Geliat di Bawah Permukaan
Ekspektasi mesti dikelola untuk menjaga kepercayaan sekaligus mengungkit pemulihan ekonomi. Momentum mesti dimanfaatkan agar proses pemulihan tidak berlangsung lebih mahal dan lebih lama.
Badan Pusat Statistik sudah mengumumkan pertumbuhan produk domestik bruto atau PDB triwulan III-2020 adalah minus 3,49 persen secara tahunan. Sementara, untuk versi triwulan ke triwulan sebesar 5,05 persen.
Gambaran ini menunjukkan, yang terburuk kemungkinan besar sudah terlampaui. Dari perkembangan triwulanan, beberapa sektor yang sangat terpuruk sebelumnya–walaupun belum sepenuhnya mengompensasi kontraksi– menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat ala huruf V pada triwulan III.
Pola V ini dimotori dua sektor yang pada triwulan II sangat terpuruk karena pembatasan fisik pertemuan sisi permintaan dan produksi agregat. Sektor transportasi dan pergudangan tumbuh 24,28 persen pada triwulan III dibandingkan dengan minus 29,18 persen pada triwulan II. Posisi berikutnya sektor akomodasi dan restoran dengan pertumbuhan 14,79 persen versus minus 22,31 persen pada triwulan sebelumnya. Sektor-sektor lain juga menunjukkan pola serupa walaupun pada besaran yang lebih kecil.
Indikator dini perilaku mikro
Pertanyaannya, apakah tren makro-ekonomi ini dapat dipertahankan pada triwulan IV-2020 untuk mengompensasi kontraksi pada triwulan-triwulan sebelumnya? Hal ini penting karena kira-kira 64 persen dari PDB dihasilkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Jika perilaku pada tingkat mikro berlainan satu sama lain, data makro pada tingkat agregat tidak mencerminkan tingkah laku masyarakat yang sebenarnya sehingga sulit digunakan sebagai dasar kebijakan.
Pertanyaannya, apakah tren makroekonomi ini dapat dipertahankan pada triwulan IV-2020 untuk mengompensasi kontraksi pada triwulan-triwulan sebelumnya?
Baru-baru ini PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk sebagai bank BUMN yang mempunyai prioritas pelayanan di sektor mikro meluncurkan indeks indikator dini yang mengukur akitvitas bisnis pelaku UMKM yang dinamai BRI Micro dan SME Index (BMSI). Indeks ini konsisten dengan konsep analisis makro-ekonomi harus berbasis perilaku mikro-ekonomi (Zouache [2008]).
Tidak seperti halnya sektor korporasi, sektor mikro merupakan unit produksi rumah tangga/keluarga dengan aktivitas konsumsi dan produksi terjadi di bawah satu atap (Wagener dan Zenker [2020]). Setiap bantuan sosial pada rumah tangga/keluarga produksi akan berdampak pada tingkah laku produksi, konsumsi, investasi, dan selera risiko (risk appetite), yang secara makro akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Indeks tersebut memberi prediksi sudah terjadi geliat proses pemulihan ekonomi pada arus bawah, konsisten dengan data PDB yang dipublikasikan BPS. Masalah agregasi dari perilaku mikro ke makro tidak perlu terlalu dirisaukan karena tampaknya secara matematis unit-unit mikro mempunyai fungsi utilitas dan fungsi produksi yang homothetic sehingga ada konsistensi antara data mikro dan makro.
Indeks tersebut memberi prediksi sudah terjadi geliat proses pemulihan ekonomi pada arus bawah, konsisten dengan data PDB yang dipublikasikan BPS.
Walaupun masih dalam bentuk ekspektasi, bisnis komponen-komponen yang berorientasi pada persiapan ekspansi produksi, seperti pemesanan dan volume barang input, volume persediaan barang jadi, dan kegiatan investasi, sudah menunjukkan perbaikan signifikan seperti pola huruf V pada triwulan IV-2020 dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Semua indeks tersebut sudah lebih dari angka 100, yang berarti masuk zona optimistis. Perbandingan dengan indeks pada triwulan III rata-rata 30 poin, yang berarti sudah terjadi titik balik pada triwulan III-2020.
