putusan yang memberikan rasa keadilan kepada para pencari keadilan. Putusan hakim yang merupakan buah independensi hakim harus pula dapat dijamin akuntabilitasnya.
”Independensi itu maksudnya hakim punya kemandirian dalam memutuskan suatu perkara. Akan tetapi, hakim dalam memberikan putusan perkara tidak boleh berlindung di balik independensi. Masih ada hakim yang berlindung di balik independensi guna memenangkan pihak tertentu yang beperkara,” kata Joko.
Perbedaan pemahaman antara KY dan MA mengenai teknis yudisial itu menjadi kendala besar dalam komunikasi kedua lembaga, terutama ketika KY memberikan rekomendasi hasil pengawasan kode etik kepada MA. Joko mengatakan, banyak rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti oleh MA itu ternyata belum disikapi oleh KY dengan permintaan pemeriksaan bersama. Padahal, pemeriksaan bersama antara KY dan MA itu dimungkinkan, dan ada peraturan bersama yang disepakati oleh kedua lembaga. Celah itu dipandang sebagai satu otokritik kepada KY yang dalam periode ke depan mesti diperbaiki.
”Pemeriksaan bersama ini yang nantinya akan saya usulkan jika terpilih kembali sebagai anggota KY. Dalam hal rekomendasi KY belum ditindaklanjuti oleh MA, persoalannya tidak semata-mata karena MA, tetapi juga karena belum direspons oleh KY dengan permintaan pemeriksaan bersama,” katanya.
Isu evaluasi putusan
Sementara itu, isu lain tentang evaluasi atau eksaminasi putusan juga mengemuka. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), I Wayan Sudirta, antara lain, meminta Mukti Fajar menerangkan usulannya tentang evaluasi putusan hakim. Dalam paparannya, Mukti mengusulkan terobosan bagi lembaga KY untuk melakukan evaluasi putusan hakim, bahkan sejak di tingkat pertama. Alasannya, selama ini banyak laporan masyarakat kepada KY tentang suatu putusan yang aneh ternyata tidak dapat segera ditindaklanjuti karena perkara itu belum berkekuatan hukum tetap.
”Kalau menunggu perkara itu berkekuatan hukum tetap atau sampai kasasi, bisa makan waktu lima tahun. Ini jadi hambatan. Banyak sekali diskusi di luar sana, yang menyebutkan adanya putusan yang tidak wajar, tetapi KY yang secara konstitutif diberi kewenangan pengawasan ternyata menghadapi hambatan normatif, yakni menunggu inkrah,” katanya.
Dengan pendekatan itu, menurut Mukti, hakim-hakim yang dipanggil oleh KY secara psikologis mungkin terpengaruh, tetapi tidak secara teknis yudisial. Secara teknis yudisial, mereka tetap independen. ”KY hanya ingin memastikan suatu putusan hakim itu setidaknya benar secara metodologis. Kalau misalnya ada putusan yang tidak sesuai dengan belum tentu karena faktor suap, tetapi bisa jadi karena kapasitas atau profesionalisme hakim yang perlu ditingkatkan. Kalau faktor kapasitas tentu perlu upgrading melalui pelatihan,” ujarnya.
Pertanyaan mengenai independensi hakim juga dikemukakan oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Adies Kadir. Kepada Amzulian, Adies menanyakan apakah putusan hakim dapat dievaluasi setelah berkekuatan hukum tetap (inkrah), atau sebelum inkrah.
”Ke depannya, KY dapat membiasakan eksaminasi putusan ini, yakni dengan bekerja sama dengan masyarakat sipil, dan dunia kampus, yang dilakukan secara terbuka untuk umum. Kerap kali putusan hakim tidak terpublikasi dengan luas. Bahkan, para pencari keadilan juga sulit mendapatkan putusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri.”
Amzulian mengatakan, tradisi mengevaluasi putusan hakim memang belum menjadi tradisi di Indonesia yang menganut civil law. Lain halnya dengan negara-negara Barat yang umumnya menerapkan common law. Di negara-negara yang menganut common law melakukan eksaminasi putusan hakim adalah hal biasa. Mahasiswa hukum bahkan dilatih melakukan studi kasus atas putusan-putusan hakim. Akan tetapi, tidak demikian yang terjadi di Indonesia.
”Ke depannya, KY dapat membiasakan eksaminasi putusan ini, yakni dengan bekerja sama dengan masyarakat sipil, dan dunia kampus, yang dilakukan secara terbuka untuk umum. Kerap kali putusan hakim tidak terpublikasi dengan luas. Bahkan, para pencari keadilan juga sulit mendapatkan putusan yang berkaitan dengan dirinya sendiri,” kata Amzulian.
Menurut jadwal, Rabu (2/12) ini akan diambil keputusan persetujuan DPR terhadap seleksi anggota KY 2020-2025.