Baca juga: Jalur Pertumbuhan Menuju Pemulihan
Relaksasi pembatasan sosial berskala besar sangat membantu geliat arus bawah. Hal ini terlihat dari hampir separuh responden (48,9 persen) yang mengaku mampu membayar cicilan pokok dan bunga tanpa stimulus. Adanya stimulus secara signifikan meningkatkan kemampuan ini menjadi 57,9 persen responden.
Memaksimalkan daya ungkit
Dampak pada daya beli arus bawah sudah terlihat pada pembelian barang-barang tahan lama, khususnya sepeda motor. Penjualan pada periode Juli naik 282.205 unit atau naik 67,9 persen yang dilanjutkan meningkat 8,5 persen pada Agustus. Pada September terjual 380.713 unit atau terakselerasi 20 persen.
Mobil tipe murah ikut kecipratan. Penjualan bulanan sempat naik berturut-turut 32,17 persen dan 20 persen pada Agusus dan September walaupun kemudian hanya naik 1 persen pada Oktober. Kenaikan ini membuat pertumbuhan subsektor alat angkutan tertinggi di sektor manufaktur, yaitu 17,48 persen secara triwulanan pada triwulan III. Kondisi ini mendongkrak pertumbuhan triwulanan manufaktur secara keseluruhan 5,25 persen dibandingkan dengan minus 6,49 pada triwulan II.
Data ini didukung Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang diterbitkan Bank Indonesia. Kelompok pengeluaran Rp 1 juta-Rp 4 juta punya kecenderungan mengonsumsi yang meningkat sejak Juli sehingga pada Oktober 2020 mencapai 69,4 atau yang lebih tinggi dari kelompok pengeluaran di atasnya. Berarti mereka membelanjakan 69,4 persen dari pendapatannya untuk konsumsi. Dari segi proporsi terhadap pendapatan, secara alamiah kecenderungan kelas menengah-bawah mengonsumsi lebih tinggi daripada menengah-atas.
Baca juga: Menelaah Resesi
Perbandingan data makro dan indeks perilaku mikro BMSI memberi gambaran pemulihan cepat ala huruf V dapat terjadi jika kelompok masyarakat menengah-bawah mempunyai tren kecenderungan mengonsumsi yang meningkat.
Manajemen ekspektasi
Di Eropa ada kearifan baru sehingga kebijakan penanganan pandemi tidak lagi hitam dan putih, tetapi cenderung merupakan spektrum. Masyarakat kelas menengah-bawah lebih membutuhkan interaksi fisik untuk mencari nafkah sehingga kebijakan pencegahan penularan yang terlalu ketat akan mengurangi kemampuan mengonsumsi, baik melalui dampak terhadap pengurangan jam kerja maupun pemutusan hubungan kerja (PHK). Beberapa negara di Eropa, seperti Jerman, Belanda, dan Spanyol, kemudian lebih memilih pendekatan karantina wilayah parsial dalam menghadapi gelombang kedua.
Indonesia tidak jauh berbeda. Untuk menghadapi pandemi, Indonesia mempunyai tiga garis pertahanan strategis yang saling melengkapi. Pertama, PSBB sebagai payung regulasi diperlukan untuk menjaga interaksi sisi permintaan dan produksi perekonomian.
Sementara, pemulihan ekonomi nasional diperlukan sebagai pemantik daya ungkit arus bawah sekaligus penjaga kepercayaan dan kelangsungan arus melingkar pendapatan nasional. Tanpa pemulihan ekonomi nasional, perekonomian akan seperti pesawat yang terbang dengan kecepatan terlalu rendah sehingga kehilangan daya angkat. Terlalu banyak kehilangan momentum akan membuat proses pemulihan lebih lama dan lebih mahal.
Baca juga: Menjaga Daya Beli dan Rantai Pasokan
Sebagai ide yang mendobrak, ada kebijakan yang berorientasi kesehatan, seperti 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak), vaksinasi, dan riset jangka panjang Covid-19 untuk memulihkan ekspektasi masyarakat tanpa kecuali. Pada tahap ini, pemulihan ekonomi nasional dapat memperkuat industri kesehatan dalam negeri dan memaksimalkan daya ungkit. Pengelolaan ekspektasi pada tahap ini sangat penting agar pemulihan tidak berubah menjadi pola W.
Terlalu banyak kehilangan momentum akan membuat proses pemulihan lebih lama dan lebih mahal.
(Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia)